SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #2: Sobat dari Banyak Serikat Perburuhan
Warta Bandung selalu memberitakan tema-tema perburuhan, juga konflik di perdesaan, khususnya yang berdinamika di sekitaran Jawa Barat, nyarir setiap hari.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
13 Januari 2023
BandungBergerak.id - Dalam tulisan Warta Bandung yang lalu, sekilas kita melihat informasi mengenai surat kabar itu. Kiranya cukup memberi pengantar jejak Warta Bandung dalam melayani publik lewat pemberitaannya, khususnya di wilayah Jabar. Yang mengesankan, sebagaimana diulas sebelumnya, tentu saja upaya mereka dalam memberi warna di rubrik Kebudayaan.
Tapi, sebelum lebih jauh, tunggu dulu sebentar. Ada sedikit informasi terkait tulisan Warta Bandung yang lalu itu. Begini ceritanya. Jadi, sesaat tulisan itu dibagikan, beberapa tanggapan datang. Salah satunya, adalah dari anak mendiang S.j Sulaiman, selaku Pemimpin Umum surat kabar Warta Bandung.
Dan beliau –yang nanti memoar pentingnya akan diterbitkan Ultimus- memberi koreksi bahwa Warta Bandung berdiri pertama kali pada bulan Juli 1955. Setelah mencoba kembali memeriksa edisi 1956 yang ditemukan, ternyata memang ada petunjuk – meski tidak eksplisit – bahwa itu merupakan tahun ke-II Warta Bandung eksis di Tanah Air.
Dengan demikian, sebelum melanjutkan, saya memohon maaf atas kekeliruan, dan sekaligus menghaturkan terima kasih atas pengingat yang telah diberikan pihak keluarga S.j Sulaiman. Oh, ya, sekalian saja, barangkali ada kawan yang menemukan edisi sekitar 60an, bolehlah kiranya kita sama-sama upayakan kebenaran informasi seputar surat kabar ini.
Sekarang, marilah kita telusuri kembali Warta Bandung sebagai koran yang bekerja selayaknya ‘suara-suara lantang’ di zamannya: memiliki keberpihakan yang terang pada buruh, tani, dan kaum terpinggirkan lain.
Sebetulnya, hal tersebut bisa dengan mudah ditemui di beberapa kolom Warta Bandung. Besar kemungkinan, sih, sejak edisi pertama. Sayangnya, hingga tulisan ini dipublikasikan, edisi tersebut masih sulit untuk ditemukan. Yang jelas, sepanjang penelusuran terbitan 1956, 1957, 1958, kentara sekali mereka memposisikan diri sebagai corong rakyat kecil.
Setiap hari, nyaris selalu ada pemberitaan mengenai tema-tema perburuhan, juga konflik di perdesaan, khususnya yang berdinamika di sekitaran Jawa Barat. Nama-nama serikat buruh dan tani seperti SOBSI atau BTI misalnya, acapkali seliweran di rubrik bernama “Djawa Barat – Selajang Pandang” dan “Kronik Bandung”.
Dan bukan tanpa sebab, tentu saja. Sebagaimana penjelasan yang termaktub dalam esai di buku Jejak Pers di Bandung (hlm. 163-166) dan Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 745-747), bahwa surat kabar Warta Bandung, memang memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok tersebut.
Yang memicu rasa penasaran: bagaimana, sih, wujud kedekatan Warta Bandung dengan serikat-serikat buruh di era republik yang kala itu masih berusia 12 tahun?
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #1: Manifestasi Spirit Antinekolim dari Kota Kembang
Belajar dari Dr. Abu Hanifah, Sosok Multitalenta dari Zaman Bergerak
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Kelaziman Bernama Serikat dan Mogok Massal
Kedua nama organisasi yang disebut di muka, barangkali sudah tidak asing di telinga publik kita. Terutama SOBSI, yang sebagian kalangan memandangnya serupa iblis jahanam. Ya, bebaskeunlah, boleh-boleh saja tentunya. Tapi, mari kita sejenak berkenalan lebih dulu dengan organisasi buruh lainnya.
Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa Warta Bandung, dalam beberapa kolomnya, begitu kentara memerhatikan isu perburuhan, malah hingga di tingkat lokal. Dan menariknya, bahkan agenda berupa rapat serikat pun tak luput disiarkan mereka. Belum lagi agenda-agenda seperti rencana massa aksi, sudah dapat dipastikan hal ini bakal masuk dapur redaksi.
Tapi sebetulnya, beberapa nama serikat buruh yang diulas sekarang ini masih ada irisannya dengan SOBSI. Singkatnya, struktur organisasi SOBSI memang memungkinkan hal ini. Mengutip Aan Ratmanto dalam esainya, bahwa “dalam susunan organisasi SOBSI terdapat serikat buruh yang terbentuk dari kaum buruh selapangan kerja dan serikat buruh daerah yang terbentuk dari kaum buruh yang berasal dari berbagai lapangan kerja”.
SBKA adalah salah satunya buruh yang berasal dari lapangan kerja itu. SBKA merupakan akronim dari Serikat Buruh Kereta Api. SBKA ini lahir dari buruh kereta api tiap-tiap stasiun “Djawa dan Madoera”. Dan sejumlah temuan menyebukan bahwa SBKA ini berdiri pada 13 Maret 1946.
Berdirinya organisasi ini tentu saja bertaut gaung perubahan di era revolusi kemerdekaan. Sebagai catatan, bahwa sesaat setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, buruh kereta api ini adalah yang mengawali aksi pengambilalihan aset perusahaan kereta api menjadi milik republik. Jejaknya yang terang, bisa dilihat dalam peristiwa pengambilalihan Balai Kereta Api Pusat di Bandung, atau lebih tepatnya yang terjadi tanggal 28 September 1945.
“Kelompok ini bernama Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang kemudian bergabung dalam SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) ketika federasi tersebut dibentuk beberapa waktu kemudian,” tulis Mardika Putra, dalam esainya yang berjudul “Buruh Kereta Api di Masa Revolusi”.
Dan Warta Bandung begitu sering menyiarkan pemberitaan SBKA. Dari mulai rencana aksi, pendirian cabang anyar, hingga agenda rapat. Bahkan pemberitaan mengenai SBKA ini mencakup wilayah pelosok Jawa Barat. Hal tersebut sebagaimana tertera di kutipan berikut:
“Dalam rapat perwakilan SBKA bagian Dinas Lalu Lintas Batulawang – Tjidjulang jang berlangsung pada tgl 14 Djuli 1957 di Kaliputjang telah berhasil mengesahkan berdirinja Tjabang SBKA. Dalam rapat tersebut dipilih Sdr Asikin dan Sdr Dirasan masing2 mendjadi sekretaris umum I dan II,” demikian sebagian berita berjudul “Tjiamis: Tjabang SBKA Berdiri” dalam rubrik Selajang - Pandang, Warta Bandung 17 Djuli 1957.
Beberapa mungkin heran, kemudian mempertanyakan apa yang ada di benak para punggawa Warta Bandung hingga menyiarkan agenda rapat serikat yang berada di wilayah sangat jauh dari letak kantornya. Seperti yang kita tahu, bahwa Cijulang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Pangandaran.
Namun hal tersebut dimungkinkan oleh karena Warta Bandung sendiri – menurut petunjuk edisi tahun 1956 – memiliki agen di wilayah Panumbangan, Ciamis. Pada tahun berikutnya, jangkauan Warta Bandung makin luas. Mengenai hal ini, kiranya akan diulas belakangan.Yang masih jadi soal, mengapa sekadar soal rapat SBKA pun disiarkan?
Barangkali, yang jadi pertimbangan penting, adalah kiprah kelompok SBKA yang cukup signifikan, terutama jangkauannya hingga ke pinggiran. Militansi SBKA di masa lampau juga memungkinkan membuatnya begitu diperhitungkan. Untuk melihat eksistensinya lebih lanjut, bisa juga dilihat dalam berita berjudul “SBKA dan PBKA bentuk Panitya 17 Agustus”.
Dalam Warta Bandung edisi Rabu 24 Djuli 1957 disebutkan bahwa SBKA tampak bergeliat untuk melakukan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-12. “Untuk menjambut hari jang bersedjarah pada tgl. 17 Agustus 1957 jang akan datang, Organisasi buruh jang ada di Djawatan kereta api jalah SBKA dan PBKA telah mengadakan kata sepakat dan bertindak sebagai pengambil inisiatif akan membentuk suatu ‘Panitya Penjelenggara Peringatan Perajaan 17 Agustus 1957’ Chusus di DKA inspeksi 3 Bandung,” tulis berita tersebut.
Dan, ya, bukan hanya SBKA tentu saja. Ada banyak serikat buruh lainnya sesuai kerja masing-masing dari mereka. Misalnya saja, masih di Priangan Timur, ada SEBDA. “Pada tgl 14 Djuli 1957 jbl. SEBDA Tjabang Tjiamis telah melangsungkan konferensinja jang ke II. Dalam konferensi itu berhasil memilih pimpinan Tjabang baru jang terdiri dari Sdr. Sutardja dan Sdr. K. Suhardja masing2 mendjadi Sekretaris Umum I dan II,” demikian meta-berita berjudul “Konferensi Tjabang SEBDA” di halaman yang sama.
Tercatat bahwa Konferensi itu menghasilkan beberapa keputusan dan sejumlah tuntutan. Inti dari tuntutannya adalah mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk segera melaksanakan undang-undang otonomi daerah, mendesak kepada Pemerintah Daerah segera melaksanakan keputusan DPRD-P tentang kenaikan upah pekerja dan uang jalan bagi mandor.
Dalam kolom lain, ada pula pemberitaan ihwal dilangsungkannya rapat Serikat Buruh Penerbangan yang tengah memilih pengurus baru. Hasil rapat tersebut, adalah terbentuknya susunan pengurus. Dan juga menghasilkan keputusan, yang terpilih sebagai Ketua: W. Tampinongkal. Wakil ketua: Ibing, bendahara: Siem Hiang Bing, dan Komisaris: Kosim dan Udin. “Perlu ditambahkan anggota-anggota SBP ini terdiri dari pegawai2 Garuda Indonesian Airways P.T,” (Warta Bandung, hlm. 2, 18 Djuli 1957).
Selain itu, ada pula berita dengan judul “SBIM Mecaf Antjam mogok”. SBIM merupakan Serikat Buruh Industri Metal. Yang lain-lainnya, ada nama-nama seperti Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), Serikat Buruh Lampu dan Radio, Serikat Buruh Tekstil Pakaian, SBDP (Serikat Buruh Djawatan Perindustrian), dan Serikat Buruh Kempen (Kementerian Penerangan), yang kesemuanya eksis di wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung.
Menariknya, ihwal nama yang disebut terakhir: Buruh Kementerian. Ya, saat itu mereka keberatan dengan kebijakan mutasi yang dilakukan Menteri Penerangan, Sjamsuddin Sutan Makmur, adik ipar dari K.H Agus Salim. Dalam satu kesempatan, Warta Bandung turut meliput upaya yang dilakukan Serikat Buruh Kempen yang saat itu berencana menggalang aksi menolak mutasi.
“Dewan Pimpinan Daerah SB Kempen Djawa Barat kemarin telah mengeluarkan statement no. 3 jang isinja al. akan melandjutkan perdjoangan dengan melakukan aksi2 dalam taraf gelombang kedua, tidak dapat membenarkan kebidjaksanaan mutasi2 jang dilakukan didalam masa pertikaian antara SB Kempen dengan Menteri Penerangan jang dilakukan di Pusat maupun didaerah, mengharapkan penjelesaian jang selajaknja dari Pemerintah terhadap persoalan tsb,” tulis berita teserbut.
Sekilas, bisa saja kita melakukan nyinyiran pada mereka-mereka yang berserikat dan gemar melakukan mogok massal seperti di atas. Atau bisa juga menilai bahwa mereka-mereka inilah sekumpulan orang yang kufur. Sudah bekerja malah tidak bersyukur, dan berbagai kata ganti lain, yang mana, merupakan implikasi dari kooptasi dan depolitisasi rezim si mbah dari Godean.
Padahal, yang demikian itu merupakan pengalaman konkret sosio-historis masyarakat Indonesia 50an. Bahwa berserikat, atau mogok massal, di dalam era itu merupakan sebuah kelaziman. Dengan demikian, jangan heran pula jika jejaring mereka ini memiliki tendensi internasional. Hal ini muncul dalam Warta Bandung 18 Januari 1956, dengan judul “Solidaritet Internasional”.
Salah satu dari Serikat Buruh yang diulas di atas terlihat memberikan solidaritas pada sesama pekerja yang hidup di belahan dunia lainnya. “Diberitakan, bahwa mendjelang tahun baru 1956 ini oleh DPP SB Tekstil Pakaian di Bandung atas nama seluruh anggotanja telah dikirimkan surat2 utjapan-selamat dan solidaritet internasional kepada organisasi2/SB Tekstil Pakaian di-lain2 negeri,” tulis berita tersebut.
Demikianlah wujud konkret kedekatan Warta Bandung dengan banyak Serikat di Jawa Barat. Jika dirasa kurang, bisa kembali dilihat dari laporan Warta Bandung lainnya, yang mana, hal ini sekaligus menunjukkan ciri pilihan tema yang dipilih mereka:
“Serikat Buruh Pertjetakan jang anggota2nja terdiri dari buruh2 dari 36 pertjetakan di Bandung akan mengadakan pemogokan solider guna menuntut dikerdjakannja kembali 8 orang buruh jang dipetjat oleh pengusaha pabrik kertas Padalarang”; “D.P.R SARBUPRI dari perkebunan Djatinangor telah mengadakan persiapan akan mogok guna menuntut dikerdjakannja kembali 169 orang buruh jang diontslag madjikan”.
Mengherankan, memang, ya. Bisa-bisanya Warta Bandung memberi ruang cukup luas pada serikat yang doyan bikin kesal sebagian orang. Suatu hal yang malah mempertegas asumsi di muka bahwa SOBSI memang titisan iblis jahanam. Tentunya bagi segelintir pengusaha.