SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #5: Di Tengah Polemik Lambang Partai
Surat kabar Warta Bandung yang terbit pada tahun 1957 merekam polemik antara PKI dan Acoma yang sama-sama berideologi komunis memperebutkan lambang partai palu arit.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
7 Maret 2023
BandungBergerak.id – Pada tahun 1957, timbul polemik antara partai-partai yang saat itu eksis di Bandung. Seiring waktu berjalan, persoalan ini kian mencuat ke permukaan. Surat kabar Warta Bandung memuat laporan polemik partai-partai tersebut secara intensif sejak Juni 1957.
Dalam penelusuran, inti dari polemik ini adalah penggunaan lambang yang dipakai Acoma, yang mirip dengan PKI. Hal ini tercatat dalam laporan berkepala “Acoma ingin Kursi dgn Tjara Sendiri”. Di dalamnya tertulis bahwa “persoalan tanda gambar Acoma jg bukan lagi mirip tapi hampir bersamaan sekali dgn tanda gambar PKI, masih belum dapat diselesaikan seluruhnja”.
Alasan Acoma sendiri ialah, oleh karena mereka juga memiliki dasar komunis, sedangkan, kita tahu bahwa lambang komunis hanyalah satu: Palu Arit. Namun demikian Acoma bersikukuh dengan pendiriannya. Dan alasan Acoma ini, menurut keterangan oleh sebagian anggota PPD (panitia pemilu) Kab. Bandung, juga dapat diterima.
“Sementara itu dari kalangan masjarakat Kab. Bandung sampai saat ini masih terus timbul suara2 memprotes akan pemakaian tanda gambar jg mirip dgn jg telah ada,” lanjut laporan tersebut. Hal tersebut merujuk pada pengumuman sebelumnya dari Menteri Dalam Negeri yang tidak memperbolehkan memakai lambang yang mirip, atau bersamaan dengan lambang yang telah ada.
Acoma sendiri merupakan akronim dari Angkatan Komunis Muda. Kelompok ini dipimpin oleh Ibnu Parna, kawan karib Sukarni semasa revolusi Agustus 1945. “Acoma dilahirkan sebagai ikatan kader proletar muda dari kaum pekerja di lapangan perindustrian dan pertanian, serta pemerintah dan peralatannya, ikatan kader-kader yang sepakat hendak meneruskan tradisi revolusioner perjuangan rakyat Indonesia di atas dasar massa aksi,” tulis Ibnu Parna, dalam buku Pengantar Oposisi Rakyat (1954).
Sekilas, kita bisa saja menebak bahwa kelompok ini memiliki kedekatan dengan Tan Malaka. Sebagaimana tersemat diksi “Massa Aksi” di dalam keterangan di atas. Yang jelas, bukan hanya Murba. Acoma juga demikian adanya. Bahkan tercatat pula nama Sidik Kertapati, yang pernah menjadi bagian di dalamnya. Meski beberapa waktu berselang, Sidik Kertapati terlibat dalam pusaran konflik internal Acoma.
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #4: Membersamai Kaum Tani
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #3: Bersama Menerjang Wabah Influenza
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #2: Sobat dari Banyak Serikat Perburuhan
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #1: Manifestasi Spirit Antinekolim dari Kota Kembang
Acoma, dari Semar ke Palu Arit
Acoma didirikan pada tahun 1946. Beberapa sumber, termasuk Bennedict Anderson, menyebut bahwa Acoma memiliki markas di Jalan Kasin Kulon no. 26, Malang. Dalam kontestasi Pemilu 1955, Acoma mendapat suara 64.514. Dan di dalam Pemilu 1955 itu pula, Acoma tampak menggunakan tokoh punakawan Semar sebagai lambang.
Ibnu Parna sendiri membenarkan hal ini. “Bahwa Semar mewujudkan kejujuran rakyat yang menghargai prinsip di atas jabatan,” katanya. Konon Semar dipilih karena wataknya banyak terkandung dalam sejarah pertumbuhan Partai Acoma. Klaim ini dilontarkan Ibnu Parna dalam bab “Tanda Gambar Semar”.
Di dalamnya, Ibnu Parna tampak pula menyindir kelompok yang dinilainya telah melenceng dari cita-cita perubahan yang dikehendaki rakyat Indonesia. Kelompok inilah, yang kita tahu, merupakan seteru Acoma dalam berebut massa sayap kiri. Ya, siapa lagi kalau bukan PKI.
“Bukankah Semar itu penolong pada waktunya? Bukankah Semar itu pembela pada tempatnya? Memang Semar pribadi yang bersedia menyerahkan mandat kepada siapapun asal memang mampu dan berkesanggupan membela kebenaran massa rakyat. Tetapi bukankah Semar pula yang tampil ke depan, bila memang tidak ada lagi orang yang mampu dan berkesanggupan?” demikian pertanyaan retoris yang disodorkan Ibnu Parna.
Adapun sejumlah program yang diusung Acoma, antara lain ialah: 1.) Membentuk Pemerintahan Rakyat, 2.) Merebut Sumber Bahan dan Tenaga Rakyat dari Tangan Modal Penjajah, 3.) Melenyapkan Basis Angkatan Perang Penjajahan di Daerah Kepulauan Indonesia, 4.) Menggalang Angkatan Perang Rakyat, 5.) Melenyapkan Sarang-Sarang Reaksi Kontra-Revolusi, 6.) Pembangunan Rakyat, 7.) Meningkatkan dan Menyempurnakan Kebudayaan dan Pendidikan Rakyat, 8.) Mengutamakan Kerja-sama yang Seerat-eratnya dengan Semua Pemerintahan Rakyat seluruh Dunia, 9.) Melawan Fasisme Dunia.
Namun yang hingga kini masih berupaya dicari jawabannya, sejak kapan Acoma membuat keputusan untuk mengubah lambang mereka dari Semar ke lambang palu arit? Bagaimana relasi Acoma dengan, misalnya, Partai Murba? Betulkah hanya karena sentimental yang melandasi mereka untuk bercerai dengan kelompok kiri lainnya?
Kecaman dari PKI
Surat kabar Warta Bandung yang terbit 3 Juni 1957 memuat laporan berkepala “Persoalan tanda-gambar masih hangat mendjadi pembitjaraan”. Di dalamnya, terdapat keterangan bahwa sejumlah Partai, Organisasi, dan individu yang maju untuk ikut Pemilihan Umum daerah Tingkat Kabupaten Bandung telah menyodorkan salah satu persyaratan, dalam hal ini, berupa lambang yang akan mereka gunakan.
“Sebanjak 34 buah. Diantara djumlah sekian itu jg telah memenuhi sarat pendukungan hanja sebanjak 28 sedang jang 6 buah karena tidak mentjapai sarat2 jg ditentukan dlm pendukungan pentjalonannja tidak didjadikan,” demikian laporan yang diterima redaksi WB dari PPD Kab. Bandung.
Di antara 28 Partai , Organisasi, dan Individu yang telah memenuhi syarat tersebut ialah, “K1, P3RI, Pront Pem.Kemerd.Rakjat, Masjumi, PRD, PSII, Acoma, Permai, Murba, Pemb. Proklamasi, PNI, Perwari, Gerprindo, Parki, Gerk. Gotong Rojong, Gab. Pend. Kop. Prim, Gerk. Marhaen nld, PRI, GPS, NU, PSI, Edy Soeharna, GPPS, Pront Rakjat tak berpartai, PTI, Pgu. Pasundan, IPKI, dan Erti.”
Sementara yang tidak memenuhi syarat pencalonan, terdapat nama-nama seperti R. Ibrahim, PRN, Adjo Sobari, Parindra, Baperki, dan Partai Buruh. Kemudian tersiar pula kabar bahwa Partai yang terbanyak mengajukan calon ialah PNI: 50 orang, menyusul PKI: 45 orang, Masyumi: 42 orang, sedangkan NU: 26 orang.
Namun persoalan lambang kian meruncing dengan hadirnya berbagai kecaman terutama dari organisasi-organisasi sayap kiri yang memiliki afiliasi dengan PKI. Sebagaimana keterangan di atas bahwa Acoma merupakan seteru PKI dalam hal perebutan pengaruh massa sayap kiri. Meski secara kuantitas, Acoma jauh tertinggal di bawah.
Yang pasti, hal tersebut bisa dilihat dalam laporan berkepala “Rapat Kerdja Sarbupri: Untuk memenangkan wakil2 buruh dalam Pemilihan Umum”. Di dalamnya, tercatat bahwa “Rapat Kerdja Sarburpri Djabar jang berlangsung pada tgl. 9-10 Djuni 57 di Bandung, telah melahirkan putusan2 jang antaranja ialah berupa tilgram2 ditudjukan kepada Menteri Dalam Negeri dan A.L.S cs.”
Telegram yang ditujukan pada Menteri Dalam Negeri ini berisi tuntutan agar tanda gambar-gambar yang mirip, yang digunakan di dalam Pemilihan Umum, supaya dibatalkan. Sementara yang ditujukan pada A.L.S cs berisi tuntutan gratifikasi tahun 1956. Selain itu, juga telah disampaikan surat pada PPN dengan isi tuntutan supaya UU penyelesaian perselisihan perburuhan segera dilaksanakan, dan UU 16 dibekukan.
“Mengenai pemilihan umum Rapat memutuskan untuk dengan aktip memenangkan wakil2 buruh jang ditjalonkan partai2 demokratis, untuk mana setiap anggauta akan ditarik sumbangan sebesar 20 sen disamping akan diadakannja gerakan pengumpulan barang2 lama (seperti botol2 kosong, Koran, dll,” lanjut laporan tersebut.
Sebagai informasi, bahwa rapat Sarbupri tersebut juga ditujukan untuk merealisasi program triwulan ke-3 DPP-nya. Dalam rapat itu, hadir pula nama-nama seperti Warsosukarto, Setiati Surasto (dari DPP Sarbupri) di samping utusan-utusan dari 21 ranting Sarbupri, dan Dewan Daerah/Cabang SOBSI.
Ungkapan protes lain keluar dari S.B.I.M BANDUNG. Serikat Buruh Industri Metal ini mengeluarkan kecaman berhubung dalam pemilihan DPRD (1957), ada beberapa golongan yang mencalonkan dalam pemilihan tersebut dengan memakai tanda gambar Partai-partai yang sudah ada.
“Perbuatan tersebut menurut pendapat kaum buruh jang tergabung dalam SBIM, sangat tida baik dan sudah tentu mendjadikan kekeliruan bagi para pemilih, djuga perbuatan sematjam itu boleh dikatakan sebagai perbuatan korupsi politik, ingin membontjeng kepada partai2 jang sudah tjukup dikenal oleh masjarakat banjak,” tulis laporan Warta Bandung yang memuat pernyataan sikap dari SBIM Bandung.
Pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh SBIM Bandung ini sendiri, antara lain: 1.) Memprotes keras kepada golongan-golongan tertentu yang menggunakan tanda gambar mirip dengan tanda gambar Partai yang sudah dikenal oleh masyarakat banyak. 2.) Agar supaya PPD yang bersangkutan dapat meninjau kembali kepada tanda-tanda gambar yang mirip itu, sekurang-kurangnya dapat membatalkan kepada tanda gambar yang membonceng tanda gambar partai yang sudah ada –tidak lain adalah PKI.
Merembet ke Partai Lain
Adapun dari PKI sendiri, juga melontarkan kecaman yang tertera dalam laporan berkepala “PKI Secom Subang minta tandagambar jg mirip dibatalkan”. Di dalamnya, tercatat bahwa PKI Secom Subang telah mengirimkan pernyataannya pada PPD Kab. setempat berhubung adanya polemik mengenai tanda gambar yang mirip.
Dalam pernyataannya itu, dikatakan pula bahwa tanda gambar yang mirip (maksudnya, tanda gambar Acoma) supaya dibatalkan. “Hal ini selain mengingat kedjudjuran dalam Pemilihan Umum daerah jad itu djuga mengingat UU no. 19/56 serta pendjelasan Menteri Dalam Negeri, tentang tidak bolehnja dipakai tanda jang mirip dengan jang telah ada seperti jang diprotes oleh PKI,” (Warta Bandung, 7 Juni 1957).
Selain itu, diterangkan pula bahwa PKI Secom Subang tidak hanya menuntut pembatalan tanda gambar yang mirip dengan PKI saja, tapi semua tanda gambar yang mirip. Sebagai tambahan, bahwa saat itu tersiar informasi pula bahwa beberapa lambang partai lainnya ada yang mirip dengan tanda gambar PNI dan Masyumi.
Pada akhirnya hikmah yang didapat dengan adanya laporan dari Warta Bandung ini, sekurang-kurangnya kita bisa melihat dinamika yang demikian kompleks di era 50an. Terutama dengan eksistensi Acoma, dan juga, Partai Murba -keduanya sebagaimana penjelasan di muka, dinilai sebagai kelompok dekat dengan Tan Malaka.
Dua kelompok ini juga kerap dianggap sebagai penganut Trotskys. Hal ini, sebagaimana M.C Ricklefs (2008: hlm. 499) yang menyebut bahwa “Kaum komunis-nasional yang mengagumi Tan Malaka menjadi anggota Partai Murba; mereka merupakan musuh utama kaum komunis dalam merebut dukungan sayap-kiri, tetapi tidak begitu kuat di luar Jakarta.”
Jika dirasa kurang, bisa pula kita meninjau Warta Bandung sejak edisi tanggal 14 Januari 1958, yang memuat secara intensif tulisan berkepala “Beberapa pikiran tentang Anti-Komunisme (Diktatur kanan atau kiri)” oleh Asmara Hadi:
“….dalam tahun revolusi 1848 dan dalam tahun-tahun sesudahnya 1917, demikianlah pula sesudah perang dunia kedua oleh golongan2 jg tak setudju akan perubahan masjarakat jang mengandung makna perubahan pula dalam posisi ekonomi dan kekuasaan mereka, komunisme dikedjar dan diburu, dan kepada rakjat djelata jang belum sanggup memikir dengan kritis apa itu komunisme sesungguhnya dilukiskanlah dalam warna2 jg djelek, bahwa komunisme itu adalah hantu atau djanaham (….) Jang anehnya, golongan agama dan sebagian daripada golongan nasional itu hanja anti kepada PKI. Padahal, jg menhendaki masjarakat komunis…bukan hanja PKI sadja. Tanjakanlah itu pada anggota2 Partai Murba….” (Warta Bandung, 15 Januari 1958).