Hikayat Kios Samsudin
Di kawasan Jalan Pajajaran Bandung, kios biru milik Samsudin bertahan menghadapi gelombang pandemi Covid-19. Jadi tumpuan hidup keluarga.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
30 Juni 2023
BandungBergerak.id - Hujan baru saja mengguyur kawasan Jalan Pajajaran, Bandung, membuat kedinginan orang-orang yang masih beraktivitas. Mereka yang sudah tidak ganjil dengan suara bising pesawat. Menjelang tanggal 19 Juni 2023, jarum jam menunjuk ke angka sembilan.
Sekarang, Jalan Pajajaran sesak oleh deretan ruko (rumah toko) dan unit usaha lain yang terus bertambah bak jamur di musim penghujan. Suatu hal yang nyaris tidak ditemui puluhan tahun silam. Kiwari kawasan ini terlihat megah.
Sebagian dari kemegahan ini, jika tak bisa dibilang keseluruhannya, tentu saja dibangun di atas cucuran keringat pekerja. Mereka yang umumnya dianggap produktif bila dibutuhkan, dan dengan mudah dicampakkan bagai onggokan sampah ketika tidak lagi mampu menghasilkan nilai.
Di satu sudut Jalan Pajajaran yang kian megah itu, ada sebuah kios. Wujudnya biasa, seperti pada lazimnya. Hanya saja, ia telah didirikan sejak lama. Tepatnya, menjelang Istana Plaza mulai dibangun. Atau saat almarhum Andi Berendel, preman setempat yang sohor, masih menancapkan tajinya.
Jika Anda melintas perlahan di Jalan Pajajaran dari arah selatan, atau Bandara Husein Sastranegara, akan segera terlihat sebuah kios biru di sebelah kanan. Sebuah kios yang nyaris tak pernah dihantui sepi. Terutama di waktu siang menjelang sore hari.
Satu kursi kayu panjang menopang para pelanggan yang sedang bercakap-cakap. Suasananya begitu hangat. Mereka adalah para pekerja toserba (toko serba ada) yang ada di sebelahnya. Pelanggan lainnya adalah beberapa alumni sekolah menengah pertama (SMP) yang letaknya tak jauh dari sana: Jalan Semar. Saya termasuk kelompok yang kedua.
Kios biru itu milik Samsudin (47 tahun). Sudah sejak 2001 silam ia membuka usaha.
"Jenuh mah aya, tapi da kumaha? Tos yuswa sakieu mah, nya, ngan bisa wiraswasta," ujarnya disusul dengan diam, barangkali karena menyadari bahwa tidak banyak pilihan yang bisa direngkuh.
Syukurnya Samsudin tidak hanya bergelut dengan usaha kios itu. Ia kerap mencari penghasilan tambahan. Salah satunya, bolak-balik ke Samsat untuk menjalani peran sebagai biro jasa. "Eta oge kadang, ngan jalan upami aya nu miwarang (Itu juga jarang, hanya apabila ada yang memerlukan)," ucapnya.
Samsudin, yang kerap disapa Mang Encu, begitu karib dengan berbagai pengalaman unik. Ia kerap tersenyum saat menceritakan naik turun usahanya. Barangkali kehidupan semacam inilah yang telah membentuknya menjadi pribadi yang ramah pada setiap orang.
Bagi Samsudin, semua tak lebih dari "aturan hirup di jalan." Ia serupa dengan manusia-manusia lainnya, yang kerap memancarkan keteguhan dan keriangan dalam hidup. Ia terus bergeliat. Menancapkan seluruh kapasitasnya sebagai pegiat usaha di Jalan Pajajaran.
Baca Juga: Yang Senyap di Dago Pakar
Mpieth Gomper, Penggila The Rolling Stones di Bandung
Mengais Rezeki di Suryani
Berawal dari Membantu
Semua bermula pada awal 2000-an. Saat itu, Samsudin bekerja di sebuah unit usaha wartel (warung telepon), tak jauh dari Rumah Sakit Hasan Sadikin. Wartel berangsur punah akibat kedatangan telepon seluler (ponsel).
Seringkali Samsudin diminta untuk membantu usaha kios yang ada di sebelah warungnya, terutama ketika sang pemilik sedang ada keperluan mendesak. Ia ikhlas membantu melayani pembeli. Namun, takdir kemudian berkata lain. Apa yang ia tanam membuahkan hasil. Samsudin belajar banyak dari para pedagang yang kebanyakan adalah orang Panjalu dan Kuningan.
"Alhamdulillah dikasih kepercayaan," kenangnya. "Kebetulan sayah kan awalnya belajar dari orang Panjalu."
Tepat di titik ini rute perjalanan hidup Samsudin atau Mang Encu perlahan berubah. Ia melangkahkan kakinya ke dalam dunia yang mungkin sebelumnya tidak terbayangkan. Semua terlihat kebetulan. Nyaris serupa kisah pertemuan dua insan yang bentrok di jalanan, dan kemudian berakhir menjadi kawan.
Atas dasar kebaikan pemilik warung tetangga itu, Mang Encu lmulai menjalankan roda usaha kiosnya di dekat tempat ia hidup, yakni wilayah Jalan Purabaya. Bersama dengan sang istri, ia bahu-membahu membangun usaha itu. Suatu yang hingga kini begitu disyukurinya.
Suasana hening sejenak. Mang Encu meneguk segelas air yang sedari tadi berdiri di atas meja. Barangkali sedang membayangkan suatu hal yang kini telah jauh berubah. Bersamaan dengan tegukan tipis dari gelas cangkir yang ada dalam genggaman, kami melanjutkan pembicaraan.
"Tadina mah sempat putus pengharapan (Bakal kacukupan moal kira-kira ti usaha kios?). Alhamdulillah ayeuna tiasa masihan ka wargi sakedik-sakedik wae mah," ungkapnya, sembari memantulkan raut muka dengan penuh rasa syukur.
Mang Encu kini telah memiliki dua orang anak. Anak pertamanya telah menginjak kelas dua SMA, sementara si bungsu masih berkutat di Sekolah Dasar.
Mang Encu memiliki ambisi untuk dapat melihat anaknya melanjutkan pembelajaran ke perguruan tinggi. Tekadnya kuat. Dengan satu alasan yang persis dapat dipahami, saya meyakini ambisinya bakal terwujud. "Masih nabung," katanya.
Bertahan Saat Wabah Menyerang
Sambil melanjutkan percakapan, sesekali Samsudin atau Mang Encu melayani pembeli. Dia terlihat sibuk sekali. Hanya saat pelanggan tak hadir, percakapan di antara kami kembali digelar. Terutama mengenai perjalanan kios yang, meskin pernah mengalami masa sulit, hingga kini masih berdiri tegak.
"Basa jaman PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Jalan Pajajaran teh sepi. Siga kota mati weh," katanya. "Komo ayeuna usum begal. Jalan teh, mun peuting, sepi. Jarempling."
Sejauh ini tak jelas solusi apa yang telah dan akan dicanangkan penguasa. Pendekatan yang dilakukan hanya sebatas dukungan dari wali kota pada aparat keamanan untuk memberantas kejahatan jalanan. Alih-alih memberi perhatian sepenuhnya pada upaya membangun kesadaran, atau meningkatkan taraf hidup warga.
Padahal sejumlah orang di media sosial begitu rajin menggaungkan keresahan mereka atas fenomena begal itu. Beberapa berhasil. Namun ada pula yang gagal. Malah kadang ada satu persoalan yang harus lebih dulu viral untuk memperoleh tanggapan.
Yang jadi kunci menghadapi permasalahan ini adalah keputusan politik. Kedalaman pikiran yang tentunya diiringi kehendak. Beberapa tahun silam, sebagian orang terbukti bisa menjalin ikatan solidaritas dan bergerak untuk bangkit bersama-sama.
Namun, masih adakah pemimpin yang peduli pada signifikansi masa lalu? Masih adakah mereka yang menyadari begitu pentingnya pelajaran masa lalu bagi kehidupan banyak insan manusia yang menjalani kehidupan sekarang? Ketimbang berhasrat mengulang retorika masa lalu, yang lebih penting diusahakan adalah sikap yang tepat untuk menghadapi situasi hari ini.
Ketika pada satu malam di pertengahan tahun 2023 sejumlah kepala negara mengabarkan bahwa dunia telah berhasil melewati kemuraman yang dipicu wabah Covid-19, di kawasan Jalan Pajajaran Mang Encu dan usaha kios yang dirintisnya masih berdiri tegak. Ia bertahan. Meski sadar, bahwa suatu waktu bisa saja (di)kalah(kan) oleh wabah lainnya: Kapital.