SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #4: Membersamai Kaum Tani
Warta Bandung terang-terangan menunjukkan keberpihakannya pada kaum tani. Dekat dengan organisasi Buruh Tani Indonesia.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
14 Februari 2023
BandungBergerak.id – Baru-baru ini publik mendapati informasi bahwa sejumlah petani di Garut dan Pakel (Banyuwangi) dikriminalisasi. Sungguh ironis sekali. Kaum tani harus mengalami hal ini di bawah rezim yang memiliki akar ideologis yang sama dengan yang menjuluki mereka sebagai Sokoguru Revolusi.
Pada zamannya, kaum tani yang dulu terhimpun dalam BTI (Barisan Tani Indonesia) memiliki peran yang signifikan. Tak terkecuali di sekitaran Jawa Barat. Paling tidak, itulah yang ditemukan dalam penelusuran surat kabar Warta Bandung kali ini.
Dan memang demikian adanya. Asumsi sebelumnya bahwa surat kabar Warta Bandung memiliki kedekatan dengan organisasi yang berafiliasi kiri, terarfirmasi.
Jika sebelumnya telah dituliskan bahwa kelompok buruh, beserta organisasi yang memayunginya acapkali mendapat ruang yang lebar di dalam Warta Bandung, kini giliran kaum tani. Dalam beberapa laporannya, tercatat beberapa informasi penting mengenai keberadaan dan kiprah organisasi kaum tani yang cukup memberi warna tersendiri.
Misalnya saja, dalam sebuah laporan berkepala “KONGRES II BTI GARUT “ disebutkan bahwa BTI Cabang Garut telah mengadakan Kongresnya yang ke II, dengan dihadiri oleh kurang lebih 60 orang utusan dari ranting-rantingnya. Dalam Kongres tersebut, dibicarakan masalah tuntutan-tuntutan kaum tani dan bahan-bahan untuk Kongres Nasional V yang akan diadakan di Solo pada bulan Agustus 1957.
Kongres itu juga mengeluarkan keputusan dan resolusi yang isinya, antara lain masalah pembentukan DPR Desa Peralihan, masalah keamanan, masalah jaminan hukum bagi organisasi dan Konstituante supaya benar-benar mengeluarkan Undang-undang Agraria yang menguntungkan kaum tani. Di dalam Kongres itu juga dibentuk pimpinan Cabang baru. Sebagai Sekretaris Umum I dan II, tercatat nama Gandawidjaja dan T. Suharna.
Ada pula sebuah laporan berkepala “Rapat anggota BTI di Subang” yang menyatakan bahwa “BTI Ranting Tjigarukguk Tjabang Subang KDK Pegaden telah mengadakan rapat anggotanja jang dihadiri oleh sebanjak 1500 anggota. Dalam rapat tsb. Berbitjara antara lain G. Kartadisastra Sekertaris Umum I Tjabang BTI Subang jang berpokok sekitar perdjuangan kaum tani dengan pelopornja BTI (Warta Bandung, 15 Juni 1957)”.
Rapat tersebut kemudian diakhiri dengan membuat suatu resolusi yang dikirimkan kepada instansi pemerintahan setempat yang berisi tuntutan penurunan pembayaran urunan desa. Sebabnya, menurut mereka hasil panen petani di desa tersebut untuk tahun itu mengalami banyak kerugian yang disebabkan hama mentek.
Selain itu, eksistensi kaum tani juga terekam dalam laporan berjudul “Rapat BTI di Purwahardja”. Di dalamnya, disebut bahwa “Pada tanggal 21 Djuli [1957] jg lalu, BTI (Barisan Tani Indonesia) Ranting Purwahardja Tjisaga, telah melangsungkan rapatnja jg mendapat sambutan tjukup dari kalangan kaum tani.”
Dalam rapat itu juga disepakati bahwa telah diambil dua buah resolusi yang isinya menuntut kepada pemilik tanah supaya memberikan keringanan bagi penggarap/penyewa tanah, serta menuntut kepada pemerintah supaya segera mengadakan perbaikan tanggul-tanggul untuk mencegah meluapnya sungai Citandui. Dalam rapat itu rakyat Kampung Parungsari yang mendiami tepi Kali Citandui yang selalu banjir menuntut dipindahkan ke tanah Kehutanan.
Sementara yang terdekat, bisa juga dilihat dalam laporan berkepala “Tuntutan Kaum Tani Gol dengan 6-4”. Di dalamnya dinyatakan bahwa “Barisan Tani Tjabang Bandung baru2 ini telah mendapat laporan dari ranting BTI desa Tjikande ketjamatan Batudjadjar jang menjatakan bahwa tuntutan kaum tani jang dipimpin BTI kepada tuan tanah Bumiputera itu gol dengan 6-4.”
Hasilnya, persoalan yang dirasakan sejumlah kaum tani ini dirumuskan di dalam Sidang Pleno DPRDP Kab. Bandung. Hal ini tertera dalam laporan berkepala “Tanah bagi Tani Miskin dan galang perekonomian rakjat” (Warta Bandung, 8 Juni 1957). Panitia Perumus Perekonomian Umum DPRDP Kab. Bandung yang terdiri dari Seksi Ekonomi dan beberapa anggota pembicara dalam sidang membahas isu agraria, dan perkreditan.
Secara singkat, mereka menilai perlunya meninjau kembali politik perkreditan. Lalu mendesak pemerintah menyiapkan undang-undang wajib menabung untuk mengadakan gerakan penyusunan modal nasional. Kemudian mereka juga mencanangkan politik perkreditan yang diatur sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat melayani kebutuhan rakyat terutama kaum tani.
Selain itu, dalam meninjau Undang-Undang Agraria, diputuskan untuk mendesak pemerintah agar segera membuat peraturan yang mengatur hak-hak tanah dan kaum tani. Lalu mendesak Kementerian Agraria dan Pertanian supaya segera menyusun program agar tanah-tanah yang kosong, erpach (hak atas tanah) yang habis waktunya, maupun eigendom (hak milik) asing yang terlantar agar diberikan pada kaum tani miskin demi kepentingan kehidupan sehari-hari petani yang makin lama makin merosot.
Sampai titik ini terlihat jelas bahwa Warta Bandung mempunyai perhatian besar terhadap kaum tani. Bukan hanya laporan terkait rapat beserta hiruk-pikuk organisasi dan pemberitaan mengenai tuntutan, tentu saja. Namun berbagai kegiatan kaum tani yang diselenggarakan dengan semarak di sekitaran Jawa barat juga terekam jelas. Bagaimana wujudnya?
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #3: Bersama Menerjang Wabah Influenza
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #2: Sobat dari Banyak Serikat Perburuhan
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #1: Manifestasi Spirit Antinekolim dari Kota Kembang
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Gelar Sejumlah Festival
Sambil memetik daunan anggur, dengarkanlah njanjianku,, sehari tanpa dia serasa dua belas minggu / Sambil menguliti pepohonan, dengarkanlah njanjianku,, sehari tanpa dia serasa tiga musim gugur / Sambil memotong rumputan pandjang,, dengarkanlah njanjianku,, sehari tanpa dia serasa tiga tahun..
Demikian petikan puisi Njanjian Gadis Tani yang tercatat di dalam surat kabar Warta Bandung pada 7 September 1957. Kita bisa saja menangkap kesan pilu yang ada dalam diri penulisnya. Yang jelas, jauh dari kesan menyeramkan, sebagaimana narasi sejarah yang disodorkan rezim si mbah dari Godean.
Namun bukan hanya itu. Hal-hal menggembirakan mengenai kegiatan kaum tani juga tampak dalam berbagai laporan Warta Bandung. Misalnya saja, seperti yang ada dalam laporan berkepala “Festival Pemuda Tani dalam hari 17 Agustus”.
Di dalamnya, disebutkan bahwa “Untuk menjambut peringatan 17 Agustus 1957 Kewadanan Manondjaya akan diadakan Festival pertanian jang diselenggarakan oleh Pemuda Tani. Waktu Festival ini ialah dari tanggal 17 Agustus s/d 21 Agustus 1957 dan akan dihadiri oleh Kepala Djawatan Pertanian Rakjat Propinsi Djawa Barat dan kep. Djawatan Pertanian rakjat daerah Priangan Timur.”
Bersamaan dengan itu juga dilangsungkan penutupan dan kenaikan kelas Kursus Pemuda Tani (KPT). Sebagai informasi bahwa KPT tersebut berlangsung selama 4 tahun. Dan KPT itu bertujuan untuk menyempurnakan pendidikan, yang nantinya diharap mampu melipatgandakan hasil pertanian.
Kemudian di dalam kegiatan tersebut juga dilangsungkan pembagian hadiah berupa alat-alat pertanian dan pakaian-pakaian pada organisasi-organisasi tani yang mengikuti perlombaan memelihara sawah-sawah serta halaman-halaman, tanah miring, dan lain-lain (tanaman tahunan). Bahkan untuk lebih memeriahkan festival, sejumlah Pemuda Tani menggelar berbagai pertunjukkan kesenian daerah, perlombaan, olah raga, dan pameran-pameran kerajinan tangan.
Selain itu, wujud kegembiraan lainnya juga dapat dilihat dalam laporan berkepala “Festival Pemuda Tani Kab. Kuningan”. Saat itu, di Kewadanan Tjiawigebang Kab. Kuningan akan dilangsungkan Festival Pemuda Tani. Festival ini memiliki jargon yang diberi nama KKKK (Kesehatan, Ketjerdasan, Kebersihan, dan Ketangkasan) seluruh Kuningan.
Dalam resepsi yang diadakan kemudian diberikan sambutan dari Kepala Jawatan Pertanian Provinsi Jawa Barat. Dalam resepsi ini juga hadir antara lain: Patih, DPRD, DPD, Kepolisian, Pendidikan Masjarakat, dan Djawatan Penerangan Kabupaten Kuningan. Resepsi juga dimeriahkan oleh pemutaran film, pameran hasil bumi, kerajinan tangan dan kesenian dari para pemuda sendiri.
Lalu kemudian, terdapat laporan berkepala “Festival Pemuda Tani ke-1 Kab Bandung” (Warta Bandung 30 Juli 1957). Dikatakan bahwa Festival Pemuda Tani ke-1 Kab. Bandung yang diselenggarakan di Soreang ini di helat selama tanggal 24-26 Juli 1957. Festival ini juga tercatat diikuti oleh sebanyak 400 pemuda tani dari seluruh Kab. Bandung. Dan ditutup dengan malam pertemuan, bertempat di Bioskop Gembira, Soreang.
Di dalam festival itu tercatat pula sejumlah inohong yang turut memberi sambutan. Sambutan pertama diberikan oleh Sugeng Natawisastra, Ketua Panitia Festival tersebut. Sambutan selanjutnya, datang dari gubernur Jawa Barat yang dibacakan oleh Bupati Apandi, serta pimpinan residen priangan yang dibacakan oleh Okeh dari Kab. Bandung.
Selama festival, diwartakan bahwa telah dilangsungkan pula berbagai pertandingan olahraga, kesenian, peternakan, pertanian, dan perkebunan. Untuk para pemenang pertandingan kemudian diberikan piala dan beragam hadiah lainnya, di mana Soreang sebagai tuan rumah telah berhasil menjadi juara umum dan menggondol hampir seluruh hadiah.
Tercatat bahwa untuk olah raga sepak bola: juara pertama Soreang, kedua Ujungberung, dan ketiga Cileunyi. Lalu untuk Bola Volly: juara pertama Soreang, kedua Ujungberung/Cimahi dan ketiga Pasirjati. Kemudian cabang olahraga Pingpong: Soreang dari juara Pertama sampai ketiga.
Selain itu, dari cabang olahraga Badminton: juara pertama Ujung, sementara Soreang kedua dan ketiga. Ada pun Musik, yang pertama hingga ketiga: Ujung, Ciparay dan Pasirjati. Lalu Pertanian dan Peternakan: Tanah gundul Ujung. Perkebunan: Ciparay. Ternak: Cileunyi. Pertanian: Soreang.
Yang mengesankan, Festival ini selain berhasil mempererat persaudaraan di antara para Pemuda Tani, juga telah menghasilkan beberapa resolusi sekitar persoalan pertanian, yang nantinya akan dikirimkan pada Otoritas setempat.
Resolusi itu antara lain berbunyi: hendaknya Kursus Pemuda Tani dijadikan Sekolah Pertanian yang sederajat dengan Sekolah-sekolah lanjutan lainnya. Selain itu, supaya tanah-tanah yang telah habis hak erpachtnja (hak atas tanah) dan tanah-tanah pemerintah yang tidak dipelihara, agar diserahkan kepada para bekas siswa KPT, baik secara sewa atau secara pinjaman.
Demikianlah sejumlah kegembiraan yang termanifestasikan dalam berbagai festival yang diselenggarakan kaum tani. Menariknya, di samping menggelar berbagai acara, mereka juga terkadang menyelipkan sejumlah agenda pendidikan. Kok, bisa?
Dorong Pendidikan Tani
Ya, nyaris berbagai laporan mengenai pendidikan yang dicanangkan kaum tani – terutama yang tergabung dalam BTI – terekam dalam berbagai surat kabar, tak terkecuali Warta Bandung yang juga mengkonfirmasi hal ini. Barangkali ditujukan untuk meningkatkan kapasitas kaum tani dan kualitas organisasi. Yang jelas, kemudian hal tersebut dipertegas Muhammad Nashirulhaq dalam esai “BTI dan Warisan-Warisannya”.
Di dalamnya, tercatat bahwa “BTI sebagai organisasi yang menaungi petani sadar betul betapa rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, khususnya kaum tani. Banyak di antara mereka bahkan masih buta huruf. Di saat yang sama, kelompok yang punya privilese untuk mengakses pendidikan pada umumnya adalah kelas-kelas sosial yang diuntungkan oleh struktur agraria yang timpang dan menikmati hasil eksploitasi surplus pertanian. Karenanya, BTI memberi perhatian besar bagi pendidikan kaum tani dan keluarganya, terutama karena hal ini berkaitan langsung dengan kualitas organisasi.”
Usut punya usut, ternyata memang pada tahun 1957, PKI selaku partai yang memayungi BTI, mencanangkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Di sinilah BTI menjadi garda terdepan dalam upaya yang diinisasi partai tersebut.
Hal ini bisa ditemukan dalam laporan Warta Bandung yang menyebut bahwa “di Ketjamatan Sukawening baru2 ini telah diusahakan berdirinja Sekolah Kemasjarakatan, jang segera akan disusul di Ketjamatan Leles dan Tarogong. Lama pendidikan 1 tahun dan siswa jang diterima itu jalah lulusan SR jang tidak dapat melandjutkan peladjarannja ke sekolah landjutan”.
Mengenai pelajarannya sendiri, yang diutamakan adalah soal-soal praktis dalam pertanian, kerajinan tangan, dan soal-soal pembangunan desa. Bahkan dalam esai “BTI dan Warisan-Warisannya”, disebut bahwa BTI juga bekerjasama dengan Universitas Rakyat (Unra).
Upaya ini ditujukan untuk memperhatikan pendidikan anak-anak petani yang putus sekolah, terutama dengan mengorganisasikan program pendidikan Sekolah Dasar Sederhana (SDS), di luar waktu mereka untuk membantu orang tuanya di pertanian. Hasilnya, bisa dilihat dalam laporan Warta Bandung berkepala “Djaw. Pertanian adakan kursus2 kader kemasjarakatan”.
Di sana disebutkan bahwa “dari Pendidikan Masjarakat Kab. Garut diperoleh keterangan bahwa diseluruh Kabupaten Garut telah tertjatat 98.000 orang jang telah lulus dari kursus pemberantasan buta huruf. Sedang jang masih menderita buta huruf tertjatat 127.000 atau 33 1/3% dari seluruh penduduk Kab. Garut jang berdjumlah 80.000 orang.”
Demikianlah Warta Bandung yang terang membersamai kaum tani. Sebagai penutup, kiranya satu puisi berjudul “Fragmen Petani” yang ditulis seorang dengan nama pena Diansiswa dalam rubrik kebudayaan Warta Bandung edisi Sabtu 26 Oktober 1957 bisa mengafirmasi hal tersebut. Berikut petikannya:
Anggrek menari disendja kehidupan petani / Sedjuknja angin pegunungan mengelus padi menguning / Dara dan djaka bertjerita tentang kehidupan damai / Tak kenal ketjup tjabul daerah timpang / Kuningnja tjaja bulan mengintin dibalik bukit / Mengikat dua hati tak nada mentjari kasih
Gardu diterbangi asap rokok kelobot para tua / Njaman nian bagi pelipur lelah / Dikepandjangan hari-hari habis ditengah sawah / Bitjara mau bangun desa atau / Rajakan pesta taunan jang meriah
Bila sudah datang menjosong pagi tjerah / Beban diangkut kekota buat tukar segala apa / Jang diminta / Pulangnja bawa oleh-oleh / Tanda setia keluarga
Segala apa jang terjadi dikehidupan petani / Gambaran jang kolektif mau damai.