• Kolom
  • SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #8: Selayang Pandang

SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #8: Selayang Pandang

Saat ayahnya ditahan di Kebon Waru tanpa proses pengadilan, Untung Maulana masih bisa membesuk. Banyak tahanan tak bisa dibesuk, ada dosen, sastrawan, guru, arsitek.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Potret Untung Maulana di Penerbit Ultimus, Bandung. (Yogi Esa Sukma Nugraha/Penulis)

24 Maret 2023


BandungBergerak.idSebagian dari kita tentu mafhum, bahwa kekalahan, adalah saudara kembar kemenangan. Pun kegagalan, merupakan saudara kembar keberhasilan. “Sebagaimana kemenangan dan keberhasilan, kekalahan dan kegagalan hanyalah ulah dunia,” kira-kira begitu Koesalah Soebagyo Toer membuka pengantar catatan sejarahnya.

"Karenanya," ia melanjutkan, "sepahit apa pun kekalahan dan kegagalan dalam sejarah nasional, regional, lebih-lebih internasional, patut dicatat, sebagaimana kemenangan dan keberhasilan."

Koesalah Soebagyo Toer berupaya memaknai peristiwa 1926 dengan cara berbeda. Ya, peristiwa 1926, yang kita tahu, cukup mengguncang tatanan sosial-politik kolonial. Dan sebagaimana ditekankannya, bahwa ia hendak mengingatkan pada siapa-siapa yang lupa, seolah-olah hanya harus mengingat kemenangan dan keberhasilan.

Itu pula kiranya yang – secara personal – cukup mempengaruhi esai bersambung Surat Kabar Warta Bandung. Dalam penelusuran kali ini, Selayang Pandang kemudian dipilih, sekurang-kurangnya oleh karena dua hal.

Pertama, dalam Warta Bandung yang ditemukan edisi tahun 1956-1958, terdapat rubrik "Selajang Pandang"; isinya kira-kira memuat laporan dari daerah-daerah, yang masih sekitaran Jawa Barat.

Kedua, oleh karena uraian bersambung ini juga dikerjakan sekilas lalu. Terlebih KBBI juga memberi pengertian bahwa selayang pandang adalah lintas atau sebuah kilasan waktu yang telah berlalu. 

Dan bukan kebetulan jika esai berseri ini memang dikerjakan dalam tempo yang relatif sebentar, kira-kira, tiga bulanan. Itu pun kerap beradu cepat dengan keperluan mencari penghidupan.

Uniknya, sejak penulisan pertama, esai bersambung ini kemudian mengantarkan perkenalan pada Untung Maulana. Ia merupakan putra bungsu dari Syarif Sulaiman, Pemimpin Redaksi Surat Kabar Warta Bandung. Untung Maulana ini pula yang kemudian banyak memberi informasi mengenai dapur Surat Kabar Warta Bandung.

Dalam percakapan, Untung Maulana kerap menggunakan bahasa campuran. Sepertinya, karena ia mengerti bahwa yang dihadapannya lahir dari generasi berbeda. Untung Maulana menyatakan bahwa dirinya lahir 1 Oktober 1958, di Bandung.

Dia juga menyebutkan bahwa leluhurnya merupakan asli Sunda, tepatnya, dari Tasikmalaya. Ibunya merupakan penganut Islam yang taat. Selain itu, seturut pengakuannya, Untung Maulana juga banyak mengambil hikmah dari sang ayah.

"Hirup mah kudu loba babaturan, Gi. Eta pesen nu sayah inget ti si Bapa," ungkapnya.

Kondisi ekonomi keluarga Untung Maulana saat itu terbilang baik-baik saja. Bahkan ayahnya sempat mendirikan sebuah sekolah kejuruan untuk para wartawan. "Namanya Akademi Jurnalistik dr. Rivai, letaknya di samping rumah saya Jalan Jamuju," kata Untung Maulana.

Dalam iklim intelektual dan kehangatan yang demikian, Untung Maulana menjalani kehidupan yang menggembirakan, beserta ayah, ibu, ke-5 kakaknya. Untung Maulana juga sempat menyaksikan bagaimana sejumlah organisasi legal – yang saat itu eksis – melakukan atraksi-atraksi di jalanan Kota Kembang.

Pawai-pawai organisasi seperti CGMI, Pemuda Rakyat, IPPI, Sarbupri, HSI, PGRI Vak Sentral, SOBSI, pernah ia lihat. Saat itu, Untung Maulana sedang bersiap untuk menjalani sekolah di Taman Kanak-kanak.

Yang khas, tentunya bertebaran spanduk-spanduk yang berisi kecaman terhadap Amerika Serikat, beserta dampak dari kebrutalan masyarakat kapitalisme yang diidamkannya: imperialisme. Belakangan, diketahui bahwa suasana saat itu begitu panas. Hal tersebut dipicu Perang Vietnam. Dan Indonesia, jelas berpihak kepada pasukan Ho Chi Minh. 

Headline Warta Bandung sendiri mengafirmasi hal ini: mengecam upaya ekspansif Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer. Namun nahas bagi Untung Maulana. Kehidupan tenang yang semula dirasakan, kini berbalik menerjang usai perampasan dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Semua ini terjadi tak lama setelah peristiwa 1965: teror putih yang dihelat untuk mempreteli Sukarno, beserta segenap pendukungnya; (siapa-siapa yang dianggap) kiri.

Ya, Untung Maulana turut merasakan dampak dari apa yang terjadi di malam jahanam 30 September 1965. Sebabnya, kita tahu, bahwa Surat Kabar Warta Bandung yang dipimpin ayahnya dinilai memiliki kedekatan dengan orang-orang kiri.

Kala itu, Harian Warta Bandung dilarang. Rumah dinas yang didiami Untung Maulana beserta segenap keluarga yang membersamainya, disita. Ayahnya ditahan tanpa pengadilan. Sementara aset-aset harian Warta Bandung juga dirampas. Percetakan, gedung kantor, mobil dinas, dan peralatan kerja, turut diambil begitu saja.

"Pak Suparman, Pak Rusman Saleh,  Pak Dian Siswa, Kang Jatnika, juga ditangkap," kata Untung Maulana, saat menyebut nama-nama pengelola Surat Kabar Warta Bandung.

Namun demikian, Untung Maulana berupaya untuk tetap tegar. Raut mukanya menyiratkan bahwa dirinya sama sekali tidak menaruh dendam, sebagaimana diungkapkan dirinya dalam satu kesempatan.

"Nya, udah jalan-Nya, biarin ajalah, mau gimana lagi," ungkapnya.

Ungkapan nyaris serupa secara implisit disampaikannya pula dalam buku memoar yang sebentar lagi akan terbit. Dengan getir, Untung Maulana menyitir ungkapan penyair Henriete Roland Holst: Bukanlah kami pembina dari bangunan candi // Kami hanyalah pengusung batu // Kami adalah angkatan yang harus punah // Agar dari kubur kami tumbuh angkatan yang lebih megah.

Apakah kisah yang ditulisnya berpretensi mengubah narasi yang telah ada? jawaban saya: Sama sekali tidak. Kisah getir yang dialami Untung Maulana (beserta ribuan tertuduh kiri lainnya) justru dapat membantu kita untuk memelihara nalar sehat: bahwa pada satu masa, pernah ada segelintir manusia yang melakukan tindakan biadab.

 

Potret Untung Maulana di rumahnya, Jalan Jamuju, Kota Bandung. (Dokumentasi Pribadi)
Potret Untung Maulana di rumahnya, Jalan Jamuju, Kota Bandung. (Dokumentasi Pribadi)

Kegetiran Keluarga Ex Tapol

Petaka yang harus dihadapi Untung Maulana tidak berhenti sampai di sana: menyaksikan sang ayah ditahan. Selain harus menjalani hidup tanpa bimbingan ayah, Untung Maulana juga terpaksa menjalani hidup pas-pasan. Sekadar untuk makan hari ini. Esok entah.

Sementara untuk tinggal, mulanya dia terpaksa harus menumpang pada seorang kakak perempuan. Untuk kemudian hidup dari satu kontrakan ke kontrakan. Namun, meski begitu, dirinya masih rutin mengunjungi ayah tercintanya yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kebon Waru, Bandung.

"Ayah masih cukup beruntung, karena bisa mendapat pasokan kebutuhannya dari rumah. Sementara yang lainnya, tidak bisa dijenguk keluarga, karena berbagai alasan," kata Untung Maulana.

Kemudian dia melanjutkan dengan kemampuan ingatan yang dimiliki, bahwa saat membesuk sang ayah, tak jarang pula melihat tahanan politik lainnya. Menurutnya, di antara mereka ini bukan hanya orang-orang biasa, malah ada perwira menengah, dosen, sastrawan, guru, arsitek.

Hingga pada akhirnya di tahun 70an gelombang protes menjalar seantero dunia, khususnya Eropa, untuk menanggapi perlakuan pemerintah RI pada tapol, orang-orang yang dihinakannya. Hal itu tentu menjadi perhatian berbagai kalangan. Termasuk rezim orba yang mulai memberi kelonggaran terhadap apa-apa yang sebelumnya ditimpakan pada para tahanan.

Seiring dengan itu, tersiar kabar bahwa filsuf Jean Paul Sartre menyumbangkan mesin tik pada sastrawan terkemuka yang berada di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer. Beberapa pemuka agama juga mulai menaruh perhatian pada kondisi tapol.

"Para pemuka agama sering berkunjung ke Kebon Waru, memberikan sumbangan berupa obat-obatan, peralatan kerja, bahan baku, untuk para tapol memenuhi kebutuhannya, dan berkarya," kata Untung Maulana.

Rutinitas itu terus berlangsung, hingga pada akhir tahun 1977, rezim Suharto melalui Pangkopkamtib Soedomo, mengeluarkan keputusan untuk membebaskan para tapol. Beberapa tahun setelahnya, Untung Maulana berhasil pula menyelesaikan pendidikannya, hingga sarjana. Jalan curam terbukti tak mampu menghalangi dirinya untuk meraih gelar.

Menariknya, Untung Maulana enggan menyembunyikan identitas yang tersemat dalam dirinya: anak seorang eks tapol. Hal itu dibuktikan Untung Maulana dengan sering mengundang orang bertamu ke rumahnya. Untuk kemudian berdiskusi – dengan segenap akal budi – bersama ayahnya, Syarif Sulaeman.

Walhasil situasi paling menyedihkan – seperti pengucilan atau permusuhan – yang umumnya dialami keluarga eks tapol, cenderung ia abaikan. Demikianlah Untung Maulana, anak seorang pemimpin surat kabar yang dekat dengan organisasi kiri; organisasi yang memiliki komitmen sosial tinggi.

Kegetiran yang mulanya dirasakan, kini hilang. Untung Maulana mampu melewati semuanya. Menjalani hidup dengan begitu mantap, hingga sekarang.

Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #5: Di Tengah Polemik Lambang Partai
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #6: Persib Noe Aing!!!
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #7: Mereka yang Pernah Ada

Dari kiri, potret Syarif Sulaeman, pemimpin redaksi Warta Bandung. Kanan, Untung Maulana digendong (masih bayi). (Dokumentasi Pribadi)
Dari kiri, potret Syarif Sulaeman, pemimpin redaksi Warta Bandung. Kanan, Untung Maulana digendong (masih bayi). (Dokumentasi Pribadi)

Syarif Sulaeman, Jurnalis Kahot dari Tanah Pasundan

Pada tulisan pertama, sudah dijelaskan bahwa Surat Kabar Warta Bandung, dipimpin oleh Syarif Sulaeman. Ia merupakan seorang jurnalis kahot dari Tanah Pasundan. Syarif Sulaeman lahir 15 Juni 1916 di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia hanya menempuh pendidikan hingga Schakelschool, 5 tahun lamanya. Pendidikan yang diselesaikannya pada tahun 1932.

"Si bapa mah sakolana teu luhur tapi babaturanna loba," ucap Untung Maulana, diiringi gelak tawa. Barangkali, dengan minat yang begitu tinggi pada ilmu pengetahuan, membuat Syarif Sulaeman mampu menembus jagat kewartawanan.

Seturut penjelasan Untung Maulana, bahwa sang ayah mulanya bekerja dan belajar di majalah berbahasa Sunda: Tjahaja Islam. Menurutnya, Tjahaja Islam adalan sebuah majalah dengan oplah lebih kurang 2.000 eksemplar, yang bermarkas di Garut, dan dipimpin K.H Anwar Sanusi.

"Selama 2 tahun bapa (magang) di majalah itu," kenang Untung Maulana.

Selain itu, pada awal kariernya Syarif Sulaeman juga rutin mengirimkan artikelnya ke “Sinar Pasoendan” dan “Sipatahoenan”. Merasa jalan hidupnya mantap di jalur ini, Syarif Sulaeman kemudian bekerja di majalah mingguan "Penoentoen Kemajoean" yang dipimpin Achdiat Kartamihardja.

Sebagaimana lazimnya saat itu, tidak sedikit para wartawan turut berorganisasi. Demikian pula Syarif Sulaeman, yang menyatakan pilihannya dengan menggabungkan diri pada Muhammadiyah. Hal itu terjadi jauh sebelum Syarif Sulaeman mendirikan Surat Kabar Warta Bandung di tahun 1955.

Itulah mengapa, dan tidak mengherankan, jika kemudian Warta Bandung juga memuat rubrik "Mimbar Agama". Tentu saja masih banyak surat kabar lain yang pernah digeluti Syarif Sulaeman. Banyak pula kisah menarik lain yang bisa membantu kita memahami kehidupan sebelum dan sesudah malam jahanam 1965.

Yang pasti, saya sendiri termasuk yang meyakini bahwa situasi sosial politik era itu terlalu rumit untuk direduksi dalam dikotomi. Dan pendapat Koesalah Soebagyo Toer benar adanya. Bahwa selalu ada segi positif dari kekalahan dan kegagalan, sebagaimana segi negatif dalam kemenangan dan keberhasilan.

Itu pula yang telah dan sedang diupayakan Untung Maulana: menggali hikmah dari kegagalan, sebagaimana ia rengguk hikmah dari keberhasilan. Di usianya yang akan memasuki tahun ke-65, ia sedang mengupayakan naskah mengenai sang ayah ke tengah masyarakat.

Melalui penerbit Ultimus Bandung, tidak lama lagi kisah mengenai kisah Syarif Sulaeman, akan disebarluaskan. Tunggu saja. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//