• Kolom
  • Mpieth Gomper, Penggila The Rolling Stones di Bandung

Mpieth Gomper, Penggila The Rolling Stones di Bandung

Di Bandung, The Rolling Stones bukan sekadar grup musik. Kegilaan padanya mewarnai perjalanan hidup banyak anak muda. Mpieth Gomper salah satunya.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Salah satu aksi panggung Mpieth Gomper menyanyikan lagu-lagu The Rolling Stones di Bandung. (Foto: dokumentasi pribadi Mang Mpieth)

11 Juni 2023


BandungBergerak.id - Sekilas tak ada yang istimewa dari salah satu rumah di bilangan Sukamantri, Jalan Suci, Kota Bandung. Puluhan stiker yang terpasang, kebanyakan bergambar juluran lidah, menjadi satu penanda apa kegemaran si penghuni rumah. Inilah kediaman Supriatna yang akrab disapa Mang Mpieth, atau jika dilafalkan: Mang Empit.

Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Senin, 5 Juni 2023. Mang Mpieth, sang tuan rumah, telah menyelesaikan sejumlah pekerjaan. Kini ia sedang mengaso bersama teman-temannya.

Sejumlah orang duduk-duduk santai. Alunan musik sesekali memecah keheningan. Di luar rumah, tersedia kursi bambu yang setia menopang para penghuninya untuk bercengkerama.

Meski sejumlah warga terlihat melintasi ruas-ruas gang di sekitar rumah, suasana sunyi kuat merayapi permukiman ini. Barangkali cuaca punya andil. Sejak sore hujan deras mengguyur kota Bandung. Mengafirmasi apa yang hendak diungkap Sapardi dalam sajak fenomenalnya: Hujan Bulan Juni.

Di dalam rumah Mang Mphieth, terdapat satu petak yang dipenuhi meja sablon, dikelilingi sejumlah poster dan foto-foto personil grup musik The Rolling Stones. Sebagian dilindungi pigura.

Mang Mpieth berusia paruh baya. Berambut ikal hitam, senada dengan jaket yang dia kenakan saat saya menemuinya.Kami bicara panjang lebar tentang apa yang masing-masing pikirkan. Pada sosok Mang Mpieth, kita bisa menebak bahwa mulut dan kepalanya dipenuhi hal-ihwal mengenai grup musik The Rolling Stones.

Mang Mpieth bukanlah nama asing di tengah penggemar The Rolling Stones di Kota Bandung. Reputasinya bersama Gomper, grup musik yang gemar membawakan lagu-lagu dari The Rolling Stones, sejak lama menahbiskan dirinya sebagai stoners sejati. Dari situlah lahir julukan Mpieth Gomper.

Selain bersama Gomper, Mang Mpieth juga kerap diajak untuk mengisi gitar di grup-grup lain. Bilakangan, ia sering membantu Brian Rock. Dan yang bikin geleng-geleng kepala, semua dilaluinya dengan penuh gelora.

Sepenuhnya menerapkan prinsip egalitarian, Mang Mpieth merupakan sosok yang dihormati anak-anak muda. Ia sangat mudah didekati sebagai kakak. Saat itu, di antara kami -empat orang yang berkumpul-, Mang Mpieth merupakan yang paling tua.

Keramahan seorang Mang Mpieth menjadi semacam bukti bahwa penggila The Rolling Stones, yang kerap dicap urakan dan dianggap tidak berjarak dengan kriminal, ternyata bisa juga bermasyarakat dengan sebaik-baiknya.

Setun Sejak Muda

Semua bermula pada tahun 1980-an. Mang Mpieth Gomper telah menjalankan kewajiban belajar sekolah menengah. Nyaris setiap Agustusan, ia bersama kawan-kawannya membawakan musik The Rolling Stones.

"Mun teu Setun, Bitel. Termasuk Queen, jeung Deep Purple," tuturnya. "Tapi nu dominan Setun."

Memang pernah ada masanya masyarakat Bandung terpaut ikatan emosional dengan The Rolling Stones. Terutama ihwal bagaimana lagu-lagu karya Mick Jagger dan kawan-kawannya itu menjadi inspirasi bagi banyak anak muda. Termasuk Mang Mpieth.

Lantunan musik yang diiringi dansa para penggemarnya kerap menghiasi panggung-panggung pementasan di Bandung. Dari GOR Saparua sampai gang-gang di kawasan padat Dunguscariang, lagu-lagu The Rolling Stones seolah menjadi santapan wajib. "A, Setun, A!", begitu ungkapan khas yang kerap terdengar.

Yang tak banyak orang-orang dekatnya tahu, konon Mang Mpieth sempat menyukai The Beatles. Hanya saja, setelah melihat cuplikan video The Rolling Stones, minatnya bergeser. Ia menilai grup musik ini cukup unik dan atraktif.

Seiring bertambahnya lingkar pergaulan dan juga pengalaman, Mang Mpieth kian mendalami segala informasi yang terkait dengan The Rolling Stones. Ia kerap nangkring di kantor Radio GMR yang beralamat di Jalan Dr. Hatta. Di sana sempat ada Stones Program.

"Dulu sempat jadi sarang ngumpul Stoner Lovers (sebutan bagi penggemar The Rolling Stones). Yang fenomenal itu, Supeno, atau dikenal dengan Braga Stone. Bahkan dari mana-mana pernah datang ka Bandung. Bogor aya, Malang aya. Termasuk Ian Antono, kan, dulu pernah punya grup Setun. Jaman ieu mah maen drum," kenangnya.

Siaran radio dan tongkrongan di kantornya inilah yang menjadi satu-satunya andalan Mang Mpieth memperoleh segala informasi tentang The Rolling Stones. Ketika itu kaset masih sulit didapat. Harganya masih mahal. Radio GMR bisa dibilang merupakan dewa penyelamat bagi Mang Mpieth dan orang-orang segenerasi yang menggilai The Rolling Stones.

"Alhamdulillah jadi nambah saudara gara-gara Setun," kata Mang Mpieth seraya mengakui bahwa ada juga dampak buruk akibat mengadopsi seluruh gaya hidup para idola.

Yang teranyar, Mang Mpieth berhimpun bersama para penggemar The Rolling Stones yang lain dalam satu wadah yang tak jarang menggelar aksi charity sebagai respons terhadap musibah. Termasuk gerakan ketika ada kawan-kawan mereka yang mengalami kesulitan hidup.

Seperti kebanyakan anak muda Bandung sezaman, Mang Mpieth Gomper menggilai The Rolling Stones sejak dari remaja dan bertahan sampai hari ini. (Foto: dokumentasi pribadi Mang Mpieth)
Seperti kebanyakan anak muda Bandung sezaman, Mang Mpieth Gomper menggilai The Rolling Stones sejak dari remaja dan bertahan sampai hari ini. (Foto: dokumentasi pribadi Mang Mpieth)

Menonton Langsung Mick Jagger

Demi kecintaan pada The Rolling Stones, Mang Mpieth telah mempertaruhan banyak hal dalam hidup yang hanya selembar. Ia bukan tipe orang yang memaknai hidup dengan penuh kegetiran atau rasa kecewa. Sebagaimana penyair berkata “hidup hanya menunda kekalahan”. Mang Mpieth bergeliat. Baginya, kehidupan harus dijalani semarak.

Pada akhir 1980-an, ada momen berkesan yang sulit dilupakan Mang Mpieth Gomper dan umumnya para penggemar The Rolling Stones. Mick Jagger melakukan tur solo ke sejumlah negara. Di antaranya Jepang, Australia, dan, ya, Indonesia. Pada 30 Oktober 1988, tepatnya, sang vokalis menyapa publik di Stadion Utama Senayan Jakarta.

"Alhamdulillah sayah bisa nonton langsung Mick Jagger," ujar Mang Mpieth dengan senyum merekah. "Tiketna dulu teh 25 ribu rupiah."

Rekaman peristiwa langka ini di antaranya ditulis oleh Muhidin M. Dahlan dan Anas Syahrul Alimi dalam dalam buku 100 Konser Musik Indonesia (2018). Sekitar 70 ribu penonton hadir sejak siang hari. Mereka menunggu untuk segera masuk ke area panggung Mick Jagger. Tercatat sebagai penyelenggara konser adalah Rinny Noor, istri pemain bass God Bless Donny Fatah yang menjadi pimpinan Ono Artists Promotion.

Sejak awal aparat keamanan yang beranggotakan 1.000 orang telah melihat potensi besar kerusuhan dalam konser di Stadion Utama Senayan ini. Dan benar saja. Tak berselang lama setelah konser dimulai, aksi huru-hara terjadi, disertai pembakaran sejumlah mobil yang terparkir di sekitar stadion.

Dalam pengamatan dan ingatan Mang Mpieth, kerusuhan yang terjadi saat itu dipicu massa yang berupaya menjebol pintu masuk area konser. Peristiwa ini seolah menjadi bercak noda di malam terang ketika suara serak yang khas milik Mick Jagger mengundang decak kagum penggemarnya.

Menyambut kedatangan bintang Rock asal Inggris itu ke Indonesia, publik Bandung punya cara yang unik. Sebuah kontes mirip Mick Jagger digelar di Alun-alun. "Nu meunang dapat freepass nonton Mick Jagger," ujar Mang Mpieth.

Itulah salah satu hari paling mengesankan bagi Mang Mpieth. Meski untuk mengalaminya ia harus berkorban tidak jajan selama satu pekan.

Baca Juga: Mengais Rezeki di Suryani
Ode untuk Aceng

Sekali Amedeuh Tetap Amedeuh

Sekali amadeuh tetap Amedeuh. Begitu istilah yang kerap diungkap Mang Mpieth, mengacu pada lirik awal Hongky Tong Woman yang jika dilafalkan orang Sunda terdengar seperti demikian: “…A me deuh”.

Memasuki tahun 1990-an, Mang Mpieth Gomper kian tekun mendalami The Rolling Stone. Bersama rekan-rekannya, ia mendirikan grup musik yang secara ekstensif rutin membawakan lagu-lagu band asal Inggris itu. Namanya Gomper, diambil dari salah satu judul lagu The Rolling Stones.

Menarik menelusuri asal-usul lagu yang sekaligus dijadikan nama grup oleh Mang Mpieth ini. Apakah ada kaitannya dengan Samuel Gompers yang merupakan tokoh penting dalam sejarah perburuhan di Amerika?

"Gomper berdiri seingat sayah mah barengan jeung Slankers Priangan," ungkapnya. "Dulu karena sok barengan nongkrong di basecamp-nya, pinggir SMA 20 Bandung."

Di Bandung, manifestasi kecintaan pada The Rolling Stones meninggalkan banyak jejak. Warga RW 06 Jalan Pelesiran menamai kawasan mereka sebagai Gang Stones. Mang Mpieth dan kawan-kawan sebaya melakukan hal serupa. Mereka ‘meresmikan’ Gang Brian Jones, mengacu pada gitaris The Rolling Stones.

“Tapi nu mencetuskan gang Brian Jones eta maot oge pada akhirnya. Jadi, ya udahlah," kenang Mang Mpieth.

Radio memainkan peran signifikan dalam fenomena Stones di Bandung. Memasuki tahun 2000-an, ada acara serupa dengan yang digagas Radion GMR di era 1980-an. Kini Stones Program diusung oleh Radio Mara. Gelombang fanatisme ini salah satunya kemudian bermuara dalam pembentukan komunitas Stoners Bandung. Mang Mpieth mengaku terlibat sejak awal.

Mengapa orang Bandung begitu fanatik terhadap The Rolling Stones? Irfan Muhammad, jurnalis dan penulis buku Bandung Pop Darlings (2019), dalam salah satu esainya berpendapat bahwa fenomena ini merupakan penanda bahwa Bandung sudah kosmopolit dan adaptif pada budaya Barat sejak era Londo.

Ada cerita lain lagi tentang bagaimana The Rolling Stones direplikasi semampunya oleh salah satu legenda musik Kota Kembang: Deddy Stanzah. Ia dikenal sebagai "Mick Jagger from Bandung". Tidak hanya sekadar menyanyikan lagu atau memiliki aksi panggung layaknya vokalis The Rolling Stones itu, Deddy Stanzah juga mengadopsi apa yang dikenang khalayak ihwal sosok Jagger pada kehidupan sehari-hari. Tak pelak, stereotip 'budak baong' pun hinggap dan memenuhi isi kepala mayoritas anak-anak muda Bandung pada sosok  Deddy Stanzah, Mick Jagger, dan The Rolling Stones.

"Banyak artis nasional nu setiap manggung bawakeun lagu The Rolling Stones, salah sahijina, nya, Deddy Stanzah," ujar Mang Mpieth mengiyakan.

Konon setiap zaman memiliki semangatnya sendiri, yang mungkin tak bisa diulang di kemudian hari. Namun barangkali pendapat ini tak berlaku bagi Mang Mpieth. Saya kira, yang lebih relevan tentang kecintaannya pada The Rolling Stones adalah satu larik lagu Ari Lasso: Cinta Sejati Tak Pernah Mati.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//