SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #9: Mereka yang Pernah Ada (2)
CGMI, IPPI, dan Baperki tercatat sebagai organisasi gerakan kiri di Bandung. Bubar setelah geger 65.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
31 Maret 2023
BandungBergerak.id - Dalam tulisan yang lalu, telah disinggung mengenai kisah sejumlah organisasi yang dinilai memiliki kedekatan dengan PKI. Tercatat nama-nama seperti Pemuda Rakyat, Lekra, dan Gerwani. Namun tentunya bukan hanya itu saja.
Ada pula organisasi lain, yang turut dibubarkan pasca-1965. Di antaranya yang akan diulas dalam tulisan kali ini. Surat Kabar Warta Bandung sering kali turut memuat laporan mengenai kiprah mereka: CGMI, IPPI, dan Baperki. Ketiganya, dikenal (atau barangkali diidentikkan) sebagai organisasi –sebagaimana Lekra, Pemuda Rakyat, Gerwani– yang berada di bawah naungan PKI.
Beberapa temuan aktual turut mengafirmasi pernyataan di muka. Namun tulisan ini hanya berpretensi mengulas kiprah mereka di sekitaran Jawa Barat, khususnya Bandung. Menariknya, sejumlah organisasi ini tidak hanya berkiprah di ranah politik saja, namun juga merambah ke dunia tarik suara, olahraga, dan budaya. Berikut kisahnya.
CGMI
CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) merupakan organisasi ekstra mahasiswa yang mulanya independen. Meski demikian, temuan anyar memberi penjelasan bahwa CGMI menjalin relasi dengan PKI di tahun 60an.
CGMI didirikan pada tahun 1956, sejumlah temuan lain mengatakan bahwa organisasi ini cukup memiliki taring di era Demokrasi Terpimpin. Yang menarik, CGMI ini lantang menolak tradisi perploncoan di kampus-kampus tanah air.
Mereka tegas menggugat perploncoan, atau yang dalam istilah sekarang dikenal dengan Ospek. Petrik Manasi, dalam artikelnya menyebutkan alasan CGMI menolak perploncoan jelas, bahwa hal tersebut merupakan tradisi kolonial.
Gugatan CGMI semakin kencang terutama usai kegiatan perploncoan menelan korban. Saat itu, seorang mahasiswa asal Bandung bernama Muchlas Mubarad tewas. Bahkan sejumlah organisasi, surat kabar, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut pula mendesak Pemerintah menghapus perploncoan.
Memasuki tahun 60an, CGMI mengklaim memiliki ribuan anggota, dan tersebar di beberapa wilayah. Terutama Bandung dan Surabaya. Tidak mengherankan memang. Pasalnya, sejak awal didirikan, CGMI tercatat diinisiasi kelompok mahasiswa Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Dan tentunya yang memiliki pandangan sosialis.
Galih Mahardika dalam riset berkepala “Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia 1956-1965: Pasang Surut Organisasi Kiri Mahasiswa” menyatakan bahwa CGMI baru diresmikan pada 17 November 1956 di Yogyakarta. Dalam peresmian tersebut, “CGMI menawarkan warna baru bagi mahasiswa untuk berorganisasi tanpa melihat ideologi tertentu maupun golongan agama tertentu”.
Dengan kata lain, semua mahasiswa dapat diterima menjadi anggota CGMI. Tepat pada titik ini, CGMI mendapat reputasi sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa nasional yang independen. Sebabnya, pada era itu, nyaris seluruh organisasi mahasiswa yang ada dinilai dekat dengan partai politik, seperti misalnya, relasi GMNI dengan PNI.
Seiring berjalannya waktu, CGMI kemudian menjalin relasi berskala internasional. CGMI merapatkan diri dalam wadah bernama International Union of Student (IUS). IUS sendiri adalah himpunan organisasi mahasiswa di negara-negara sosialis. Tentu tidak mengherankan. Sebab sikap politik Indonesia saat itu memungkinkan mereka untuk menjalin relasi dengan mahasiswa asal negara-negara sosialis.
Warta Bandung sendiri acap kali mengabarkan kiprah CGMI cabang Bandung. Dalam sebuah laporan berkepala “Pemilihan Bintang Vocal CGMI”, tercatat bahwa organisasi ini juga eksis di dunia tarik suara. Hal tersebut dilakukan dalam rangka merayakan hari ulang tahunnya yang pertama.
“Dalam rangka hari ulang tahun CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) jang pertama, jang akan dilangsungkan pada tanggal 1 s/d 19 November 1957, akan dilangsungkan djuga pemilihan Bintang Vocal CGMI Th. 1957,” demikian Warta Bandung melaporkan.
Hal serupa juga diungkap Untung Maulana. Ia mengatakan bahwa “sering kali CGMI bikin Parade Drum, terutama di hari-hari nasional.”
Lebih lanjutnya, pemilihan bintang vokal (atau istilah bekennya, audisi kali, ya?) direncanakan bakal berlangsung pada tanggal 17 November, dan babak finalnya dilangsungkan pada tanggal 18 November 1957.
Ada pun syarat-syarat yang harus ditempuh, antara lain, “peladjar SMA dan jang sederadjat atau mahasiswa. Pendaftaran pengikut antara lain dilakukan di Sekretariat Panitya di Djalan Tjilamaja 19 Bdg, antara pk. 11.00 – 13.00. Pendaftaran tsb ditutup pada tanggal 8 November jad (jang akan datang).”
Dan sisanya, adalah sejarah. Pascageger 65’, organisasi ekstra mahasiswa ini babak belur sebagaimana partai-partai yang memiliki perspektif serupa dengannya.
IPPI
Selain CGMI, ada IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang juga dinilai memiliki perspektif kiri. Putri Ayu Aprilia dalam risetnya menyebutkan bahwa “IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) merupakan hasil fusi dari dua organisasi, yaitu antara Ikatan Pelajar Indonesia dan Serikat Mahasiswa Indonesia”.
Sebagai sebuah organisasi, IPPI turut mempelopori perjuangan pemuda pelajar dalam penanaman semangat patriotisme, menghancurkan sikap dan jiwa yang apatis dari pemuda pelajar serta memberantas kebodohan dalam segala bentuk. Wujud konkretnya, memberantas buta huruf.
Dalam kancah literasi, IPPI juga berperan dalam penerbitan surat kabar yang berisikan dorongan semangat nasionalisme yang dapat menggerakkan seluruh rakyat Indonesia, terutama di era Revolusi Agustus 45.
Selain itu, bersama pemerintah, IPPI turut memprakarsai berdirinya sarana pendidikan dan perbaikan fasilitas-fasilitas sosial. Warta Bandung sendiri kerap melaporkan sejumlah kegiatan IPPI. Salah satunya, tercatat dalam laporan berkepala “IPPI adakan Malam Selamatan”.
“Minggu malam kemarin, bertempat di djalan Lembong No. 25 Bandung, oleh IPPI (Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia) Tjabang Bandung, telah dilangsungkan pertemuan dgn para activis IPPI dan kader2 IPPI dgn Budiman Shudarsono (Ketua IPPI Tjabang Bandung) jg baru kembali dari Festival Pemuda Peladjar Sedunia di Moskow,” tulis laporan Warta Bandung edisi 1 Oktober 1957.
Dalam pertemuan itu, Budiman Shudarsono memberikan kesan-kesan selama ia menghadiri festival pemuda dan pelajar di Moskow. Selain itu, ia dikabarkan melakukan kunjungan ke Korea dan RRT. Bahkan dikabarkan pula bahwa ia membagikan oleh-oleh sebagai kenang-kenangan.
Seperti CGMI, IPPI juga merapatkan diri ke International Union of Student (IUS). Namun hal ini memicu polemik cukup sengit. Mulanya, gagasan ini muncul dari Teddy Kardiman (mentor IPPI Bandung, kalau kata Untung Maulana). Tapi kemudian mendapat penolakan dari elemen IPPI Yogyakarta.
Irvan Sjavari, dalam esainya, menyebut bahwa pengurus IPPI Yogyakarta tidak berkenan untuk meleburkan IPPI ke dalam IUS. “Sekretaris umum PB IPPI Yogyakarta Iljas Fateni menyebut kongres itu di luar keorganisasian IPPI dan melanggar AD/ART.”
Meski demikian, Teddy Kardiman beranggapan bahwa hubungan IPPI dengan organisasi pelajar internasional di luar negeri harus dipelihara sebaik-baiknya, termasuk dengan IUS. “Kerjasama ilmu pengetahuan dan kebudayaan menjunjung prinsip-prinsip konferensi Asia-Afrika di Bandung,” ungkapnya.
Ada pun laporan mengenai kegiatan IPPI lainnya, nampak terang yang berkaitan dengan olahraga. Misalnya saja, dalam sebuah laporan berkepala “IPPI Bandung Djuara Segitiga”, dikabarkan kehebatan mereka di ranah sepak bola. Hal tersebut usai terjadi usai IPPI Bandung mengalahkan Persigar Garut dan Persitas Tasikmalaya.
“Dalam rangka peringatan ulang tahun ke-6 Res. Inf. X dilapangan Djajaraga Garut, telah dilangsungkan pertandingan sepakbola segitiga antara Kesebelasan2 IPPI Bandung, Persitas Tasikmalaja, dan Persigar Garut,” demikian Warta Bandung melaporkan.
Pertandingan tersebut diadakan 3 hari berturut-turut, yakni pada tanggal 30, 31 Oktober, dan 1 November. Dalam pertandingan itu IPPI keluar sebagai juara segitiga. Berikut hasil pertandingan lengkapnya:
“Kes. IPPI Bandung – Kes. Persigar : 5-2;
Kes. IPPI Bandung – Kes. Persitas: 3-1;
Kes. Persigar – Kes. Persitas: 4-2”.
Kehadiran IPPI, terutama kecanggihannya dalam memainkan si kulit bundar ini terekam pula dalam laporan berkepala “Ulang Tahun IPPI Tjimahi”. Saat itu, pertandingan berlangsung di lapangan Rajawali, Cimahi, dan dihadiri sejumlah petinggi kawasan setempat.
Warta Bandung melaporkan bahwa “Pada hari Minggu jl. Tgl. 29 Djanuari dilapangan Rajawali telah dilangsungkan pertandingan sepak bola antara Kesebelasan IPPI A Tjimahi melawan SMA 1/IV Bandung jang berachir dengan 1-1; seterusnja diadakan pertandingan antara kesebelasan IPPI /A Tjimahi melawan kesebelasan S.M.E.A. Negeri Bandung jg berachir dengan 2-2.”
Pertandingan yang dilangsungkan dalam perayaan Ulang Tahun IPPI ke-8 tersebut juga dikabarkan cukup mengundang atensi publik luas. Terutama dari masyarakat setempat dan para pelajar lainnya. Ada pun agenda lain dalam menyambut miladnya, IPPI Cimahi kemudian menyelenggarakan pertunjukan seni, dekat Kantor Pos Cimahi.
“Malam pertundjukan itu akan dihadiri oleh para undangan diantaranja Wedana Tjimahi. Tjamat, semua direktur sekolah landjutan dan kepala polisi wilajah tjimahi,” demikian Warta Bandung melaporkan.
Yang menarik, eksistensi IPPI yang tercatat bukan hanya yang berada di sekitaran Bandung Raya, namun juga Jawa Barat. Sebagaimana laporan berkepala “IPPI Sambut Hari Sukamanah”. Di dalamnya terdapat laporan kegiatan IPPI Tasikmalaya yang memperingati Hari Pemberontakan ulama terhadap rezim fasis Jepang.
“Dalam peringatan Hari Pemberontakan Sukamanah terhadap kekuasaan Djepang, IPPI (Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia) Tjabang Tasikmalaja bersama masjarakat Tasikmalaja telah turut memberikan penjambutannja. IPPI bersama masjarakat peladjar mengharapkan keadaan jang normal. Dalam hal ini dititikberatkan kepada masalah keamanan, jang dewasa ini diharapkan sekali oleh rakjat” (Warta Bandung, 30 September 1957).
Sementara dalam laporan berkepala “Pertemuan IPPI Bandjar”, turut pula disiarkan mengenai kegiatan pertemuan rutinan. IPPI cabang Banjar ini juga sama seperti kita, manusia biasa, yang tak bisa menghindar dari kebosanan. IPPI butuh healing juga, gaes. Untuk menanggulanginya, mereka melakukan piknik ke Pangandaran. Berikut informasinya:
“Atas inisiatip IPPI tjabang Bandjar pada tanggal 14 Oktober jbl. Bertempat digedung SMP Negeri Bandjar telah diadakan pertemuan peladjar jg dihadiri pula oleh pimpinan IPPI Tasikmalaja dan Daerah Priangan. Dalam pertemuan itu telah berbitjara Boediman Soedharsono, dengan menguraikan kesan2nja selama mengundjungi Festival Pemuda dan Peladjar Sedunia ke-VI di Moskow dan perlawatannja ke negara2 Demokrasi Rakjat Korea dan R.R.T. Keesokan harinja atjara tersebut dilandjutkan dengan berdarmawisata ke pantai Pangandaran”.
Lawan Bacaan Cabul
Eksistensi IPPI tidak hanya mencakup pada ranah olahraga, atau spesifiknya, sepak bola. Namun juga pada aspek budaya. Mereka, sebagaimana kelompok lainnya yang mencurigai setiap budaya yang datang dari Amerika Serikat, mengecam bacaan-bacaan yang dirasa tidak pantas (semacam karya Enny Arrow kurang lebihnya).
Sebetulnya, ide mengenai pemberantasan bacaan-bacaan cabul ini bermula dari PGRI. Namun oleh karena merasa satu frekuensi, IPPI juga turut mendukung gagasan PGRI ini. Bersama segenap guru, dosen, mahasiswa, pemuda, perempuan, beserta pegiat pendidikan lainnya, mereka mengadakan demonstrasi besar-besaran dalam mengupayakan pemberantasan bacaan-bacaan cabul.
Dan sikap ini sesungguhnya senapas dengan garis politik yang dicanangkan Sukarno. Beserta segenap pendukungnya, Sukarno begitu giat menggaungkan apa yang disebutnya sebagai antinekolim. Hal ini mewujud pada penolakan berbagai hal yang memiliki jalinan dengan dunia barat, termasuk, bacaan-bacaan cabul tersebut
Warta Bandung yang terbit 3 Oktober 1957 merekam secara jelas upaya dari IPPI dan kelompok lain yang mengecam bacaan-bacaan cabul. Berikut saya kutip secara utuh informasi lengkapnya:
“IPPI (Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia) Tjabang Bandung telah menjambut baik seruan PGRI Kotapradja Bandung mengenai masalah pemberantasan2 buku2 tjabul. Dikatakan lebih landjut bahwa idee PGRI itu adalah perlu mendapat sambutan jang luas dimasjarakat. IPPI sebagai organisasi peladjar jang langsung merasakan akibat batjaan2 tjabul itu lebih merasakan kepentingannja.”
Bersama PGRI, IPPI kemudian merancang agenda untuk menjadikan Hari Pendidikan sebagai momen pemberantasan. Alasannya, karena “PGRI menginsjafi sepenuhnja bahwa Hari Pendidikan adalah hari yang sutji, jg harus dirajakan secara besar2an”.
Sebagai langkah awal, mereka berupaya untuk berkomunikasi dengan para penerbit bacaan-bacaan yang dinilai cabul. Selain itu, mereka juga turut menjalin komunikasi dengan agen-agen dan toko buku yang turut menjual bacaan-bacaan tersebut. Dan mulai 1 Januari 1958, mereka berharap tidak ada lagi bacaan cabul yang tersebar di tengah masyarakat Bandung.
Baca Juga: SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #6: Persib Noe Aing!!!
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #7: Mereka yang Pernah Ada
SEJARAH SURAT KABAR WARTA BANDUNG #8: Selayang Pandang
Baperki
Baperki didirikan pada saat masyarakat peranakan Tionghoa sepakat untuk berkumpul di Jakarta antara 11-13 Maret 1954. Organisasi ini identik dengan Siauw Giok Tjhan yang memiliki kecenderung terhadap pengintegrasian peranakan Tionghoa dengan Republik Indonesia. Setahun kemudian, Baperki juga mengikuti Pemilu pertama di Indonesia.
Zhou Nanjing dalam buku “Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia” (2012, hlm. 62) menyebut bahkan tujuan utama Baperki sendiri ada tiga, di antaranya:
1. Memperjuangkan perwujudan cita-cita nasional, dimana setiap orang menjadi WNI dalam arti sesungguhnya;
2. Memperjuangkan pelaksanaan prinsip demokrasi dan prinsip perikemanusiaan;
3. Memperjuangkan perwujudan persamaan hak dan kewajiban, perlakuan yang sama dan adil bagi setiap warganegara, tanpa perbedaan yang didasari atas suku, kebudayaan, adat-istiadat, dan agama.
Baperki juga menyatakan bahwa mereka merupakan organisasi yang terbuka lebar untuk setiap WNI. Namun, terdapat kesalahpahaman dalam rapat pendirian organisasi. Hal tersebut oleh karena Baperki tidak mengundang tokoh-tokoh dari suku bangsa lainnya.
Dengan demikian, pengurus pertama yang terbentuk hanya terdiri dari peranakan Tionghoa. Pada praktik selanjutnya, Baperki memusatkan perhatiannya kepada usaha melindungi hak-hak dan kepentingan warga peranakan Tionghoa. Ini kemudian menimbulkan kesan seolah-olah Baperki merupakan organisasi peranakan Tionghoa.
Untuk mengubah pandangan tersebut, sekitar Pemilihan Umum 1955, Baperki menegaskan bahwa:
1. Baperki adalah organisasi massa. Siapa saja yang setuju dengan azas organisasi dan program kerjanya boleh ikut serta. Baperki bukan organisasi suku minoritas. Keanggotaannya tidak terbatas pada suku minoritas.
2. Baperki adalah alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial.
3. Republik Indonesia bukanlah nasion yang hanya mengenal satu bangsa dengan kesamaan warna-kulit, nama-marga, agama dan selera makan. Ia adalah negara di mana setiap warganya bisa menikmati perlakuan yang adil dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Mengenai eksistensinya di Bandung, bisa dilihat dalam Surat Kabar Warta Bandung yang terbit 16 September 1957. Di dalamnya tercatat sebuah laporan berkepala “Baperki Bandung akan dibangun”. Tercatat pula informasi mengenai rapat persiapan ranting Baperki yang dihadiri kurang lebih 150 orang.
Selain itu, dalam rapat turut dihadiri utusan Baperki cabang Bandung dan wakil Baperki dalam DPRD Kota Bandung, Liep Peng Bie. Di mulai pukul 16.00, rapat ditutup jam 18.30 WIB. Keputusan yang dihasilkan, adalah memperbincangkan soal-soal keanggotaan Baperki dan diskriminasi yang terjadi terhadap sesama warganegara yang merupakan peranakan Tionghoa.
“Setelah rapat dimulai dengan pengeluaran atjara jang maksudnja untuk membentuk ranting Baperki Bandung Selatan, Ketua Umum Baperki Tjabang Bandung dengan pandjang lebar membentangkan maksud dan tudjuan Baperki, jang diantaranja menjesal adanja peraturan jang mewadjibkan warganegara Tionghwa membajar materi Rp. 1000,- untuk bisa mendjadi warganegara jang sjah. Hal ini dianggapnja adalah suatu hal jang diskriminatoris dan sangat memberatkan,” demikian Warta Bandung melaporkan.
Selain daripada itu, tercatat pula nama-nama sejumlah pengurus Badan Kerja Baperki cabang Bandung. Sebagai ketua, tercatat nama Tan Swie Kiem, dengan para pengurus lain di bawahnya yang berjumlah 12 orang. Sementara sekretariat Baperki cabang Bandung sendiri terdapat di Jalan Astana Anyar no. 91 Bandung.
Kelak, usai peristiwa 1965, Baperki sendiri turut dibubarkan oleh karena dinilai dekat dengan kelompok kiri dan tercatat memberi dukungan penuh pada Presiden Sukarno. Hal ini, sebagaimana diungkap Siauw Tiong Djin dalam buku “Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam Sejarah Indonesia” (2012, hlm 37). Dia menulis:
“Pidato-pidato, tulisan-tulisan Siauw Giok Tjhan, juga dokumen-dokumen Baperki tidak pernah mencanangkan komunisme sebagai objektif perjuangan mereka. Yang didambakan oleh Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia yang diformulasikan Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945”.