• Kolom
  • SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #3: Bersama Menerjang Wabah Influenza  

SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #3: Bersama Menerjang Wabah Influenza  

Warta Bandung terdepan melaporkan wabah influenza di Jawa Barat. Krisis jumlah tenaga medis, obat-obatan, penderitaan rakyat, dan ketidakjujuran menjadi pemberitaan.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Koran Warta Bandung terbit pertama kali pada tahun 1954. Koran ini terdepan mengabarkan wabah influenza. (Sumber Foto: Yogi Esa Nugraha/Penulis)

20 Januari 2023


BandungBergerak.idBeberapa waktu lalu, dunia mendapat serangan wabah Covid-19. Efeknya yang signifikan –ditopang kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan – bahkan mampu mengubah kebiasaan yang belum pernah dijalankan secara masif oleh umat manusia di tengah masyarakat kapital:  #workfromhome menjadi sebuah kelaziman.

Efek dari serangan wabah juga menyeret sebagian pengusaha – dan banyak rakyat pekerja – ke lubang nestapa. Khususnya bagi mereka yang bergelut di sektor yang mensyaratkan perjumpaan fisik antarmanusia. Atau, khususnya lagi, bagi mereka yang minim sekali anggaran untuk bertahan di tengah wabah.

Yang mengesankan, kepungan wabah memungkinkan warga yang sadar akan peran sosial untuk kemudian bahu-membahu merancang dapur umum, dan juga bersolidaritas dalam bentuk platform lainnya. Adapun sejumlah jurnalis [beserta elemen sipil] berinisiatif merancang LaporCovid-19, sebuah kanal laporan warga (citizen reporting platform) yang digunakan untuk berbagi informasi mengenai kejadian terkait wabah  Covid-19 yang mereka temukan, namun luput dari jangkauan otoritas setempat dan pusat.

Ya, mereka-mereka [jurnalis] ini merupakan individu-individu yang sadar bahwa di tengah gempuran wabah, tetap harus berada di garda depan dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi valid; menghantam omong-kosong konspirasi.

Tatkala sebagian memiliki privelese berupa #kerjadarirumah, sebagian dari mereka ini tak punya pilihan, dan terpaksa tetap terjun ke lapangan. Tentu saja, ya, memang sudah menjadi kewajibannya; harus berupaya melaporkan situasi terkini dari rumah sakit, atau juga, misalnya, memberi layanan informasi mengenai permakaman, dengan menerapkan protokol kesehatan.

Tapi risiko yang dihadapinya bukan main-main, sungguh tak bisa terelakkan pula sebetulnya: setiap harinya, dirundung kecemasan akan terpapar wabah. Dan mau tidak mau, harus sebisa mungkin menjaga diri dari penyakit, terutama, jika ingin memastikan keluarga di rumah baik-baik saja.

Dalam situasi semacam itu, pada kurun waktu Mei-Agustus di tahun 1957, para punggawa Warta Bandung juga melakukan – dan merasakan – hal yang nyaris serupa: liputan wabah influenza. Bersama media lainnya, Warta Bandung berada di garda depan dalam upaya menyiarkan informasi yang diperlukan warga.

Dampaknya Mengerikan

Warta Bandung edisi 24 Juni 1957 memuat sebuah laporan berjudul “Di Bandung 3837 Orang Sehari Korban Influenza”.  Laporan ini tayang secara intensif terhitung sejak Mei, yang merupakan awal mula ditemukannya wabah influenza di Jawa Barat. Di dalamnya, ada pula keterangan bahwa angka penderita wabah influenza di Bandung makin terus naik.

Sejumlah rumah sakit, poliklinik, atau dokter yang praktek di rumah, terus-menerus didatangi warga yang terkena wabah influenza. Hal ini kemudian berdampak pada kehidupan sosial: pekerja (negeri maupun swasta) termasuk murid-murid sekolah banyak yang terpapar wabah Influenza. Karenanya, banyak pula dari mereka yang tidak masuk pabrik dan sekolah.

“Menurut taksiran Djawatan Kesehatan Kota djumlah angka jang tersangka terserang penjakit jang meradjalela itu sedjumlah 50 persen dari semua pengundjung rumah sakit2 dan poliklinik2 pemerintah, dan belum terhitung jg berobat ke rumah sakit2 partikelir dan dokter2 praktek, dan jang tidak pergi berobat kepada salah satu instansi jang tersebut diatas, tapi berobat dirumah sadja,” (Warta Bandung,  24 Juni 1957).

Ironisnya, situasi yang demikian diperparah dengan kurangnya tenaga perawat dan obat-obatan yang diperlukan penderita influenza. Sementara itu buah-buahan sebagai penawar sakit juga harganya semakin mahal, dan persediaan Vitamin C di apotek-apotek mulai langka. Jika ada, tentunya harus ditukar dengan harga yang sulit dijangkau rakyat pekerja.

Dalam laporan sekitar wabah influenza yang dirilis secara resmi oleh Djawatan Kesehatan Kota pradja Bandung, disebut bahwa dalam sehari jumlah korban dari penyakit tersebut berkisar antara 2.158 hingga 3.837 orang. Sementara angka kematian dalam sehari sebanyak 37 orang, dan masih menurut Djawatan Kesehatan Kotapradja Bandung, hal tersebut bukan dikarenakan penyakit influenza.

Namun demikian, sebagian warga bersikukuh menyatakan bahwa penderita influenza –sebagaimana data yang diperoleh sebelumnya – tidak lain dan tidak bukan karena wabah influenza. Hal ini merupakan ujian pertama bagi awak redaksi Warga Bandung untuk mengolah dan menemukan kebenaran terkait informasi wabah influenza; meluruskan kesimpangsiuran data. Belum lagi terkait informasi obat-obatan yang diperlukan oleh para penderita – dan penyintas – influenza.

“Dalam menghadapi wabah tsb, sangat dirasa sekali kurangnja tenaga mantra djururawat dan obat2an. Seorang Mantri Djururawat dari pagi hingga siang harus melajani beratus2 korban sedang obat jang diberikan hanja tjukup dengan beberapa pil kina,” tulis laporan Warta Bandung lainnya.

Tetapi kemudian hal tersebut segera dijawab Otoritas Kesehatan di Bandung, yang menyatakan bahwa untuk mengatasi kekurangan persediaan obat-obatan sebenarnya bukan masalah. Sebab tiap-tiap poliklinik di Kotapradja Bandung akan disediakan sebanyak mungkin obat-obatan.

“Tambahan obat telah dimintakan kepada Kementerian Kesehatan dan kepada apotheek2 telah dimintakan perhatiannja supaja mengadakan persediaan obat2an lebih banjak dari biasa,” demikian kata Djawatan Kesehatan Kotapradja Bandung.

Sebagai informasi bahwa wabah influenza ini bukan hanya menerjang negara-negara Asia. Tapi, penyakit yang dikenal dengan sebutan Flu Asia 1957 ini menjalar ke seluruh dunia. Hal ini diulas Muhammad Fakhriansyah dalam kajiannya berjudul “Pandemi Flu Asia 1957”, yang menyebut bahwa wabah influenza pertama kali diidentifikasi pada Februari 1957 di Asia, dan kemudian menyebar ke negara-negara di seluruh dunia.

Suatu hal yang tampak pula dalam laporan Warta Bandung berjudul Flu Mendjalar ke Amerika. Di dalamnya dinyatakan bahwa “Achirnja wabah influenza jang mula2 hanja mendjalar di Asia Tenggara itu, kini sudah pula mendjalar ke Amerika Serikat. Menurut pengumuman Kementerian kesehatan Amerika Serikat, Wabah influenza itu mendjalar ke Amerika melalui Eropa.”

Sementara secara medis virus ini dikenal dengan influenza A subtipe H2N2, atau virus flu Asia. Dalam penelitian disebutkan bahwa virus ini adalah reassortant (spesies campuran) galur, berasal dari strain flu burung dan virus flu manusia. Dan wabah influenza 1957 ini merupakan wabah terbesar kedua yang pernah terjadi di abad ke-20. Sebelumnya, tercatat ada juga wabah influenza pada 1918-1919 (atau yang dikenal dengan flu Spanyol).

Adapun dampak lainnya – sebagaimana disebut di muka – kentara sekali pada anak-anak sekolah. Di berbagai wilayah Jawa Barat, banyak murid yang terhambat melaksanakan kewajiban pembelajaran. Sebagaimana termuat dalam laporan berjudul Murid SR Gunungsari diserang Wabah Influenza. “Dari keterangan resmi diperoleh keterangan bahwa 133 orang murid SR Gunungsari ketjamatan Indihiang Tasikmalaya, sudah diserang penjakit influenza sehingga murid tsb. tidak bisa masuk sekolah.”

Bukan hanya itu, tentu. Guru-guru pun terkena imbasnya. Bentuk dari persoalan tersebut termuat dalam laporan berjudul Guru2 di Lembang Kena Flu. “Berhubung dengan terus-menerusnja berdjangkit wabah influenza, maka pada hari Rabu di SR III Lembang, 3 orang gurunja terpaksa tidak dapat melakukan tugasnja karena kena serangan wabah tersebut. Selain itu di SR tersebut 40 anak sekolah tidak dapat masuk kelas karena terserang penjakit influenza” (Warta Bandung, 28 Djuni 1957).

Jelas saja wabah tidak memandang siapa-siapa. Sejumlah pekerjaan Warta Bandung juga ikut tersendat. Banyak dari mereka yang tumbang dihantam wabah influenza yang kian ganas setiap harinya. Sebagaimana disiarkan dalam satu pemberitahuan berkepala “Untuk Para Langganan” di halaman pertama, edisi 28 Juni 1957.

“Banjak pengantar WB jg kini menderita sakit. Pelajanan kepada para langganan mendjadi terganggu. Kemarin terpaksa ada sebagian harian kita jang dikirimkan dengan pos didalam kota. Berhubung dengan itu para langganan WB jang terhormat suka kiranja memaafkan atas adanja gangguan dalam pelajanan ini. Kami akan sangat berterimakasih, apabila diantara para langganan jang tidak menerima ‘WB’ suka membuang waktu sedikit untuk mengambilnja dikantor, Djalan Naripan I Bandung, mulai djam 07.30 sampai sore. Atas pemberian maaf dan bantuan saudara2 kami utjapkan terima kasih,” demikian Warta Bandung mengabarkan.

Sementara itu adapula ironi lain yang berkaitan dengan Wabah Influenza ini: banyak dari penderita influenza mengalami rasa frustasi. Hal ini tampak dalam laporan Warta Bandung yang termaktub dalam rubrik Selajang Pandang, dengan judul “Sukabumi: Hampir Bunuh Diri Karena Influenza”.

Dengan getir, Warta Bandung melaporkan penderita influenza yang putus asa. Pokok laporannya itu tentang seorang perempuan yang frustasi lalu hendak melakukan bunuh diri. Namun niatnya itu berhasil digagalkan sang suami. Berikut petikan laporan tersebut:

“Baru-baru ini di Sukabumi seorang wanita bernama S hampir membunuh diri karena penjakit influenza jang dideritanja. S waktu malam jang karena pusing tidak dapat tidur dan selama itu penjakitnja tidak mendapat perhatian dari sang suami, telah keluar jang kemudian mau nekat mentjemplungkan diri kedalam sumur jang dalam, tapi untung karena suaminja jang memang dari tadi mengikutinja dapat mentjegah perbuatannja.” (Warta Bandung, 20 Djuni 1957)

Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #2: Sobat dari Banyak Serikat Perburuhan
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #1: Manifestasi Spirit Antinekolim dari Kota Kembang
Bandung di Masa Bergolak

Koran Warta Bandung terbit pertama kali pada tahun 1954. Koran ini terdepan mengabarkan wabah influenza. (Sumber Foto: Yogi Esa Nugraha/Penulis)
Koran Warta Bandung terbit pertama kali pada tahun 1954. Koran ini terdepan mengabarkan wabah influenza. (Sumber Foto: Yogi Esa Nugraha/Penulis)

Poliklinik Darurat sebagai Bentuk Ikhtiar

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa yang membuat kagum adalah upaya gotong-royong warga yang juga dilakukan dalam upaya menerjang wabah influenza 1957. Salah satunya, hal tersebut bisa dilihat dalam laporan berjudul Sumedang: Balai Pengobatan Darurat. Suatu langkah kongkret yang merupakan hasil dari kerja-sama antara Kepala Dinas Kesehatan Sumedang dengan bantuan PDKI [Persatuan Djawatan Kesehatan Indonesia] Cabang Sumedang.

“Mulai tanggal 26 Djuni telah dibuka Balai Pengobatan Darurat, chusus untuk pemberantasan penjakit influenza. Tempat jang dipakai balai pengobatan itu ialah BKIA (Balai Kesedjahteraan Ibu dan Anak). Balai pengobatan itu dibuka berhubungan dengan makin bertambah penderita penjakit influenza. Untuk pengobatan anak2 sekolah dilakukan dengan mengundjungi sekolah itu masing2,” demikian laporan tersebut.

Sementara di Bandung, upaya serupa mewujud pada dibukanya sejumlah Poliklinik darurat di beberapa wilayah. Secara gamblang informasi mengenai hal ini termuat dalam laporan berjudul “6 Poliklinik Darurat Dibuka”. Di dalamnya, disampaikan pula informasi mengenai waktu praktik dokter yang bertugas.

“Untuk memberi pertolongan kepada korban dari penjakit tsb Djawatan Kesehatan Kota selain telah mengusahakan memperbanjak djumlah obat2an djuga telah diusahakan penambahan Poliklinik2 jang telah ada djuga dibuka sore husus untuk penderita influenza,” demikian laporannya. Berikut informasi lengkap mengenai alamat beserta waktu buka-tutup Poliklinik darurat tersebut:

  1. Di Bale Desa Tjikawao Djl. Lodaya dibuka tiap sore djam 16.30- 18.00, di kamp. Sukaaman Djelekong RT Itang Desa Cibeunjing dibuka tiap sore djam 16.30 -18.00.
  2. Di Bale Desa Sukadjadi, Djl. Sempurna dibuka tiap pagi dj. 10.00 – 12.00 dan sore djam 16.30 – 18-00.
  3. Di Bale Desa Tjidjerah dibuka tiap pagi djam 10.00 – 12.00 dan di Gg. Durman Desa pasar sebelah SR Gg. Durman dibuka tiap sore djam 16.30 – 18.00. Djuga ditempat perawatan Orang Tua PMI Djl. Atjeh 79.

Selanjutnya, otoritas memberi seruan untuk segera merancang sosialisasi terkait upaya vaksinasi. Suatu hal yang termaktub dalam laporan Warta Bandung seperti berikut: “Laporan Djawatan Kesehatan Kota itu menjatakan bahwa hendaknja penerangan umum tentang memperkuat daja tahan orang harus seluas mungkin diadakan.”

Menghantam Oknum Tenaga Kesehatan

“Satu-satunya cara untuk memerangi wabah adalah kejujuran,” demikian Albert Camus dalam novel Sampar. Hal tersebut menemukan wujud konkret yang sebaliknya dalam laporan Warta Bandung berjudul “Dokter prakter bisa tarik duit Rp. 3000 sehari”.

Di dalam laporan tersebut, Warta Bandung melakukan serangan pedas terhadap perilaku oknum tenaga ahli kesehatan di salah satu wilayah Bandung. Dengan bernas, surat kabar Warta Bandung menyiarkan keluhan warga yang diterima redaksi sebelumnya. Berikut secara utuh laporannya:

“Apa jang patut dikemukakan ialah penerimaan duit jg banjak sekali diterima oleh para dokter dari para penderita itu. Demikianlah menurut laporan2 jang diterima WB seorang dokter bisa tarik duit sebanjak tidak kurang Rp. 3000 sehari.”

Kemudian Warta Bandung juga mengecam tindakan oknum yang melebih-lebihkan data penderita influenza. Berdasar keterangannya, saat itu tidak sedikit otoritas kesehatan yang melebih-lebihkan data pasien. Entah apa motifnya. Untuk ini saya sendiri belum berani memberi penjelasan yang memadai.

Namun sekurang-kurangnya, bisa diartikan sebagai kritik laku individualis yang mewujud pada tindakan oknum seorang tenaga ahli pada saat wabah influenza menyerang warga. Yang jelas, secara implisit hal tersebut termaktub dalam laporan Warta Bandung lainnya sebagai berikut:

“Ada seorang dokter jang seolah2 berpraktek seperti seorang pedagang dimana sebelum si penderita itu diobati terlebih dahulu ditanja apakah ia bawa dan sanggup bajar sebanjak Rp. 50 untuk satu kali suntik influenza. Djika tak berani djangan berobat kesini, dan dengan demikian ia telah banjak menjakitkan hati orang jang mendjadi korban influenza itu.”

Demikianlah Warta Bandung, yang berdiri di garda depan dalam persoalan wabah influenza. Wabah yang juga membuat banyak orang trauma, juga menderita. Dan pada akhirnya – menukil Cormac Mccharty, sastrawan Amerika – luka menjadi kekuatan asing yang mengingatkan kita bahwa masa lalu itu begitu nyata.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//