Ode untuk Aceng

Kehidupan Aceng dan keluarganya adalah gambar buram anak muda yang kesulitan mendapat akses pendidikan dan lapangan kerja. Gambaran mayoritas milenial di Indonesia.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Maman Supriatna (33 tahun) yang akrab dengan sapaan Aceng berjuang di jalanan Sudirman demi istri dan ketiga anaknya, (24/5/2023). (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

27 Mei 2023


BandungBergerak.id – Hari Minggu (21/5/2023) sekira pukul 5 sore, saya menyambangi kediaman Aceng. Sebuah rumah petak beralas keramik sekaligus ruang tidur bagi lima anggota keluarga.

Aceng beranjak keluar, lalu membuka pagar. Seorang gadis lincah, anak kedua yang berusia 5 tahun, sedang bermain di sekitar kontrakan.

Aceng tersenyum melihat kehadiran saya, segera mempersilakan duduk di teras. Kami berbincang hangat meski mendung sedari tadi bergelayut. Tempe goreng yang baru selesai dimasak tersaji.

Bari ngopi, nya?” ujar Aceng sambil menggendong anak bungsunya.

Aceng seperti kebanyakan dari kita. Ia warga biasa. Usianya kini menginjak 33 tahun. Ia tumbuh dan berkembang di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Dunguscariang. Letaknya di sudut kota Bandung.

Bahu-membahu bersama Maya, istrinya asal Indihiang, Aceng membesarkan tiga anak. Sejak pagi ia sudah harus bergegas menjadi juru parkir di bilangan Suryani. Pekerjaan yang telah dilakoni selama 12 tahun.

Tentu saja sulit bagi Aceng jika hanya mengandalkan nafkah dari parkir. Dengan sekian banyak waktu dan tenaga yang telah dicurahkan, kadang ia hanya mendapatkan Rp 30 ribu sehari. Hanya jika dunia sedang berpihak, Aceng bisa pulang dengan pendapatan lebih dari Rp 100 ribu. Tapi ini kejadian langka.

Ketidakpastian membuat Aceng harus mencari kerja tambahan. Di sela-sela kesibukan mencari uang sebagai juru parkir, Aceng mengemban amanah sebagai petugas hansip (pertahanan sipil) di wilayah Dunguscariang. Dua malam dalam satu minggu, ia bertugas jaga dengan berkeliling memastikan keamanan warga sekitar.

Sesekali Aceng membantu kawan-kawannya berjualan. Tak jarang ia menjadi pekerja bangunan jika ada pihak yang membutuhkan tenaganya. Aceng sempat pula membantu orang tuanya berjualan seblak.

Tepat di sini, kita tahu bahwa apa yang diupayakan Aceng tak lain demi kebutuhan istri dan anak-anak. Dan semua telah dilaluinya dengan penuh semangat.

Baca Juga: WAHAM yang Lantang Bicara Soal Mental
Jalan Sunyi Pustaka Bestari
Motherbank, Sebuah Kisah Keteladanan para Ibu di Jatisura

Impian Menjadi Pesepak Bola

Kami mengenang satu kisah di masa lampau. Saat itu, Aceng belum seperti sekarang. Ia selayaknya anak-anak biasa. Yang paling diingat, jarak antara ia dan sepak bola begitu lekat.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, Aceng cukup dikenal sebagai anak yang lihai mengolah si kulit bundar. Ia memiliki teknik yang bisa bikin orang-orang terpukau. Hal itu pula yang dapat menjelaskan mengapa ia akrab disapa Aceng, meski sebetulnya memiliki nama asli Maman Supriatna.

Ceritanya sederhana. Pada satu waktu ia bermain sepak bola di Lapangan Sawargi. Lalu ada orang bilang bahwa ia memiliki gaya permainan yang mirip pemain Persib, Aceng Juanda. Alih-alih dikenal dengan nama asli pemberian orang tua, bocah itu mulai dipanggil oleh seluruh orang dengan sebutan Aceng. Sebuah nama yang terus melekat. 

Aceng nyaris tak pernah mengikuti sekolah sepak bola secara formal. Meski demikian, kemampuan dribble-nya ciamik. Sepakannya keras, tak jarang menyintir. Barangkali ia terobsesi menjadi seperti pemain idolanya sejak lama, David Beckham.

Sebetulnya kereta impian Aceng sempat berada di rel yang benar. Dalam satu waktu, lahir sekolah sepak bola yang di helat secara cuma-cuma. Sekolah ini diselenggarakan di lapangan dekat rumah kontrakannya. Warga menyebutnya dengan nama Lapangan Sawargi.

Namun harapan disemai Aceng harus kandas. Tuntutan melanjutkan hidup lebih seram daripada tackle yang dilakukan pemain belakang lawan. Untuk sekadar membeli seperangkat alat bermain bola pun rasanya tidak masuk akal.

Yang mengherankan, kegilaan dan kecintaa Aceng pada sepak bola tidak pernah pudar. Klub favorit Aceng adalah Manchester United. Ia begitu mengagumi klub berjuluk Setan Merah itu. Terutama saat diasuh Sir Alex Ferguson.

Barangkali Manchester United telah disenangi Aceng sebelum ia memasuki fase akil balig. Ia yang menemaninya kala sedih, maupun senang.

Anehnya, dengan alasan yang tak diketahui persis, Aceng memberi nama anak pertamanya, Nicky Alvaro. Saya menduga bahwa nama itu terinspirasi gelandang Manchester United, Nicky Butt. Namun uniknya, nama itu bisa jadi malah mengingatkan orang pada penyerang sayap Inter Milan asal Uruguay, Alvaro Recoba. Entah apa yang ada dibenak Aceng saat itu.

Kita bisa menyodorkan pertanyaan dengan sedikit gurauan: "Kenapa gak sekalian diberi nama Steven Gerrard saja, ya?" Setelah dipikir lagi, tentu saja itu mustahil. Ia sama sekali tidak menaruh minat, –jika tak bisa dikata benci, pada klub yang membesarkan nama pemain ini.

Yang paling aktual hinggap di benak Aceng adalah urusan pendidikan anak-anak. Ia bersikeras agar ketiga anaknya bisa sekolah. Anak pertama, kini telah belajar di Sekolah Dasar. Yang kedua, masih balita. Sementara bungsunya baru menginjak usia dua bulan.

Maman Supriatna  (33 tahun) yang akrab dengan sapaan Aceng bersama istri dan ketiga anaknya. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Maman Supriatna (33 tahun) yang akrab dengan sapaan Aceng bersama istri dan ketiga anaknya. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Pendidikan Anak yang Utama

Kewajiban negara, sebagaimana tertuang di konstitusi (UUD 1945), ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara harus menjamin setiap orang punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Nahasnya, itu tidak dirasakan Aceng. Ia hanya bisa mengenyam pendidikan hingga kelas 1 SMP. Ia harus bekerja lebih awal dibanding teman sebaya, terutama demi membantu orang tua. Kehidupan terjal ia tapaki.

Apa yang dialami Aceng sebetulnya selaras dengan temuan Smeru Institute pada 2018. Dalam riset bertajuk "Understanding Metropolitan Poverty: The Profile of Poverty in Jabodetabek Area", tercatat bahwa sekitar 63 persen penduduk berkekurangan di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar, atau tidak bersekolah sama sekali.

Ambivalensi terjadi ketika belakangan sejumlah elite politisi acap kali menggaungkan wacana Indonesia Emas yang diharap bakal terealisasi pada 2045 mendatang. Pertanyaannya, apakah bisa Indonesia menjadi negara adil, makmur, sejahtera, jika sekadar pendidikan wajib saja tak bisa dirasakan 63 persen warga, termasuk Aceng?

J.V. Snellman, seorang negarawan Finlandia abad ke-19, pernah menyatakan bahwa pendidikan ialah jaminan keamanan. Barangkali kita sadar, apa yang ia katakan terbukti benar. Buktinya, pada paruh kedua 1900-an, Finlandia menjadi salah satu negara maju berkat kebijakan pemerintah mereka di bidang pendidikan.

Menjadi ironis jika kita menengok data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung tahun 2021. Di sana tercatat 18.581 warga Kota Bandung yang tergolong tidak atau belum tamat SD. Selain itu ada 28.379 warga yang “hanya” tamat SMP dan 41.386 orang warga yang tamat SMA.

Yang bikin waswas, persoalan ini ditimpali isu ledakan jumlah penduduk setiap tahun. Masih merujuk BPS Kota Bandung di tahun yang sama, pertumbuhan penduduk tercatat 0,45 persen menjadi 2.452.943 jiwa.

Aceng menghadapi kesulitan hidup yang kian mencekik. Bisa saja ini akan membatasi akses ketiga anak-anaknya terhadap berbagai kesempatan (bukan hanya soal pendidikan, tapi juga layanan kesehatan). Padahal keduanya diperlukan jika warga hendak memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Bagaimana bisa melakukan upaya perbaikan jika akses pada kedua instrumen dasar itu memiliki terbatas?

Jelas tak ada seorang manusia mana pun yang meminta dilahirkan ke dalam kehidupan yang morat-marit semacam ini. Begitu pula Aceng.

Hebatnya, Aceng tak patah arang. Gairah hidupnya membuncah. Seolah tak ada beban di pundak. Apapun dilakukan demi istri dan ketiga anak. Ia bekerja dengan keras. Yang penting, kebutuhan anak dan istri bisa tercukupi.

"Pokonamah budak kudu tamat sakola. Mun bisa, nepi kuliah," ujar Aceng. "Ulah siga kolotna."

Aceng serupa dengan semua pekerja yang sedang berjuang dalam pertempuran berat sebelah ini. Pekerja adalah terang dunia. Dan sembari terus bergerak, saya rasa, kita bisa terus mendorong Negara memperbaiki ketimpangan –jika pemerataan dirasa utopia.

Setidaknya untuk sekarang, saya berdoa dalam hati. Semoga Aceng senantiasa kuat bertahan. Dan menggenggam nyala api kehidupan seperti yang saya ketahui ada pada dirinya selama ini.

Masalah Menahun di Bandung

Surat Kabar Warta Bandung edisi 16 Juni 1957 memuat laporan tentang isu pengangguran. Disebutkan bahwa Djawatan Penempatan Kerdja saat itu dibanjiri warga yang berbondong-bondong mencari pekerjaan. Ada sekitar 23.443 orang yang terdiri dari 20.787 orang laki-laki dan 2.656 orang perempuan.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah pengangguran di Bandung saat itu. Terutama karena banyak yang belum terdata, atau karena tidak mengetahui atau belum mendaftar ke Djawatan Penempatan Kerdja.

Dalam informasi yang termuat di koran, tercatat bahwa salah satu penyebab kesulitan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja itu ialah tidak sesuainya keterampilan mereka dengan tenaga yang dicari perusahaan. Terutama dalam soal pendidikan dan pengalaman.

Kini, setelah 66 tahun berlalu, persoalan yang dihadapi Bandung masih kurang lebih sama. Kesulitan mengakses pekerjaan menghantui sebagian warga. Tidak sedikit orang dihadapkan pada masalah minimnya lapangan kerja.

Menurut BPS Kota Bandung, angka pengangguran terbuka pada 2022 mencapai 9,55 persen dari total penduduk sebanyak 2.452.943 jiwa. Sementara pada tahun sebelumnya, angkanya mencapai 11,46 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan jumlah penganggur terbuka pada tahun 2020, yang mencapai 11,19 persen.

Ini lagi-lagi menjadi permasalahan penting yang harus ditanggapi pemangku kebijakan. Bukan melulu demi memperbaiki citra yang belakangan tercoreng kasus yang dilakukan pejabat daerahnya.

Dan kita, sebagai warga, hanya bisa berusaha, menekan, sembari sedikit berkeluh-kesah. Dengan meminjam satu larik dari The White Shoes Couple Company, mari kita panjatkan: “gelombang nestapa, kuharap sirna…”

Ampun Pamarentah..

Ada satu hal yang membekas tiap kali ada keramaian yang keluar dari mulut pemangku kebijakan, dalam hal ini, pemerintah dan DPR. Aceng kerap membuat status di Facebook-nya dengan lelucon satir yang khas. Kira-kira ungkapannya seperti berikut: Ampun Pamarentah...

Saya menduga bahwa itu semata-mata dilakukan sebagai pelipur lara. Berdasarkan luapan emosi yang sulit dibendungnya. Dan memang tidak sepenuhnya keliru.

"Memperhatikan perilaku manusia di kursi-kursi kekuasaan adalah cara paling sederhana untuk menyadari bahwa kita tidak sedang baik-baik saja," demikian ucap salah satu penulis, Raka Ibrahim.

Bak rentetan peluru yang dimuntahkan dari senapan, mereka seolah ketagihan memberondong warga dengan kabar-kabar yang dapat bikin kepala pening. Ambil contoh, pada 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dilarang untuk menerbitkan seluruh peraturan terkait UU Ombibus Law itu.

Nahas, sikap yang diambil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak. DPRD menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang. Bahkan ini terjadi saat Perppu tersebut masih diuji di Mahkamah Konstitusi.

Ada juga ironi ketika pejabat pusat menggembar-gemborkan kemajuan infrastruktur digital seraya mengimbau agar milenial ambil bagian di industri tersebut. “Milenial perlu kenal kemajuan digital Indonesia,” kata Johnny G. Plate, si pejabat.

Kita tidak perlu mempersoalkan desakannya yang ganjil terhadap Pornhub, atau keluguan yang diumbar saat melawan Netflix. Ia sendiri belakangan terseret kasus korupsi.

Pertanyaan sederhana: siapa milenial yang dimaksud? Jika mendasarkan pada kategori usia, tentu saja Aceng termasuk di dalamnya. Oleh karenanya, kita layak mempertanyakan ulang. Milenial itu siapa?

Saya kira para pemangku kebijakan terlalu banyak bicara soal kehidupan anak-anak muda. Malah tak jarang disertai dengan pemahaman yang jauh dari kehidupan nyata. Ini merupakan fakta yang ada setiap kali orang-orang di tampuk kekuasaan berbicara tentang anak muda atau yang karib disebut milenial.

Padahal, dalam satu temuan The Jakarta Post, tercatat bahwa mayoritas anak muda Indonesia bukanlah pekerja kreatif perkotaan yang gemar menyeruput kopi di kala hari memasuki senja terbaiknya. Dengan demikian, sekali lagi saya ulang: siapakah milenial yang mereka maksud? Dari kelas sosial mana?

Faktanya, kebanyakan “milenial” Indonesia berpendidikan setingkat SMA, bekerja di sektor jasa dengan kedudukan rendah, dan pendapatannya mentok di angka Rp 2,1 juta.

Hal ini diperkuat data BPS (2017) yang mencatat hanya 1,4 persen dari generasi milenial yang menduduki jabatan tingkat manajer, dan hanya 7 persen yang memegang pekerjaan profesional.

Sisanya serabutan. Berhamburan bak debu-debu pembangunan. Bahkan kepemilikan properti juga telah lama jadi angan-angan belaka: 81 juta milenial di Indonesia belum memiliki rumah.

Semua mengingatkan kita pada kisah kehidupan Aceng beserta keluarga kecilnya. Seraya mengulang apa yang kerap ditulisnya di laman Facebook: Ampun Pamarentah...

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//