SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #7: Mereka yang Pernah Ada
Warta Bandung sering memberitakan kiprah organisasi sayap PKI seperi Gerwani, Pemuda Rakyat, serta Lekra. Organisasi-organisasi tersebut pernah eksis di Bandung.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
23 Maret 2023
BandungBergerak.id – Melalui Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS Nomor 1/3/1966, atas nama Presiden, Soeharto resmi membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan itu menjadi dasar pembubaran organisasi lain yang senafas, atau yang bernaung di bawahnya.
Hal itu dipertegas Ketetapan Nomor XXV/1966 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Tercatat nama-nama organisasi yang dibubarkan seperti Lekra, Gerwani, BTI, SOBSI, Pemuda Rakyat, dan lain-lainnya.
Implikasinya yang terasa signifikan hingga sekarang, sebagaimana temuan Abdil Mughis Mudhoffir, adalah absennya politik kelas. Hal ini diiringi dengan dominasi aktivisme berwatak kelas menengah yang cenderung melakukan aksi-aksi sporadis dan menguatnya harapan pada aktor politik yang dianggap reformis.
Syukurlah, kini cukup banyak kajian mengenai sejumlah organisasi yang disebut di muka. Warta Bandung sendiri tak ketinggalan memuat laporan mengenai kiprah mereka – dan dari sana bisa menggali hikmah. Paling tidak, penelusuran kali ini sekadar mengafirmasi bahwa organisasi-organisasi tersebut pernah eksis di Bandung dan sekitarnya.
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #6: Persib Noe Aing!!!
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #5: Di Tengah Polemik Lambang Partai
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #4: Membersamai Kaum Tani
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #3: Bersama Menerjang Wabah Influenza
Organisasi Perempuan
Melalui dekret Presiden Nomor 316, pada tahun 1959 Sukarno menetapkan Hari Ibu Nasional. Waktu tersebut dipilih berdasarkan Kongres Wanita Pertama yang diselenggarakan tahun 1928. Kurang lebih 4 tahun sebelumnya, surat kabar Warta Bandung hadir menyajikan ruang khusus untuk persoalan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan adanya rubrik “Ruangan Wanita” di halaman 3, bersebelahan dengan rubrik olahraga.
Selain itu, beberapa kegiatan organisasi perempuan juga tak luput disiarkannya. Misalnya, sebagaimana terdapat laporan berkepala “Koperasi Kaum Ibu Tutup Buku”. Di dalamnya Warta Bandung memberitakan informasi mengenai koperasi yang diinisiasi IKKI, Ikatan Kaum Ibu Indonesia, yang saat itu menyelenggarakan rapat tahunannya.
“Kooperasi Ikatan Kaum Ibu Indonesia (IKII) pada tgl. 29 Djanuari besok, akan mengadakan rapat tahunan jang akan dimulai pada djam 13.00 di Gang Luna 95/86 Bandung. Jang akan dibitjarakan dalam itu a.l warta tahunan, usul2 dan rentjana anggaran belandja tahun 1956,” demikian Warta Bandung melaporkan.
Selain daripada itu, ada pula laporan kegiatan organisasi perempuan lain di pinggiran Bandung, tepatnya daerah Batujajar. Hal tersebut terekam dalam suatu laporan berkepala “Wanita Batudjadjar Bergerak”. Disebutkan pula bahwa upaya mulia mereka di bidang pendidikan saat itu mendapat momentumnya.
“Kaum wanita Ketjamatan Batudjadjar , dalam sebuah pertemuannja Senin jl, telah berhasil mentjapai kata sepakat untuk menjelenggarakan Kursus Kewanitaan Lokal dibawah lindungan Djawatan Pendidikan Masjarakat setempat. Kursus itu dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan dikalangan kaum wanita dan untuk memadjukan pendidikan dan pengetahuan urusan kerumahtanggaan”. (Warta Bandung, 11 Januari 1957).
Yang menarik dari kedua informasi di muka adalah meruntuhkan perspektif organisasi perempuan yang pada era orde baru direduksi hanya sebatas pelengkap suami. Suatu hal yang termanifestasi dalam organisasi bernama Dharma Wanita. Sementara aktivitas perempuan revolusioner, khususnya yang menjadi denyut nadi Gerwani, diganti narasi keji: perempuan amoral.
Meski demikian, laporan Warta Bandung berkepala “Tjeramah2 Gerwani” menunjukkan kisah sebaliknya. Tercatat kiprah organisasi wanita tersebut rutin melakukan safari politik ke daerah-daerah. “Dari tgl. 11 s/d 15 Djuni 1957 baru2 ini E. Rohajah dari DPD Gerwani Djawa Barat telah mengadakan perdjalanan keliling didaerah Kabupaten Tjiamis,” demikian Warta Bandung melaporkan. Tempat-tempat yang dikunjungi ialah Padaherang, Parigi, Banjar, Rancah, dan Panawangan.
Di sana Gerwani mengadakan ceramahnya tentang tugas wanita menghadapi pemilihan umum DPRD. Untuk diketahui bahwa Gerwani sendiri memang aktif di berbagai lini. Dan memang, terdapat banyak catatan perjuangan Gerwani sebagai organisasi perempuan yang militan, di antaranya: Memperjuangkan Undang-undang Perkawinan yang demokratis, Menentang poligami, Perkawinan anak-anak, Mengecam Pelecehan terhadap Perempuan, Menentang Kawin Paksa, Pelacuran, dan Beban Kerja ganda.
Salah satu dari agenda perjuangan Gerwani sebagaimana yang disebut di muka tercatat dalam Warta Bandung edisi 23 September 1957. Laporan tersebut memuat aksi Gerwani saat mendesak peraturan perkawinan di DPRD Jawa Barat. Melalui Nj. Sutarsih (fraksi PKI), mereka mendesak – oleh karena belum ada Undang-undang Perkawinan yang menguntungkan kedua belah pihak – pemerintah harus mengadakan peraturan yang demokratis yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak disalahgunakan oleh kaum pria.
Hal tersebut turut diafirmasi Sujono dari fraksi PKI yang mengatakan bahwa “demonstrasi2 kaum wanita yang mendesak supaja segera dibuatnja Undang2 Perkawinan itu adalah soal jang wadjar, karena akibat daripada peraturan2 perkawinan jang berlaku sekarang sangat merugikan kaum wanita”.
Sementara masih di tahun 1957, mereka turut pula mendukung gerakan buruh untuk melakukan upaya nasionalisasi perusahaan asing. Bersamaan dengan itu, mereka mendukung aktif perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme Belanda di Irian Barat. Yang fenomenal, tentunya mereka aktif mendukung kampanye pemberantasan buta huruf (PBH) yang diserukan Bung Karno.
Mengenai kiprahnya dalam kancah literasi, barangkali majalah “Api Kartini” bisa dijadikan bukti eksistensi Gerwani. Konten yang disajikan majalah itu pun tidak melulu urusan politik, namun ada juga seperti berbagi resep makanan, jahit-menjahit, dan lain-lain. Dalam jajaran redaksi, tercatat nama-nama seperti S.K Trimurti, Maasje Siwi S, S Sijah, Darmini, Siti Rukiah Kertapati, Sudjinah, Sarini, Sugiarti Siswadi, Sulami, Siti Suratih.
Sebagai tambahan informasi bahwa di era ini, gelombang radikalisasi memang sedang pasang. Suatu hal yang juga diungkap M.C Ricklefs (2008: hlm. 543), bahwa “kini PKI memberi penekanan kepada kekuasaan Belanda yang terus berlanjut atas Papua sebagai fakta pokok dari status semikolonial Indonesia.” Dan Gerwani, selaku organisasi yang memiliki kedekatan dengan PKI, tentu larut dalam pusaran.
Konferensi Wanita Asia-Afrika
Wildan Sena Utama, dalam kajiannya mengenai Konferensi Asia-Afrika, menyatakan bahwa “KAA diadakan di tengah gelombang dekolonisasi sekaligus Perang Dingin”. Bandung selaku tuan rumah KAA, sukses besar menghelat pagelaran bertaraf internasional tersebut. Menariknya, hal ini merambah ke segala arah.
Salah satunya adalah turut membidani lahirnya Konferensi Wanita Asia-Afrika yang dilangsungkan Februari 1958 di Sailan (Colombo). Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan wanita dari 29 negeri Asia-Afrika peserta Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Suatu hal yang termuat dalam laporan Warta Bandung berkepala “Kaum wanita A-A akan berkonperensi, Dengan semangat Bandung”.
Dalam laporannya, tercatat bahwa mereka berupaya mengetengahkan masalah-masalah pokok mengenai wanita dan anak-anak negeri Asia-Afrika, di antaranya: “a.) hak politik bagi wanita, b.) kesedjahteraan ibu dan anak, c.) pendidikan jang meliputi kesempatan beladjar bagi wanita, rintangan2 mengenai kebudajaan-sosial-ekonomi-keuangan-dan pendidikan dasar-sosial-tehnis, d.) perbudakan dan perdagangan wanita dan anak2, serta, e.) perburuhan” (Warta Bandung, 19 September 1957).
Nj. Dr. Hurustiati Subandrio, selaku ketua Panitia Nasional Persiapan Konferensi Wanita Asia-Afrika, menguraikan rencana ini pada sejumlah awak media Ibukota. ”Semua pembitjaraan akan dilangsungkan sesuai dengan semangat keputusan Konperensi A-A di Bandung bulan April 1955,” katanya.
Lebih lanjut, Nj. Soebandrio menyatakan bahwa – sebagaimana Konferensi Persiapan ke-II di Karachi pada bulan Mei 1957 – pendukung Konferensi Wanita Asia-Afrika terdiri dari Walfare League Union of Burma, All Ceylon Women’s Conference, All India Women’s Conference, All Pakistan Women’s Conference, dan Kongres Wanita Indonesia.
Tercatat pula masing-masing negara peserta pada Konferensi Wanita Asia-Afrika ini diwakili 10 orang utusan, sedangkan Organisasi Wanita Pokok dari negara-negara peserta lainnya masing-masing akan mengirimkan 5 orang utusan dan ditambah peninjau bila dirasa perlu. Sementara terkait anggaran Konferensi ini sendiri dibebankan pada 5 organisasi pendukung tersebut.
Warta Bandung pada bulan-bulan menjelang diselenggarakan Konferensi Wanita Asia-Afrika, melaporakan bahwa “Panitia Nasional Persiapan Konperensi Wanita AA jang diketuai oleh Nj. Dr. Hurustati Subandrio, beralamat di Djl. Imam Bondjol 16 Djakarta”. Sebagai Wakil Ketua Nj. Kartini Karnaradjasa atau Nj. Jusupadi, sedangkan Nn. Suhartini, Nj. Dahlan Ranumihardja dan Nj. Nurdjana masing-masing sebagai Penulis I.
Sementara itu, ada pula badan usaha yang diketuai oleh Nj. L. Soetrasno, dan sebagai wakilnya: Nj. Soesilo dan Nj. Wuwungan. Kemudian tercatat Nj. Soeprapto, yang selain menjadi bendahara, juga merangkap penulis dengan dibantu oleh Nj. Iljas Sutan Pangeran. “Dapat ditambahkan, bahwa Indonesia diserahi menjiapkan working-paper mengenai atjara Kesedjahteraan Ibu dan Anak,” tulis laporan Warta Bandung.
Hingga tiba waktunya penghujung Konferensi Wanita Asia-Afrika. Beberapa delegasi Indonesia kemudian membawa “oleh-oleh” yang siap dibajikan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yakni laporan resolusi yang relevan dengan keadaan bangsa. Pratika Rizki, dalam artikel “Betapa Progresifnya Konferensi Wanita Asia-Afrika 1958”, merangkum sejumlah resolusi yang dihasilkan KWAA.
Pertama, pendidikan. Para peserta konferensi menyadari bahwa angka melek huruf di Asia dan Afrika berada di bawah 20%. Maka demikian, penting untuk menambah infrastruktur sekolah, supaya semakin banyak anak yang bisa belajar membaca. Lebih lanjut, mereka juga menyadari pentingnya pendidikan keagamaan di setiap sekolah.
Kedua, kesehatan ibu dan anak. Hampir seluruh negara menyetujui untuk menerapkan family planning, kecuali Filipina. Kelak, untuk konteks Indonesia, family planning itu diwujudkan sebagai program nasional melalui Keluarga Berencana pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ketiga, kewarganegaraan. Pada dasarnya ada dua resolusi utama dalam bidang ini. Wanita harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan dan/atau dewan, serta wanita juga perlu bergabung dalam partai. Yang menarik terkait resolusi ketiga ini, Indonesia tampak selangkah lebih maju. Seperti diketahui bahwa Maria Ulfah telah memegang jabatan sebagai menteri sosial pada 1946.
Keempat, perbudakan dan perdagangan wanita. Prostitusi menjadi bahasan utama dalam bidang keempat. Menurut mereka, prostitusi adalah definisi yang bisa mengacu pada pria dan wanita. Maka, jangan selalu mengaitkannya dengan wanita yang berimbas pada pandangan negatif terhadapnya. Kemudian, seluruh anggota delegasi sepakat untuk membentuk tim edukator yang bertujuan untuk mengurangi prostitusi.
Terakhir alias kelima, permasalahan buruh. Satu hal yang perlu digaris bawahi dari bidang kelima ialah pentingnya pengadaan daycare di tempat kerja. Suatu hal yang bahkan sampai sekarang masih digaungkan oleh para pekerja wanita.
Jejak Lekra dan Pemuda Rakyat di Jawa Barat
“Di bawah pimpinan Partai, Pemuda Rakyat membangkitkan pemuda secara luas, menyokong perjuangan kaum tani. Di Bandung umpamanya, dalam aksi-aksi kaum tani untuk mempertahankan tanah garapan dan untuk pembagian hasil panen yang layak antara penggarap dan tuan tanah, anggota-anggota Pemuda Rakyat berdiri di barisan depan menghadapi tukang-tukang pukul yang dikerahkan oleh tuan tanah,” demikian petikan pidato dari kawan Sukatno, Sekretaris Umum DPP Pemuda Rakyat.
Pemuda Rakyat mula-mula dibentuk dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia. Inisiasi pertamanya, dimulai oleh Amir Syarifuddin. Namun, oleh karena keterlibatannya dalam peristiwa Madiun 1948, Pesindo kemudian diubah menjadi Pemuda Rakyat.
Sejak awal, Pesindo sendiri memang merupakan organisasi hasil fusi dengan berlandaskan nilai-nilai sosialis. Norman Joshua Soelias, dalam kajiannya Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) 1945-1950, menyebutkan bahwa mereka (Pesindo, maksudnya) memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh pemuda angkatan 45’ yang anti-fasis, seperti misalnya, Wikana, Chaerul Saleh, Soemarsono, Ibnu Parna.
Menariknya, usai peristiwa Madiun 1948, Pesindo tidak diberi hukuman sebagai organisasi terlarang. Bung Hatta sendiri memberi amnesti terhadap unsur-unsur yang terlibat dalam “perang saudara” tersebut. Hingga akhirnya menjelang 1950-an, mereka memutuskan untuk berganti nama menjadi Pemuda Rakyat.
Jejaknya di Bandung, bisa dilihat dalam laporan Warta Bandung berkepala “Peringatan Pemuda Rakjat”. Di dalamnya, disebutkan bahwa “Untuk memperingati hari ulang tahun Pemuda Rakjat tgl. 10 Nopember, Pemuda Rakjat tjabang Bandung I akan mengadakan malam hiburan tgl. 9 Nopember 1957 djam 19.00 bertempat di djalan Kiaratjondong no. 138 A”.
Bersamaan dengan itu, diadakan juga Rapat Umum pada hari Minggu jam 09.00, bertempat di sebelah gedung sekolah SR MJSS Jl. Papandayan No. 147. Sementara informasi lain mengenai organisasi militan ini, tercatat pula dalam laporan berkepala “Komisariat Pemuda Rakjat Kab. Bandung”. Di dalamnya terdapat informasi mengenai lahirnya cabang Pemuda Rakyat di Cimahi, beserta susunan kepengurusannya.
“Baru2 ini di Tjimahi telah dibentuk Komisariat Pemuda Rakjat Kabupaten Bandung jang susunan pengurusnja terdiri dari ketua I. Sutidja, anggauta komisariat masing2 Hidajat Permana, Halar, Targanda, Sumitro, dan Tarjana sebagai anggauta staff,” demikian laporan Warta Bandung.
Kehadirannya yang signifikan kemudian turut membidani Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Bandung pada awal tahun 1960. Tercatat bahwa mereka juga telah melahirkan front persatuan pemuda yang kian hari semakin terkonsolidasi.
“Front Pemuda dengan bersenjatakan Manipol telah berhasil mengalahkan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan tradisi revolusioner gerakan pemuda Indonesia, seperti usaha-usaha memiliterisasi pemuda, usaha-usaha merusak dan menggerowoti organisasi-organisasi pemuda demokratis,” ucap kawan Sukatno.
Sementara mengenai eksistensi Lekra, kiranya penjelasan dalam artikel pertama serial Sejarah Surat Kabar Warta Bandung bisa sedikit memberi jawaban. Di sana, terdapat informasi sekilas mengenai kedigdayaan Lekra, khususnya tokoh-tokoh yang menggawangi rubrik kebudayaan Warta Bandung. Bahkan A.S Dharta sendiri rutin menghadiri undangan yang diselenggarakan Lekra cabang Bandung.
Beberapa laporan Warta Bandung mencatat bahwa diskusi rutinan yang dihelat Lekra cabang Bandung seringkali diadakan di Jalan Nias nomor 3. Bahasan yang dipercakapkan cukup beragam. Di mulai selera masyarakat, mutu seni ke taraf yang lebih tinggi, hingga strategi-taktik dalam menggunakan bahasa Sunda.
Ada hal unik mengenai temuan keberadaan markas Lekra cabang Bandung. Penulis mendapati informasi ini dalam “rubrik tanja-djawab dengan pembatja”. Di dalamnya, redaksi menjawab pertanyaan dari seorang penanya yang masih berusia anak-anak namun berhasrat untuk gabung Lekra. Berikut informasi lengkapnya:
“Mau Masuk Lekra? Djawaban untuk adik2 Zayad Rasidi: Mengenai sesuatunja tentang ‘Lekra’ adik bisa mendapatkan keterangan dari organisasi tsb, dan alamatnja di Djalan Nangka 25. Sudah tentu maksud adik untuk mendjadi anggauta akan diterima. Silahkan, dik. Berhubungan. Nanti dari sana adik akan mendapat petundjuk untuk menggabungkan diri pada seksi2 jang ada di Bandung ini, jang tjotjok dengan bakat adik sendiri tentu”.
Demikian informasi mengenai sejumlah organisasi yang pernah ada di Bandung. Dan, ya, tentu masih banyak lagi informasi lain. Utamanya mengenai bukti eksistensi Lekra di Bandung. Namun kiranya puisi berkepala “Pesta rakjat Bodjongloa” dari Imam Sudjono yang terbit 20 September 1957 dapat memberi gambaran separuhnya. Dalam “Menjambut Konfernas ke-II Lekra”, Imam Sudjono mengungkapkannya sebagai berikut:
Di Djakarta kalian akan bertemu/Bikin lingkaran baru, isi baru
Dan bersamamu/Kesepian desa kami rubah djadi pesta-ria
Dengan segala harta kami –nilai kerdja/Kami langkahi segala kebetjekan dengan tawa /
O indahnya hari-hari ini….