Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Sepak bola identik dengan suporter. Tetapi bagaimana jika massa sepak bola ini bergerak lebih jauh untuk menumbangkan penguasa otoriter?
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
21 Desember 2022
BandungBergerak.id - Piala Dunia 2022 telah usai. Turnamen akbar sepak bola yang berlangsung di Qatar ini mengantarkan Lionel Messi untuk merengkuh pencapaian terbaiknya: membawa Timnas Argentina juara.
Sebelum final Piala Dunia, saya membayangkan publik Argentina dilanda kecemasan. Pasalnya, jelang menghadapi Timnas Perancis di final, mereka dihadapkan pada dua pilihan: kebahagiaan atau kemuraman.
Jalannya final Argentina versus Perancis kemudian diwarnai rentetan peristiwa yang menghentak dada, diakhiri adu penalti yang bikin jantung berdebar, sebagaimana pertandingan lawan Belanda. Suatu hal yang membuat ratusan ribu publik sepak bola Argentina turun ke jalanan, untuk merayakan kemenangan.
Itu pula yang mengantar saya untuk kemudian membaca sejumlah berita aktual tentang Timnas Argentina, hingga akhirnya mendapat kabar kurang sedap yang terkait dengannnya. Bahwa negara Argentina diprediksi mengalami kenaikan harga barang tertinggi sejak periode hiperinflasi 1990-an. Keadaan ini diperparah dengan masalah percetakan uang dan lingkaran setan kenaikan harga oleh pebisnis.
Kabar ini bahkan diafirmasi Menteri Ekonomi Argentina, Sergio Massa, yang mengatakan bahwa dirinya mengajukan keputusan untuk meringankan pajak bagi buruh. Sebabnya, sebagaimana disebut di muka, bahwa negara tersebut memang sedang kesulitan dan berjuang mengatasi lonjakan inflasi.
“Penghasilan buruh yang kena pajak kini menjadi 330.000 peso atau 86.579.556 rupiah (kurs 102 rupih). Tepatnya, kebijakan tersebut akan dilaksanakan pada 1 November 2022 dan berlaku akan di atas 330.000 peso,” ucapnya, dalam satu wawancara. “Langkah ini [diharapkan] akan membantu meringankan beban yang dihadapi masyarakat untuk menghadapi masalah inflasi serius tahun 2022,” katanya lagi.
Tepat di sini, barangkali ada segelintir elit di sana yang memanfaatkan sepak bola untuk mendistrak warga Argentina, terutama akan kesulitan yang dialaminya. Entahlah. Bisa jadi ini mah hanya amatan subjektif saya, yang sedang larut dalam perasaan bergelora [akan sepak bola], yang sudah barang tentu masih perlu upaya lebih untuk menemukan penjelasan masuk akal.
Dan, ya, sebagaimana uraian di muka, bahwa realitas sebenarnya begitu rumit, sehingga sulit untuk direngkuh dengan sekadar memelototi apa yang sekilas tampak di depan layar kaca. Tapi justru dengan itu, saya tiba-tiba teringat satu peristiwa besar di Mesir.
Saat itu, ultras sepak bola Mesir menggucang dunia dengan aksi protes mereka. Sebagai informasi, ultras merupakan kelompok suporter sepak bola. Namun, secara khusus, mereka kerap ‘memainkan’ flare, memiliki chant [nyanyian], dan menciptakan atmosfir pertandingan yang riuh.
Merujuk beberapa sumber, penyebutan ultras konon lebih dikenal dikawasan Italia, Eropa Timur dan kawasan Timur Tengah. Sementara untuk di Inggris Raya, kita tahu, lebih dikenal dengan sebutan hooligans. Sementara Ian Taylor, menyebut bahwa kemunculan ultras/hooligans terjadi akibat perubahan struktur ekonomi politik di masyarakat dan sepak bola.
Sederhananya, Ian Taylor mengatakan bahwa perubahan besar dalam sepak bola, yang secara tradisional merupakan olahraga kelas pekerja, diyakini telah mengalienasi mereka: komersialisasi, internasionalisasi, dan profesionalisasi.
Yang menariknya, bagi warga Mesir, pemaknaan ultras sedikit agak berbeda dengan penjelasan di muka. Lebih dari itu, mempunyai kesan yang cukup menyenangkan. Bersama segenap elemen masyarakat, ultras menjadi subjek politik, dan beririsan dalam momen menggulingkan rezim Hosni Mobarak dari singgasana. Beginilah kisahnya:
Nyala Api dari Tunisia
Semua bermula saat fenomena Arab spring melanda Mesir di penghujung tahun 2010. Hal itulah yang membuat ultras pada akhirnya turun ke jalanan, dan, ya, di titik ini mereka keluar dari kelaziman suporter sepak bola.
Saat itu, ultras bergabung bersama jutaan rakyat mesir lainnya dalam Revolusi 25 Januari 2011. Semuanya bahu-membahu memaksa mundur rezim otoriter yang telah berkuasa selama 30 tahun. Menariknya, gelombang protes diinisiasi dua kelompok ultras yang sebelumnya tercatat memiliki rekam jejak kurang bersahabat: White Knight (Zamalek) dan Ahlawy dari klub Al-Ahly.
Untuk diketahui bahwa sebelumnya, ultras Al Ahly mengidentifikasi diri sebagai representasi buruh, sementara ultras Zamalek sebagai representasi kaum kolonial di Mesir. Namun, sejarah telah mencatat bahwa keduanya pernah bersatu untuk melawan musuh yang sama: rezim represif.
Nurhidayat Yudha Fahmi, dalam skripsi berjudul Analisis Perubahan Peran Kelompok Suporter Sepak bola Ultras Mesir Pada Masa Revolusi Arab Spring 2010-2011, menyebut bahwa aksi protes dilandasi atas kekecewaan salah satunya terhadap kasus pelanggaran HAM, yang mewujud pada tindakan persekusi oleh dua orang polisi di kota Alexandria, Mesir, terhadap aktivis muda, Khalid Said, pada tanggal 6 Juni 2010.
Hal ini terjadi tatkala dirinya [Khalid Said] mengunggah sebuah video yang memperlihatkan oknum polisi yang melakukan pesta narkoba. Ironisnya, hal tersebut dilakukan usai operasi dan upaya pembersihan narkoba oleh yang bersangkutan (Fahmi, 2018: 4).
Menurut saksi mata, terdapat dua orang polisi yang berpura-pura meminta uang kepada Khalid Said, namun Khalid Said menolak untuk memberinya, kemudian terjadilah tindak kekerasan yang berujung hilangnya nyawa Khalid said.
Parahnya, pascakematian Khalid said, pihak kepolisian menolak untuk menyelidiki kematiannya. Dan ketika banyak orang Mesir mulai bertanya-tanya ihwal keadaan sebenarnya, polisi mengeluarkan beberapa pernyataan yang menyebutkan bahwa Khalid Said pengguna narkoba (ya, seolah-olah menyiksa dan membunuh pecandu narkoba dibenarkan). Dan tentu saja, sejumlah orang yang mengetahui betul kiprah Khalid Said merasa keberatan, dan menolak klaim yang dinyatakan pihak kepolisian Mesir.
Selain itu, aksi protes juga berkaitan dengan hubungan buruk Ultras dengan aparat keamanan, terutama aparat pemerintahan era Hosni Mobarak. Kelompok ultras ini kerap dipukuli, tak jarang pula mereka dipermalukan, terutama saat dihadapkan pada situasi penggeledahan. Hal ini terjadi saat ultras akan memasuki stadion, kemudian dilanjutkan dengan arahan untuk menanggalkan pakaian.
Manifestasi hubungan buruk lainnya adalah dalam framing media nasional. Pemerintah kerap mengambinghitamkan ultras, untuk kemudian menyebut mereka sebagai kelompok yang patut dibasmi dan dihindari.
Pada tahun 2009, salah satu program TV menyiarkan tayangan yang merekam beberapa individu di dalam kelompok ultras. Mereka sedang merayakan ulang tahun anggota dari kelompoknya. Ironisnya, TV tersebut malah memberi judul sebagai berikut: "Ini adalah penggemar sepak bola; pecandu narkoba, homoseksual, dan pemberontak.”
Dengan demikian, pesan yang diterima jelas: rezim berupaya merusak citra kelompok Ultras. Terutama dari keluarga mereka, teman-teman, dan masyarakat pada umumnya. Terbukti setelah tayangan di TV tersebut viral, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap kelompok ultras. Itulah tonggak penting sekaligus penanda dimulainya pertarungan antara ultras dan aparat keamanan.
Dan seiring intensitas bentrokan antara ultras dan aparat keamanan, maka dinamika pertikaian antara keduanya semakin menyeruak, hingga bergeser arena ke ruang publik. Kemudian bersama seluruh elemen yang menghendaki perubahan di Mesir, mereka bersepakat mengusung slogan: roti, kebebasan, dan keadilan sosial.
Yang layak digarisbawahi, adalah suntikan dari revolusi yang sebelumnya didahului di Tunisia. Hal ini tampak pada 22 Januari 2011, saat viralnya sebuah video di kanal YouTube untuk mengajak orang bergabung dalam barisan aksi demonstrasi yang ditetapkan 25 Januari 2011.
Dalam video tersebut, terlihat perkelahian antara ultras Ahlawy dan ultras White Knight dengan aparat keamanan, yang kemudian diiringi teriakan: "Tunisia... Tunisia...!". Itulah manifestasi spirit pergerakan Tunisia.
Ya, memang Tunisia yang memulai semuanya. Saat itu, Ultras Tunisia, memberontak pada rezim Zine El Abidine Ben Ali pada Desember 2010, tiga hari setelah Mohamed Bouazizi membakar dirinya sendiri.
Baca Juga: PROFIL RIVERSIDE FOREST: Membangun Sepak Bola Rakyat di Tangga Batu Tamansari
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2
Buang Rivalitas, Galang Solidaritas
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kelompok ultras berupaya memanfaatkan teknologi dalam melancarkan aksi protesnya. Hal ini terbukti dalam pesan lainnya yang termaktub dalam video yang mereka sebarkan: seruan dan jaminan bagi siapa-siapa yang turun ke jalan, maka akan dijaga oleh kelompok ultras.
Ya, kelompok ultras Mesir juga memiliki peran sebagai kelompok yang berhadapan langsung di garis depan. Mereka melindungi aktivis lainnya yang kurang berpengalaman dalam konfrontasi langsung dengan aparat keamanan, si penjaga rezim Hosni Mobarak.
Yang menarik, adalah pilihan strategi-taktik yang digunakan mereka: menjalin hubungan dengan para Takriz untuk melakukan propaganda, komunikasi, dan juga pengorganisasian massa melalui media sosial. Takriz, atau Takrizard ini merupakan jaringan kelompok hacker atau peretas komputer yang berbasis di Afrika Utara dan Timur Tengah.
“Dengan watak heterogenitas, Takriz ini begitu sulit sekali dideteksi otoritas setempat,” tulis Nurhidayat.
Berdasar catatan sejarah, persekutuan mereka telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Takriz sendiri didirikan sejak 1998. Namun kedekatan keduanya bisa dibilang bermula pada tahun 1999, ketika itu beberapa anggota Takriz di Tunisia menghadiri pertandingan sepak bola piala Tunisia, yang diakhiri dengan sejumlah kerusuhan.
Dalam momen tersebut, kemudian Takriz melihat potensi dan militansi yang dimiliki ultras. Lantas, tepat di titik ini keduanya menjalin kerja sama. Dan untuk meninjau langkah berikutnya, bisa dilihat dalam agenda yang diusung mereka: membuat forum web forum, dalam upaya koordinasi lebih lanjut.
Seiring perjalanan, dampak dari forum-forum itu ternyata signifikan. Dan kemudian menyebar di kalangan ultras Tunisia, Mesir, Aljazair, Libya, dan Maroko. Pada tahun 2009, para ultras dan Takriz memutuskan untuk melakukan sebuah upaya mobilisasi. Itulah yang kemudian menjadi tonggak penting diskursus dan praktik pergerakan ultras beserta masyarakat di Mesir.
Puncaknya, adalah aksi protes dalam pendudukan Tahrir Square. Para ultras bergabung bersama Ikhwanul Muslimin dan para aktivis prodemokrasi lain untuk berunjuk rasa dan berkonfrontasi dengan pihak pendukung rezim Hosni Mobarak. Protes dan pendudukan di Tahrir Square ini kemudian dikenal dengan "Battle of Camel", dan terjadi kurang lebih 18 hari.
“Mohammed Hassan, seorang programmer komputer muda dan pemimpin pasukan Zamalek, White Knight, mempimpin 10.000 orang yang berasal dari lingkungan Shubra di Kairo pada 25 Januari 2011. Mereka melakukan pelemparan batu dan membakar kendaraan hingga menyerbu kantor Partai Demokrat Nasional milik Hosni Mobarak,” tulis Nurhidayat.
Hal menarik lain terjadi pada saat sehari sebelum protes berlangsung. Kedua kelompok Ultras [White Knight dan Ahlawy] mengeluarkan pernyataan sikap di halaman Facebook masing-masing dari mereka. Isinya, ihwal penegasan bahwa mereka bukanlah sebuah institusi politik. Dan mereka memberi kebebasan pilihan pada individu-individu yang tergabung di dalamnya.
Ultras juga menegaskan kepada pengikutnya bahwa aksi demonstrasi ini merupakan puncak kekesalan pada aparat keamanan di Mesir. Dilihat secara sekilas, dinamika pembangkangan ini juga jelas bercorak plural. Terbukti dalam perjalanannya, berbagai elemen kiri-kanan turut pula berbagi gagasan dan peran bersama mereka.
Tapi, yang terpenting dari narasi beserta rumusan strategi-taktik yang dicanangkan: bisakah upaya demikian diadopsi gerakan #usut tuntas tragedi kanjuruhan?