SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #1: Manifestasi Spirit Antinekolim dari Kota Kembang
Mengusung slogan “Persatuan-Nasional-Demokratis”, Warta Bandung eksis di Kota Kembang. Koran ini disebut-sebut memiliki afiliasi dengan kelompok kiri. Benarkah?
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
6 Januari 2023
BandungBergerak.id - Beragam surat kabar tumbuh kembang di era demokrasi liberal tahun 50an. Saat hendak menilik lebih dalam, terang hal ini erat kaitannya dengan geliat partai politik yang kala itu bermunculan. Sebagaimana kita tahu, bahwa saat itu, kurang lebih 30 partai politik mengikuti proses pemilu.
Menariknya, sebagian besar kontestan pemilu – utamanya partai-partai besar, masing-masing memiliki surat kabar. Maka tidak mengherankan jika, meminjam istilah Indra Prayana dalam esai Pers dan Partai Politik Kita, era ini dimaknai sebagai “zaman yang menggairahkan”.
Sebagai catatan, bahwa surat kabar pada saat itu memang menjadi sarana ampuh untuk menyebarkan gagasan, dan juga program partai-partai. Dalam situasi yang demikian, Warta Bandung menjadi salah satu di antara sekian surat kabar yang baru bermunculan itu. Warta Bandung terbit pertama kali pada tahun 1954.
Hingga artikel ini rampung dituliskan, setidaknya dua tulisan dalam bentuk esai saya temukan berkenaan dengan informasi seputar Warta Bandung. Yang pertama termuat dalam Jejak Pers di Bandung (hlm. 163-166). Lalu berikutnya dalam Sejarah Pers Kebangsaan (hlm. 745-747)
Di dalam keduanya, juga tercatat beberapa informasi mengenai detail informasi Warta Bandung. SJ. Sulaeman disebutkan sebagai Pemimpin Umum/Redaksi, sementara urusan administrasi diemban oleh seorang bernama E. Atmadiredja. Tetapi, saya menemukan sedikit perbedaan antara Warta Bandung terbitan 1956 dan setelahnya. Barangkali hal ini akan diulas belakangan.
Yang jelas, Warta Bandung sendiri terbit sebagai format harian dengan harga langganan untuk sekitaran Kota Bandung/Cimahi 15,50 rupiah sebulan. Sementara luar Kota Bandung 16,- rupiah sebulan. Setiap kali terbit, Warta Bandung menyajikan 4 halaman, 3 halaman diisi berita, dan 1 halaman belakang sepenuhnya untuk iklan, dalam format besar ukuran 45 cm x 57 cm.
Dan dengan mengusung slogan “Persatuan-Nasional-Demokratis”, Warta Bandung eksis di tengah kota kembang, tepatnya di Jalan Naripan no. 1, Kotak Pos 192, dengan nomer telepon: 5832. Yang menarik, sejumlah temuan mengenai Warta Bandung serempak menyebut bahwa surat kabar ini memiliki afiliasi dengan kelompok kiri. Benarkah demikian?
Baca Juga: Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies
Kuliah Umum Presiden Sukarno di Universitas Padjadjaran Bandung
Tinggi Mutu Budaya dan Seni
Setelah meninjau lebih lanjut, memang pendapat di muka ada benarnya. Namun, berbeda dengan Harian Rakjat – yang merupakan media resmi Partai, tampak Warta Bandung lebih bergerak di jalur populis. Sekilas, hal ini bisa ditilik dari slogan yang diusung mereka: mengedepankan persatuan dalam upaya membabat habis imperialisme dan sisa-sisa feodalisme melalui perjuangan nasional-demokratik.
“Petjinta Persatuan Nasional Demokratis dan Pantjasila, inilah harian saudara!!!” demikian Warta Bandung memikat para pembacanya sejak halaman pertama. Dalam buku Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 745), disebut bahwa Sj. Sulaiman, selaku pimpinan Warta Bandung, “tertarik untuk menjadikan korannya sebagai saluran kebudayaan”. Suatu hal yang juga dimungkinkan oleh karena lokasi Warta Bandung yang terletak persis di salah satu ruangan Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK – atau Galeri Pusat Kebudayaan/GPK).
Dan itu pula yang memungkinkan Warta Bandung bertautan dengan sejumlah budayawan. Beberapa temuan mutakhir mencatat bahwa seniman teater Jim Liem (Jim Adilimas), Suyatna Anirun, dan orang-orang ‘Studiklub Teater Bandung’, sastrawan Ajip Rosidi, Rustandi Kartakusumah, Rahmatullah Ading Affandi (RAF), dan lain-lain, pernah beririsan dengan Harian Warta Bandung.
Lalu kemudian rubrik Kebudayaan itu disiarkan setiap edisi Sabtu. Dan tertera tepat di halaman 3. Jika ditinjau secara substansi, rubrik ini terlihat memuat karya-karya berwujud prosa, resensi film, cerita pendek, drama, serta informasi seputar organisasi seni, dan juga budaya.
Dalam penelusuran Warta Bandung sepanjang tahun 1956, tercatat rubrik ini digawangi oleh nama-nama seniman seperti Hadi S, Dyantinah B. Supeno, Riono Pratikto, dan Imam Sudjono. Tahun berikutnya, tampak sedikit ada perubahan. Hal ini ditandai dengan masuknya nama-nama seperti J.T Rachma dan Erningpradja
Yang menarik, rubrik ‘Kebudayaan’ ini juga tak luput merengkuh isu kelokalan. Kiranya hal ini yang menjadi marka perbedaan Warta Bandung dengan lembar kebudayaan kiri lainnya, seperti yang dicanangkan Harian Rakjat, dan juga Bintang Timur.
Misalnya, dalam terbitan 16 November 1957, Warta Bandung mengulas sosok Imas Resmana, pegiat seni Reog Merpati asal Tegallega. Atau dalam terbitan 26 Oktober 1957, mengulas Ibu Idah Suhajaatmadja, sosok yang tak asing bagi publik Jabar yang gandrung kesenian wayang. Atau juga, misalnya, pada 9 November 1957, memuat Njimas Ijar, perempuan asal Pameungpeuk Banjaran yang merupakan ahli lagu-lagu kawih dan tembang Cianjuran.
Selain itu, masih di dalam rubrik ‘Kebudayaan’ Warta Bandung, juga terdapat berita-berita seputar perbukuan. Uniknya, informasi perbukuan yang disajikan bahkan mencakup hingga tahapan internasional. Misalnya saja, berita seputar buku-buku Indonesia yang diterbitkan Uni Soviet sebagai berikut:
“Buku2 Indonesia karangan para pengarang2 Indonesia sangat menarik perhatian Pemerintah dan masjarakat Sovjet Uni. Menurut keterangan tertulis, keindahan hasil karja pengarang Indonesia terletak pada bentuknja jang sederhana, dan karena itu banjak pula buku2 tersebut jang sudah dan akan disalin dlm bahasa Rusia” (Warta Bandung, 26 Oktober 1957).
Memang, dalam tahun yang sama, tercatat buku ‘Surapati’ karya Abdul Muis, ‘Cerita dari Blora’ karya Pramoedya Ananta Toer, ‘Pangeran jang Pandai’, dan ‘Pahlawan Minahasa’karya Marius Ramis Dajoh, telah diterbitkan dalam edisi Rusia. Sementara Naskah Drama ‘Bunga Rumah Makan’ karya Utuy Tatang Sontani, dan Novel ‘Siti Nurbaya’ karya Marah Roesli kala itu sedang dalam proses menuju diterjemahkan.
Dan sebetulnya, komitmen Warta Bandung terkait dengan isu seputar perbukuan tidak hanya terdapat di dalam rubrik Kebudayaan, namun juga tertera hingga di kolom iklan. Sebagaimana akan saya kutip informasi tersebut secara utuh di sini:
“Sudah terbit: Sedjarah Doktrin Ekonomi karangan Drs. E. Hereman (pemimpin kursus2 BI Ekonomi dan Perniagaan & Lektor Kepala Ekonomi P.T.P.G Bandung. Berguna sekali untuk mengetahui pendapat2 Ahli Pikir Ekonomi sedjak dulu sampai sekarang. Harga Rp. 30,- Ongkos kirim 10%. Pusat Pendjual: Toko Buku SEBDA Djalan Raya Timur Kosambi Bandung” (Warta Bandung, 11 Djanuari 1956).
Tentu saja bukan hanya sesekali Warta Bandung mempromosikan buku bacaan. Pada edisi-edisi selanjutnya, terdapat pula iklan mengenai seputar perbukuan. Untuk itu, izinkan saya kutip lagi secara utuh di sini:
“Buku PERDAMAIAN djilid I, tjt V, Rp. 2. Djilid II tjt. III Rp. 2,50. Selain mengupas ur. Perdamaian ditindjau dari segi djurusan, djuga mengadjar Pemimpin & Alat2 Negara jg tjurang dan membuka rahasia & kedok djemaat Nabi Palsu ala kolonialis-imperialis jg merintangi perdamaian. Beli lebih 50 ex., kort. 30%. Beli lebih 200 ex., kort. 40%. Lekas beli spj tida kehabisan! Uang dimuka kep. Penerbit “MAS” Djl. Semar, no. 7 Bandung” (Warta Bandung, 17 Februari 1956).
Selain itu, ada juga ulasan menyambut ulang tahun Pemuda Rakyat di Bandung yang turut menghiasi ruang kebudayaan. Dalam berita berjudul "Ulangtahun Pemuda Rakjat disambut dimana-mana dgn Pesta” dicatat bahwa ratusan orang turut merayakan acara tersebut. Sebagai penjelas, saya kutip secara utuh di sini:
“Ulang-tahun ke-XII Pemuda Rakjat dikota Bandung ternjata [mendapat] sambutan jg luas dari kalangan masjarakat ramai, sampai diranting-ranting jang djumlahnja bertebaran di-desa2 dalam daerah Kota Besar Bandung dilangsungkan pesta. Ada jang menjelenggarakan pertundjukan rejog, sandiwara, pentjak-silat dan lainnja; ada jang mengadakan pertandingan2 dibidang keolahragaan, rapat2, pertemuan2, tjeramah2 dan lainnja. Dalam hubungan ini tadi malah di Tjibeunjing dilangsungkan pesta jang mendapat perhatian massa jang besar. Menurut tafsiran, pertundjukkan menjambut ulangtahun Pemuda Rakjat tersebut lebih kurang ada 700 orang, hingga gedung Sandiwara jg ketjil penuh sesak sampai meluap keluar” (Warta Bandung, Sabtu 16 Nopember 1957).
Setelah melihat uraian di muka, terang sekali komitmen Warta Bandung terhadap persoalan mayoritas publik saat itu: satu barisan mengganyang nekolim – suatu istilah yang sebetulnya bikin bosan tapi memang harus disampaikan.
Dan hal tersebut selaras dengan temuan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 745), yang menyebut bahwa “ulasan-ulasan kebudayaan [Warta Bandung] tidak didominasi aliran seni tertentu. Meski demikian, di halaman 3 mudah dijumpai karya-karya para seniman Lekra, yang kala itu tengah mewabah.”
Kaitannya dengan Lekra, bisa dilihat Warta Bandung 22 September 1957, yang memuat berita berjudul “Bodjongloa Menjambut Konfernas ke-II Lekra dgn Kegiatan membantu Korban Bandjir”, atau bisa juga dilihat Warta Bandung 22 Djuni 1957, yang mengulas informasi mengenai Diskusi Lingkaran Sastra Lekra di Bandung.
Dalam informasi tersebut, tercatat sejumlah tokoh Lekra menghadiri pagelaran diskusi yang digelar di Jalan Nias Bandung. Sekadar memberi konteks, saya kutip lead beritanya di sini:
“Dengan dihadiri oleh AS. Dharta (penjair), Hadi S (penjair), Basuki Resabowo (pelukis) dan beberapa pengarang muda Lingkaran Sastera Bandung, pada tanggal 30-5-’57 bertempat di Djalan Nias 3 Bandung telah dilangsungkan suatu diskusi disekitar persoalan “Seniman Indonesia/Seniman Lekra dengan tugas dan masalah2nja”. Pertemuan dibuka pada k.l djam 17.30 oleh Dyantinah B. Supeno. Sebagai pengantar diskusi dibatjakanlah sebuah sadjak karangan Imam Sudjono jang berkepala ‘Sebuah pertempuran di Paberik’,”(Warta Bandung, 22 Djuni 1957).
Begitulah Warta Bandung, yang tampaknya cukup jelas memiliki komitmen cukup tinggi terhadap seni dan budaya. Bahkan saat Mang Koko (penyanyi, sekaligus main kecapi), Mang Parmis (pemain suling), Nj. Etty Rumijati (sinden), dan Nj. Jetty Sumijati (penyanyi) – para delegasi asal Jabar – yang pada saat itu memenangkan emas beserta perunggu di Festival Pemuda dan Pelajar Moskow 1957, Warta Bandung memuat reportase khusus di halaman utama, berhari-hari lamanya.
Jika dirasa kurang sedap, dapat pula dilihat dalam rubrik “Kronik Bandung” yang secara khusus menyiarkan pembukaan sekolah seni di kantor Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan no. 1 Bandung. Suatu alamat yang juga sama persis dengan kantor redaksi Warta Bandung. Dan, ya, kita bisa saja menduga bahwa punggawa Warta Bandung turut pula terlibat di dalamnya. Untuk lebih jauh, saya kutip sebagian beritanya:
“Pada bulan Agustus jg akan datang Jajasan Pusat Kebudajaan akan menerima lagi peladjar2 baru untuk Sekolah Seni, jang dapat diikuti oleh umum terutama peladjar2 SR kelas VI dan sekolah landjutan. Maksud dari Jajasan Pusat Kebudayaan membuka sekolah tersebut, selain untuk memupuk dan membimbing perkembangan kesenian, djuga sedapat mungkin ingin mentjapai mutu seni jang tinggi dan sempurna. Pendaftaran untuk penerimaan peladjar sekolah tersebut sudah dapat dimulai dari sekarang dikantor Jajasan Pusat Kebudajaan, Djalan Naripan No. 1 Bandung” (Warta Bandung, Jumat 31 Mei 1957).
Selain itu, hal menarik lainnya, ada pula rubrik “Gelanggang Harapan”. Rubrik ini digawangi oleh seseorang dengan pseudonim Kak Embun, dan secara khusus, menjadi ruang bagi para anak-anak pecinta sastra. Tampak puisi dan cerpen menjadi sajian utama.
Sebagai informasi tambahan, bahwa rubrik “Gelanggang Harapan” ini juga menyediakan wadah apresiasi kesenian anak dengan agenda bertajuk “Malam Gembira”. Suatu kegiatan yang merupakan manifestasi dari penggalangan dana anggota “Gelanggang Harapan”.
Menariknya, dalam rubrik ini juga tertera “surat balasan dan berita untuk adik2”. Mengenai hal ini, kira-kira semacam ‘kritik-otokritik’ versi sesama pembaca Gelanggang Harapan. Di dalamnya, terdapat upaya saling koreksi atau saling memberi saran antara pembaca.
Yang jelas, hal ini dapat memberi bukti bahwa strategi Warta Bandung membidik pelanggan dari berbagai kalangan ternyata cukup signifikan. Dengan demikian, jangan heran jika – menukil Rhoma Dwi Aria Yulianti – Warta Bandung kala itu beroplah hingga 10.000 eksemplar.