• Komunitas
  • PROFIL ULTIMUS: Rumah Buku Alternatif dan Suluh Pemikiran Kritis di Kota Bandung

PROFIL ULTIMUS: Rumah Buku Alternatif dan Suluh Pemikiran Kritis di Kota Bandung

Diskusinya pernah digerebek, hingga kini Ultimus sudah 18 tahun berdiri di jalur perbukuan, mengisi khazanah literasi Kota Bandung dan mewadahi komunitas.

Suasana diskusi buku di tempat ketiga Ultimus 2009-2012 di Jalan Rangkasbitung, Bandung. (Foto: dokumentasi Ultimus)*

Penulis Delpedro Marhaen20 Januari 2022


BandungBergerak.idPuluhan anggota Persatuan Masyarakat Anti-Komunis (Permak) mencoba merangsek masuk ke halaman toko buku Ultimus di Jalan Lengkong, Bandung, pada malam 16 Desember 2006 itu. Seorang anggota Permak merampas mikrofon dari genggaman Marhaen Soepratman, pembicara dalam diskusi tersebut. Diskusi ini kami bubarkan, perintahnya. Suasana berubah menjadi ricuh; peserta diskusi kalang-kabut, mereka kebingungan sekaligus ketakutan dan segera mencari jalan ke luar tempat diskusi.

Nahasnya malam itu. Anggota-anggota Permak membekuk moderator Sadikin, pembicara Marhaen, dan sebelas peserta diskusi, termasuk panitia. Lantas mereka kemudian dibawa ke Polrestabes Bandung (dulu Polwiltabes). Ultimus dituduh menyebarkan paham komunis dan dianggap mengganggu ketertiban masyarakat, bahkan dianggap melakukan tindakan makar terhadap negara.

Beberapa jam setelah peristiwa polisi menyisir TKP, menyita barang-barang yang dianggap sebagai barang bukti. Ultimus kemudian disegel. Sementara polisi tampak membiarkan anggota Permak yang berjaga di lokasi seraya menjarah buku-buku di toko buku Ultimus. Sebulan kemudian Ultimus baru dibuka kembali.

Napak tilas itu coba dituturkan kembali oleh pendiri Ultimus yang berhasil melarikan diri pada malam itu, pria yang sebenarnya tak punya tampang membahayakan negara. Parasnya cenderung lembut dan penampilannya sederhana, berbalut kaos oblong, celana pendek dan tentunya mengenakan sandal. Dia adalah Bilven Rivaldo Gultom, atau akrab dikenal Bilven Sandalista, dua windu sudah ia mengabdikan hidupnya di rumah buku Ultimus.

Image kiri atau komunis itu bukan kita yang melabeli diri atau pasang image seperti itu, itu pandangan dari orang luar saja. Orang yang melabeli itu karena mungkin dilihat dari buku-buku kiri terbitan orang lain yang dijual di Ultimus. Dan penampilan kita yang gini-gini aja, kaosan, sendalan, kadang baru bangun ngopi di depan toko. Nah orang melihat kiri tuh yang seperti ini,” kata Bilven ketika ditemui BandungBergerak.id, Senin (11/1/2021).

Bilven mendirikan Ultimus pada 2004. Usaha Bilven dan rekannya merintis Ultimus sebagai toko buku berbuah manis, Ultimus kemudian berkembang menjadi penerbit. Kendati nasibnya sempat kembang-kempis, Bilven bersetia di jalan itu.

Toko buku sekaligus penerbit berbasis komunitas ini dimaksudkan sebagai upaya untuk pengembangan pemikiran kritis di Bandung. Ultimus memang sengaja memilih topik bahasan mengkaji pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan literatur marxisme dan marxis lainnya. Atau teks-teks ilmiah di bidang ilmu tertentu yang ditulis dengan perspektif marxisme. Terakhir, buku-buku mengenai sejarah kelam tragedi 1965.

“Ada pertimbangan lain juga, penerbit yang menerbitkan jenis buku seperti itu tidak ada, jadi tidak ada kompetitor. Kita melihat ada ceruk pasar yang tidak ditangani, mungkin kita bisa ambil peluang di situ. Selain literatur seperti itu masih jarang, juga peminatnya ada tetapi tidak ada yang memenuhi jenis buku seperti itu,” ungkap Bilven.

Bilven sebenarnya ingin memberikan pemahaman tentang literatur marxisme yang selama ini masih salah dipahami oleh banyak orang. Menurutnya, literatur marxisme itu merupakan bagian dari perkembangan pemikiran di dunia. Pemikiran tersebut merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang pernah hidup.

“Jarang ada literatur marxisme yang mendasar. Dan orang menggap itu ketinggalan jaman. Sementara kita membaca dan melihat kekacauan berpikir dalam literatur marxisme karena tidak mempelajari dasarnya. Jadi kita lebih senang menerbitkan yang dasar awal dari ilmu itu,” kata Bilven.

Bagi para penikmat buku-buku filsafat, berbau kiri atau marxisme, Ultimus begitu dikenal. Ultimus kerap memfasilitasi berbagai kegiatan mahasiswa, bahkan menyediakan tempat tinggal untuk mahasiswa yang tidak mampu sewa tempat tinggal atau sekedar menampung komunitas dan jaringan dari luar kota yang sedang menetap di Kota Bandung.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS FOTOGRAFER MUSLIM: Hasil Jepretan untuk Dakwah dan Sosial
PROFIL SAPA INSTITUTE: Turun dari Menara Gading Kampus, Menggerakkan Perempuan Desa
PROFIL SAYAP KIRI SQUAD: Berlari untuk Berbagi

Bilven Sandalista, pendiri Ultimus, toko buku dan penerbit buku. (Sumber: Ultimus/*)
Bilven Sandalista, pendiri Ultimus, toko buku dan penerbit buku. (Sumber: Ultimus)*

Wadah bagi Komunitas

Ketika BandungBergerak.id bertandang ke markas Ultimus di Cikutra, Bandung, memang tidak ada yang mencolok dari rumah dua lantai itu. Rumah dua tingkat dengan cat warna putih itu nampak sederhana seperti rumah pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda khusus yang menunjukan rumah itu sebagai toko buku.

Bilven mengaku, Ultimus kini sudah condong ke penerbitan. "Sekarang sudah tidak ada display buku. Dulu waktu fokus toko buku memang ada buku-buku yang dipajang. Sekarang lebih fokus pada rumah kantor untuk gudang penerbitan," jelasnya.

Sebagai kolektif toko buku sekaligus penerbit, sejak konsep awal pendiriannya, Ultimus menekankan pada konsep bagaimana usaha bisnis bisa mendukung kegiatan komunitas. Bentuk dukungannya berbagai macam, salah satunya menyediakan tempat untuk berbagai aktivitas komunitas. Markas Ultimus kemudian menjadi semacam lokus pertemuan antara mahasiswa di kota Bandung, baik sekadar kumpul-kumpul santai hingga diskusi berat.

“Dari setiap tempat Ultimus, ini sudah tempat keempat, ya, kita selalu mencari tempat yang ada ruang atau space cukup untuk digunakan kegiatan komunitas. Itu salah satu peritimbangan dalam memilih tempat. Jadi supportnya kita sediakan tempat untuk kumpul,” terang Bilven.

Ultimus tumbuh dengan beragam aktivitas komunitas di dalamnya. Banyak acara digelar atas kerjasama Ultimus dengan komunitas dan jaringan lain. Kegiatannya beragam seperti pagelaran seni, pertunjukan musik, nonton film bersama, pameran, pelatihan jurnalistik dan diskusi seputar isu sosial dan humaniora.

“Kadang satu waktu ada tiga komunitas melakukan kegiatan di Ultimus secara bersamaan. Jadi di ruangan itu satu, di ruangan selanjutnya satu, dan di ruang itu satu, yang mereka tidak saling kenal,” kelakarnya.

Bilven menambahkan, sebelum pandemi, saban bulannya diskusi memang suka digelar di markas Ultimus tersebut. Topik bahasanya beragam. Mulai dari membahas buku menarik apa pun atau isu sosial politik yang sedang berkambang.

"Kegiatan diskusi sering dilakukan. Tempat di Ultimus terbuka untuk komunitas," ujarnya.

Selain itu, Ultimus juga memberikan dukungan terhadap komunitas dengan menyediakan sumber referensi literatur. Ultimus menyediakan perpustakaan di markasnya sebagai upaya pengembangan pemikiran kritis bagi para pegiat komunitas.

Workshop menggambar komik sejarah di Ultimus tahun 2015. (Sumber: Ultimus/*)
Workshop menggambar komik sejarah di Ultimus tahun 2015. (Sumber: Ultimus)*

Alumnus Ultimus

Sebagai “alumnus” Ultimus, juga pegiat Solidaritas Sosial Bandung, Niki Suryaman menceritakan pengalamanya berkegiatan di Ultimus sejak tahun 2004 hingga 2007. Niki kala itu, membantu menjaga toko buku Ultimus sekaligus membantu distribusi buku-buku ke toko buku alternatif yang ada di Kota Bandung dan lainnya. Niki juga membantu mempersiapkan berbagai kebutuhan dan kesiapan acara kerjasama Ultimus dengan pihak lain.

Kegemaran Niki yang hobi membaca buku mulai dari politik, sosial, budaya hingga ideologi-ideologi mengantarkannya pada pertemuan dengan Ultimus. Ketika itu, ia sedang berburu buku untuk menambah koleksinya, kemudian temannya menyarankan untuk mencoba mencari di toko buku Ultimus, kala itu di jalan Karapitan. Kerap hilir-mudik ke Ultimus, ia menjadi akrab dan sering berkumpul. Dari situlah ia kemudian ditawari untuk membantu di Ultimus.

Sejak dulu, kata Niki, Ultimus memang kerap digunakan sebagai lumbung aktivitas komunitas di Bandung. Kala itu, kegiatannya beragam mulai dari rekaman album band, perpustakaan film dan buku, hingga menjadi ruang rapat redaksi pembuatan majalah.

“Satu ruangan di Ultimus. yang waktu itu di Lengkong, diperuntukan kegiatan komunitas. Jadi memang selebihnya aktivitas kegiatan diisi oleh di luar Ultimus, seperti komunitas-komunitas yang butuh space,” kata Niki.

Bagi Niki, selama berkegiatan di Ultimus, ia banyak mendapatkan banyak relasi pertemanan. Hal itu disebabkan karena Ultimus menjadi ruang bagi banyak orang. Ultimus semacam jadi pusat tujuan orang-orang dari berbagai komunitas dan latar belakangnya. Dari relasi itu juga kemudian menunjang aktivitas-aktivitas sosial Niki ke depannya.

Kini, Niki aktif sebagai pegiat Rumah Bintang, sebuah rumah belajar untuk anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Rubin bertujuan memberikan pendidikan alternatif untuk anak dan mengampanyekan hak atas pendidikan. Selain kegiatan belajar-mengajar, Rubin juga sedang mempersiapkan pameran anak untuk korban penggusuran di Anyer Dalam.

Stand pameran buku Ultimus dalam pameran buku di Bandung. (Sumber: Ultimus/*)
Stand pameran buku Ultimus dalam pameran buku di Bandung. (Sumber: Ultimus)*

Awal Pendirian Ultimus

Di tahun 2001, Bilven bersama empat puluh mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Telkom (STT Telkom kini menjadi Universitas Telkom) lainnya, mendirikan sebuah komunitas literasi di lingkungan kampusnya itu. Komunitas literasi ini rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan, salah satunya, yang jadi andalannya dan paling ditunggu oleh mahasiswa, adalah perpustakaan mahasiswa.

Perpustakaan tersebut menyediakan berbagai bacaan buku alternatif yang tidak tersedia di perpustakaan kampus pada saat itu. Buku-buku yang dijajakan merupakan koleksi milik para pegiatnya yang diperoleh dari berburu buku bekas di pasar Palasari. Koleksinya terbilang cukup lengkap dan bervariatif, topik-topik buku yang disuguhkan merupakan bahasan yang sedang booming di awal Reformasi kala itu, seperti buku filsafat, sejarah, seni, sosial dan politik.

Mereka juga aktif menyelenggarakan kegiatan bedah buku, diskusi, teater, dan pembacaan puisi. Tak hanya melibatkan mahasiswa, Bilven juga kerap mengundang penulis, seniman, ataupun pesohor tanah air untuk mengisi acaranya tersebut. Dari sini relasi Bilven terbangun dan menjadi luas.

Setelah statusnya yang bukan mahasiswa lagi, Bilven bersama enam orang pegiat literasi yang tersisa tercetus mendirikan komunitas baru. Ide yang diusung kala itu adalah toko buku. Selain masih dalam lingkup literasi, toko buku ini dikonsepkan berbasis komunitas. Artinya, dalam menjalankan toko buku ada perhitungan bisnis, tetapi keuntungannya dipakai untuk mendukung kegiatan komunitas.

“Enaknya kita buka toko buku itu, kita bisa baca juga di situ,” kata Bilven.

Di tahun 2004. tepatnya pada 14 Januari 18 tahun lalu, lahirlah sebuah toko buku bernama Ultimus. Tak butuh waktu lama, Ultimus cepat dikenal publik. Selain karena sudah memiliki relasi yang luas, strategi mengadakan kegiatan literasi seperti peluncuran dan bedah buku, diskusi, hingga seni menjadi cara jitu untuk menarik minat publik. Faktor lainnya karena Ultimus menyediakan buku-buku alternatif yang jarang dijual di toko buku konvensional.

“Banyak yang mengajak kerjasama setelah itu. Konsep yang kita bangun di awal sudah tercapai di bulan-bulan awal pendirian. Ultimus banyak diliput media juga kala itu,” kata Bilven.

Pada tahun-tahun berikutnya di berbagai kota menjamur toko buku berbasis komunitas seperti Ultimus. Sayang umurnya tidak ada yang bertahan lama. Fenomena ini yang kemudian mendorong Ultimus untuk merumuskan ide bisnis lain agar tidak gulung tikar seperti perintis toko buku lainnya. Jika ingin tetap bertahan, menjaga keberlangsungan kegiatan komunitas dan tetap berjuang di dunia literasi, mesti meninggalkan format toko buku. Bersisakan dua orang, Ultimus kemudian bertransformasi menjadi toko buku sekaligus penerbit.

“Di tahun 2006, Ultimus coba-coba menerbitkan buku bekerja sama dengan pihak lain. Kita belajar editing, layout, cari percetakan. Dari situ kemudian kita putuskan harus jadi penerbit sebagai bisnis utama, tak lagi hanya toko buku,” ungkap Bilven.

Setelah menjadi toko buku sekaligus penerbit, cakupan Ultimus dalam penyebarluasan gagasan melalui kegiatan komunitas semakin luas seiring dengan buku-buku yang diterbitkan. Dengan demikian, kegiatan Ultimus tidak lagi hanya dinikmati oleh peminatnya di tingkat regional. Kegiatan komunitas dalam menyelenggarakan acara diskusi atau peluncuran buku digelar di berbagai kota. Bahkan salah satu buku Ultimus dipajang di Frankfurt Book Fair.

Ultimus sebagai penerbit juga mendistribusikan beberapa buku ke berbagai toko buku. Dari situ jaringanya di dunia perbukuan semakin terbuka. Ultimus diajak untuk menerbitkan buka bekerjasama dengan penerbit Hasta Mitra, sebuah penerbit buku di Indonesia yang didirikan oleh Hasjim Rachman, Joesoef Isak, dan Pramoedya Ananta Toer, tiga orang tahanan politik Indonesia yang diasingkan di Pulau Buru.

Terjemahan buku Hubungan Estetik Seni dengan Realitas yang pernah dicetak Hasta Mitra, juga pernah dicetak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di tahun 1960, naskah-naskah tersebut menjadi judul pertama yang dicetak ulang dan diterbitkan Ultimus. Judul kedua ada terjemahan buku Seni dan Kehidupan Sosial karya GV Plekhanov. Ultimus juga pernah diminta Hasta Mitra untuk bekerjasama menerbitkan terjemahan buku Das Kapital jilid 1, 2 dan 3. Dari situ kemudian berkembang, banyak naskah-naskah lain yang diminta dicetak ulang dan diterbitkan Ultimus.

Di luar naskah-naskah tersebut, Ultimus juga menerbitkan naskah yang dikerjakan sendiri. Hingga 2022 ini Ultimus sudah menerbitkan sekitar puluhan buku. Terakhir buku yang disebar, yakni Pergolakan Kalimantan Barat; Kesaksian Antologi Puisi Rahmat Jabaril dan Angin Menerpa Menara.

Peluncuran dan diskusi buku terbitan Ultimus tahun 2013 di Aula Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Dipati Ukur, Bandung. (Sumber: Ultimus/*)
Peluncuran dan diskusi buku terbitan Ultimus tahun 2013 di Aula Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Dipati Ukur, Bandung. (Sumber: Ultimus)*

Jadi Pilihan Penulis

Seniman dan penulis, Rahmat Jabaril memilih Ultimus sebagai penerbit naskah-naskahnya karena Ultimus dianggap memiliki kesamaan perjuangan dalam dunia literasi, yakni demi memperkaya literatur publik dalam hal kesadaran demokrasi dan hak asasi manusia. Beberapa karya Rahmat yang diterbitkan Ultimus, antara lain Kesaksian Antologi Puisi Rahmat Jabaril; Terusir Cerpen Rahmat Jabaril, Patah Puisi Rahmat Jabaril.

Menurut Rahmat, prosesnya penerbitan di Ultimus memudahkan para penulis karena di Ultimus tidak ribet dan bertele-tele. Berawal dari obrolan kecil, Rahmat kemudian mengajukan naskahnya ke Ultimus kemudian diterima dan diolah pihak Ultimus. Proses penyuntingan dan tata letak dikelola oleh Ultimus.

“Padahal ada juga penerbit yang tidak siap untuk penyuntingan, biasanya tata letak kemudian cetak. Kalau Ultimus proses penyuntingan dan tata letak itu dikelola oleh mereka. Jadi lebih memudahkan penulis, tidak birokratis,” ungkap Rahmat.

Selain prosesnya yang mudah, kata Rahmat, Ultimus juga terbuka dan adil terhadap penulisnya. Ultimus memberikan hitung-hitungan di awal mengenai harga percetakan buku dan menyediakan bentuk mencetak buku secara berangsur. Menurutnya, Ultimus ingin memberikan kemudahan untuk para penulis buku alternatif di Indonesia untuk menyebarluaskan gagasan pemikiran melalui tulisan dengan cara dibukukan.

“Terlepas dari persoalan teknis itu, saya lebih menekan pada persoalan pemahaman dan semangat perjuangan Ultimus, itu yang membuat saya memilih Ultimus,” kata Rahmat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//