Jalan Sunyi Pustaka Bestari
Pustaka Bestari menggelar berbagai kegiatan literasi di kawasan lokalisasi Bandungan, Semarang. Jalan sunyi demi menghadirkan ruang yang lain di dunia prostitusi.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
13 Mei 2023
BandungBergerak.id – Langit sedang murung akhir-akhir ini. Sejak magrib, hujan mengguyur wilayah Andir. Nyaris tidak ada informasi menarik selain berita soal Pencegahan Kasus Stunting di Bandung. Kabar seputaran copras-capres masih mendominasi. Sesekali, isu bursa transfer Liga 1 muncul di layar handphone. U’Camp betul bahwa sunyinya malam memang mencekam. Menambah kegelisahan.
Syukurlah ada pesan masuk dari Firhandika Ade Santury, seorang peneliti yang menggaungkan eksistensi serikat pekerja seks dan serangkaian kegiatan literasi di Semarang. "Aman, Mas. Kalem," tandasnya, usai diminta pendapat secara daring, Jumat, (5/5/2023).
Sejak beberapa waktu lalu ia melakukan penelitian ihwal pekerja seks di kawasan lokalisasi Bandungan, Semarang, Jawa Tengah. Dengan bernas Firhan mengupas kisah perempuan yang diperlakukan semena-mena di dalam industri pekerja seks.
Ia menguasai betul topik tersebut. Barangkali karena secara kultural ia tumbuh dan berkembang di wilayah itu. Sembari terus-menerus mempertajam, ia terlibat di dalam simpul jaringan yang menyerukan kepentingan subjek risetnya.
Ia mengumpulkan berbagai sumber, menggali setumpuk teori, untuk kemudian menguji tesisnya di tengah kenyataan yang dihadapi. Dari mulai sejarah, ia kemudian mengurai masalah tersebut hingga kondisi aktual.
Lalu sampai pada persoalan bahwa menjadi pekerja seks adalah satu-satunya pilihan. Terutama bagi mereka yang hendak tinggal bersama anak-anaknya. Banyak dari mereka seorang ibu, sekaligus tulang punggung keluarga.
Baca Juga: WAHAM yang Lantang Bicara Soal Mental
BUKU BANDUNG #66: Menilik Dinamika Pemilu 1999 di Bandung
Lair, Cahaya Penerang Jatisura
Perhimpunan Pekerja Wisata
Pada tahun 2015, sejumlah pekerja seks di Bandungan Semarang berhimpun. Mereka mendirikan serikat pekerja dengan mengusung nama PERKAWIS yang merupakan akronim dari Perhimpunan Pekerja Wisata.
Ia juga menyatakan bahwa terminologi “pekerja wisata” dipilih untuk menghindari friksi dengan institusi sosial dan agama. Ia lalu membeberkan awal mula pendirian PERKAWIS yang didirikan oleh seorang mantan pekerja seks bernama Marta Dewi.
Dengan tajam Firhan menyoroti ihwal bagaimana perempuan pekerja seks berada dalam kondisi rentan. Saat itu, di kawasan lokalisasi Bandungan, terdapat persoalan yang cukup mengagetkan. Semua bermula pada 2014.
Seorang pekerja seks bernama Ranti ditemukan tewas. Tidak ada yang mengetahui persis apa sebab Ranti meninggal. Tragisnya, saat jenazah diantar ke rumah, ternyata alamatnya tidak sesuai dengan yang diketahui selama ini. Ia menggunakan KTP palsu saat bekerja. Suatu hal yang ditujukan untuk menyembunyikan apa yang dilakoninya dari keluarga.
Seturut penelusuran Firhan, alamat asli Ranti kemudian dapat ditemukan. Hal ini berdasar pada informasi yang didapat dari teman-teman terdekatnya. Tapi bukan hanya itu.
Kasus serupa terjadi pada Resti. Ia ditemukan tewas akibat overdosis. Sebagaimana Ranti, ia juga menggunakan KTP dan alamat palsu sehingga jenazahnya sulit diantarkan kepada pihak keluarga.
Itulah yang melatari berdirinya PERKAWIS. Mereka gigih membela kepentingan para pekerja seks di kawasan lokalisasi Bandungan. Kini, PERKAWIS juga melakukan upaya kolaborasi dengan Dinas Kesehatan setempat. Suatu hal yang ditujukan untuk memberi pelayanan kesehatan dan mengedukasi para pekerja seks.
Rupanya PERKAWIS begitu memprioritaskan perlindungan kesehatan anggota. Mereka juga meminta bantuan dari lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bulanan bagi para pekerja seks.
Dalam perjalanannya, mereka menerapkan aturan ketat. Setiap anggota dilarang bekerja sebelum memiliki kartu kesehatan. Sebagai penanda bahwa mereka bebas dari penyakit menular seksual.
“Data kesehatan tersebut kerap kali menjadi dasar bagi pihak lain, termasuk pemilik hotel dan kos, untuk melarang pekerja seks yang tidak lolos pemeriksaan kesehatan,” ungkap Firhan.
Selain itu, setiap anggota serikat dilarang berhubungan seks tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Wabilkhusus dengan para tamu. Hal ini wajib pula dipatuhi seluruh anggota PERKAWIS. Meski sempat satu waktu mereka kecolongan.
Ada sejumlah kabar yang beredar bahwa para pekerja seks tidak menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan seks dengan pacarnya. Walhasil beberapa anggota PERKAWIS mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Mereka yang sedang mengandung janin lalu berupaya melakukan aborsi. Terutama atas alasan ekonomi.
“PERKAWIS menentang keras tindakan ini atas dasar keyakinan agama bahwa setiap bayi memiliki hak hidup yang telah diberikan oleh Tuhan,” demikian ia menandaskan, seraya menggarisbawahi bahwa Asian Labour Review, selaku publikasi yang memuat temuan Firhan pada Maret 2023 juga tidak selalu mendukung pandangan tentang aborsi.
Sebagian lain melahirkan dan membesarkan anak mereka sendiri. Mereka kadang mencari pengasuh anak saat bekerja. Banyak yang kesulitan menanggung biaya makan dan kebutuhan pokok lainnya untuk anak-anak mereka.
Sebagian membayar dan menitipkan anaknya kepada warga setempat. Dalam satu waktu mereka datang menjemputnya usai bekerja. Namun ada yang berhenti, meninggalkan anak-anak mereka di tangan pengasuh tanpa pernah kembali. Itu tidak terjadi hanya sesekali, atau dua kali.
“Saya kerap menemukan kejadian serupa. Ini sering terjadi di daerah Bandungan,” ucap Firhan.
Anak-anak yang ditinggalkan kerap mengalami berbagai masalah. Terutama di lingkungan sekolah. Mereka semestinya dimasukkan ke dalam kartu keluarga sesaat setelah lahir. Namun, toh, itu tidak mungkin. Sebab mereka telah ditinggalkan oleh ibu mereka.
Syukurlah ada beberapa warga yang peduli. Biasanya mereka mengadopsi anak-anak terlantar dari pekerja seks itu, lalu memasukkannya ke dalam daftar keluarga. Mereka kemudian akan membesarkan anak-anak pekerja seks hingga dewasa.
Pada akhirnya temuan Firhan sampai pada kesimpulan bahwa kenyataan ini merupakan cerminan dari situasi ekonomi politik Indonesia kiwari. Sebanyak 88% dari mereka memilih jalan sebagai pekerja seks karena kesulitan hidup.
“Mengapa kita kerap menyalahkan mereka, bukan pada situasi ekonomi yang membuat pilihan mereka terbatas?”
Pengalaman akan Kekerasan
Sejak terakhir pendataan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2014, terdapat sekitar 700 perempuan pekerja seks di wilayah Bandungan. Secara gamblang, hal ini dapat diasumsikan sebagai jumlah pekerja seks terbesar kedua di Indonesia, dan mungkin yang terbesar saat ini – terlebih usai ditutupnya Dolly.
Yang menjadi ironi adalah isu pelecehan bagi mereka yang seolah menjadi santapan sehari-hari. Temuan Firhan dapat membuat pembaca bergeming sejenak. Ungkapan kasar seperti “Ayo bercinta”, “Berapa harganya?” dan “Hei jalang! Ayo, kita tidur malam ini” mewujud suatu hal yang lazim.
Dalam bentuk lain, kekerasan kerap kali terjadi tatkala pekerja seks menolak permintaan tamu yang cenderung berwatak psikopat. Seperti misal mencekok minuman alkohol dengan paksaan. Kadang pula dalam wujud hinaan dan umpatan kata-kata kasar lainnya.
“Para laki-laki itu sering berbuat sesuka hati mereka. Asumsi mereka adalah ketika mereka mengeluarkan uang, pekerja seks menjadi milik mereka sepenuhnya,” ungkap Firhan, merujuk perkataan salah satu narasumber yang diajak bicara.
Mereka jelas menganggap pekerja seks sebagai bukan manusia yang layak diberi tempat terhormat. Dan ini baru contoh kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan dalam. Ternyata mereka juga kerap mengalami praktik kekerasan di luar pekerjaan.
Temuan Firhan misalnya merujuk pada tindak kekerasan yang kerap dilakukan oleh pacar atau pasangan para pekerja seks di tempat kosnya. Dalam hal ini, tercatat pula bahwa pacar masing-masing dari mereka sangat beragam.
Ada yang merupakan simpanan pejabat, pegawai negeri sipil, pengusaha, pekerja hotel dan karaoke, atau suami orang. Kekerasan biasanya diawali dengan perselisihan. Ia sering kali menjadi pelampiasan pasangannya itu. Ia dipukul, digampar, lalu ditendang.
“Ada kasus di mana pekerja seks diseret keluar rumah tanpa mengenakan secuil pakaian, lalu kemudian dipukuli oleh pacarnya,” ungkap Firhan, seraya menyerukan seluruh elemen untuk aktif mendukung setiap upaya pengorganisasian pekerja seks.
Pertanyaannya, bagaimana bisa meluangkan waktu -untuk mengikuti serangkaian kegiatan literasi dan memahami abstraksi nilai-lebih yang tidak kasat mata – seperti dilakukan cendekia?
Situasi sulit, toh, sudah lebih dari cukup untuk membuat akal hilang secara perlahan. Tapi syukurnya Firhan punya lain cara.
Menjadi Pendekar Literasi
Atas persoalan yang ada di hadapannya itulah, ia kemudian tergerak untuk merancang perpustakaan. “Memberi Ruang Lain di Tempat Prostitusi,” demikian tajuk yang diusung Pustaka Bestari.
Bukan suatu kebetulan jika sejak lama Firhan memang gandrung membaca. Bahkan turut berkecimpung di dalam jaringan literasi di Semarang dan Yogyakarta.
Ia rampung menyelesaikan studi Ilmu Politik di Universitas Diponegoro pada tahun 2022. Namun sudah sejak 2021, Firhan merealisasikan berbagai kegiatan literasi di kawasan lokalisasi Bandungan, Semarang, Jawa Tengah.
Barangkali keputusan ini didapatnya usai pencarian ilmu yang masuk akal, yang dapat menjelaskan kesusahan orang yang disekitarnya. Dan sudut pandang inilah yang membuatnya mengerti berbagai ketimpangan yang kerap menyulitkan orang-orang kecil.
Toh, buatnya, dibanding mengutamakan impresi sebagaimana laku para empirisis, yang terpenting adalah keadilan sosial. Namun titik pijak ini justru memiliki cahaya terang bagi mereka yang terpinggirkan. Dan mampu memberi penjelasan atas kemuraman hidup kita –sebagai orang biasa- di keseharian.
Pada mulanya, Perpustakaan Bestari diisi oleh buku-buku Firhan pribadi. Saya sempat teringat adagium klasik, yang bunyinya kira-kira begini: niat baik tak selalu membuahkan hasil yang baik. Syukurnya situasi demikian tak menghampiri Firhan. Ia mendapat dukungan penuh dari relasinya di Yogyakarta.
Nama-nama penerbit seperti Insist Press, Ifada Press, Ladang Kata Press turut membantu kiprah Firhan dalam menggaungkan literasi di Bandungan. Selain itu, kawan-kawannya di gerakan juga turut menyuplai bahan-bahan bacaan.
"Waktu bikin Perpustakaan itu kebetulan saya lagi penelitian skripsi. Lantas dapat dukungan juga dari dosen saya," ungkap Firhan, seraya menambahkan bahwa Perpustakaan Bestari kini memiliki koleksi sekitar 400 buku.
Firhan mengaku, bahwa sebelumnya banyak sesama pegiat literasi yang mendampinginya. Tapi sebagian kini sudah menjadi guru. Meski demikian, ia tak patah arang. Pun kawan-kawannya tidak pula meninggalkan.
Sebagai guru, kawan-kawan Firhan terus belajar, dan mencari formula untuk bahan ajar. Itulah yang membuat suasana di Perpustakaan Bestari kian ramai. Mereka sama-sama belajar. Terus berupaya menggali ilmu pengetahuan.
“Masih banyak yang harus kami kembangkan, Mas. Saya harap, ke depannya punya jangkauan luas. Dan berperan dalam produksi gagasan isu pekerja seks, umumnya, gerakan buruh,” ungkap Firhan, seraya mengucap rasa syukur sebab riset yang dilakukannya membuat mahasiswa dari kampus lain lebih aware terhadap isu pekerja seks.
Terbukti sejak risetnya diterbitkan, banyak mahasiswa sekitaran Semarang yang datang ke Perpustakaan Bestari. Mereka melakukan serangkaian kegiatan diskusi menyoal kepentingan pekerja seks. Isu-isu lain pun makin intensif diselenggarakan.
“Sejauh ini mayoritas warga justru mendukung kegiatan Perpustakaan Bestari. Banyak dari warga yang mengirim makanan kalau lagi ada kegiatan diskusi,” ungkapnya.
Demikian adanya bahwa warga sekitar pun begitu antusias. Mereka turut memberi dukungan pada apa yang dilakukan Firhan dan kawan-kawannya. Suatu hal yang kian membuatnya kukuh untuk menempuh jalur ‘sunyi’: literasi.
Ia juga melihat bahwa anak-anak di Bandungan sangat memiliki hasrat terhadap kegiatan membaca. Hanya saja akses untuk mendapatkannya kadang terjal. Minimnya bahan bacaan acapkali jadi batu sandungan bagi mereka.
"Sayang juga karena waktu mereka sehari-hari dihabiskan cuma ngeliat dunia prostitusi yang penuh sama hal-hal yang nggak cocok kalo dikonsumsi anak-anak," ungkap Firhan, sembari menggarisbawahi bahwa corak prostitusi di Bandungan berbeda dengan di kawasan lainnya.
Kegiatan prostitusi di Bandungan ini memang berbeda. Ia membaur dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dampaknya cukup signifikan. Dan telah diungkap sejumlah riset mutakhir lainnya. Hasilnya menyatakan bahwa secara psikis buruk buat anak-anak.
Hal tersebut membuatnya kian intensif merancang sejumlah diskusi. Dalam satu kesempatan, ia pernah menggelar diskusi soal sex, gender, dll. "Memberi sedikit bekal buat anak-anak di sini dalam menyikapi prostitusi," katanya.
Ia menambahkan bahwa Pustaka Bestari juga memiliki acara rutin bulanan, seperti diskusi, nonton film, lalu ngaji buku. Minggu ini, ia juga tercatat didapuk jadi salah satu pembicara di acara literasi yang diusung Maring Institut.
Dan ini yang kiranya menarik. Bersama pengelola Pustaka Bestari lainnya, ia tercatat beberapa kali melakukan kolaborasi dengan teman-teman Remaja Masjid. Hal ini kerap diakhiri dengan aksi bagi-bagi buku secara gratis di beberapa majelis.
Ia memiliki harapan untuk dapat mewadahi kaum muda di Bandungan. Ia berupaya agar anak-anak di sekitarnya terus aktif di ruang belajar. Termasuk memperkuat pemahaman ihwal bagaimana menyikapi kondisi teman-teman di Serikat Pekerja Seks.
Sebuah larik dari U’Camp kembali melintas di telinga, seraya membayangkan hal serupa mewujud di Sukamanah -wilayah yang dikenal dengan sebutan Saritem. “Masih adakah secerca harapan untuk menyingkap problema?”
Lalu kemudian tersadar, bahwa Firhan telah menjawab persoalan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Ia berdiri di samping para pekerja seks seluruh dunia.
"Ini untuk mengakhiri kekuasaan yang telah menindas perempuan,” katanya. “Dan untuk yang telah mengambil banyak hal berharga dari hidup mereka."