• Kolom
  • Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1

Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1

Nama Samsir Mohamad seolah hilang dari catatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Konsisten di jalur perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Samsir Mohamad dalam sebuah diskusi di Penerbit Ultimus, Jalan Lengkong Besar, Kota Bandung. (Foto: Bilven Sandalista/Ultimus)

9 Juli 2023


BandungBergerak.id - Kabar duka itu datang pada 26 Juni 2009. Samsir, yang dikenal dengan julukan Petani Tua dari Lereng Burangrang, meninggal dunia. Ia dimakamkan di Padasuka, Cimahi. Tepat sehari setelah Michael Jackson, bintang pop asal Amerika Serikat, pergi meninggalkan gemerlap kehidupan.

Nama lengkapnya Samsir Mohamad. Namun berbeda dengan ‘pejuang’ sohor lainnya, namanya seolah hilang dari catatan sejarah kemerdekaan. Ia nyaris dilupakan. Padahal ia merupakan salah satu saksi Republik ini berdiri. Sepak terjang perjuangannya membentang.

Samsir Mohamad pernah pula berada dekat dengan kekuasaan negara, sebelum mengabdikan hidup demi kepentingan kaum tani. Bahkan sempat duduk di Konstituante. Namun cukup sulit menemui namanya di dalam buku sejarah yang beredar secara masif.

Samsir lahir pada 30 Mei 1926 di Sungai Puar Bukittinggi, sebuah wilayah di Sumatera Barat. Beberapa sumber mencatat bahwa ia tumbuh di tengah keluarga yang memiliki tradisi dagang, menjelang pemberontakan rakyat yang dipelopori kelompok komunis meletus di Hindia Belanda.

Catatan lain mengisahkan bahwa Samsir Mohamad merupakan anak tunggal dari pasangan yang menikah karena tuntutan adat Bukittinggi. Ibunya bernama Sadian. Ayahnya bernama Muhammad. Keduanya menikah karena dijodohkan oleh orang tua.

"Sesungguhnya Samsir Mohamad tidak pernah tahu apa pekerjaan ayahnya. Sebab, ketika ia berumur 3 tahun, orang tuanya bercerai dan Samsir dibawa oleh sang ibu ke tanah Jawa. Sadian lantas menikah lagi dengan Beram Sutan Rumah Panjang, seorang antiekereij (ahli barang-barang antik)," tulis Mulyani Hasan, dalam Petani Tua di Lereng Burangrang (2007), tentang penggal perjalanan yang membawanya ke Tanah Pasundan dan menetap hingga akhir hayat.

Samsir Mohamad mengenyam pendidikan formal di Hollandsch-Indlansche School “sekolah Belanda-Pribumi” (HIS). Sebuah institusi pendidikan setara sekolah dasar yang dibangun tahun 1914 oleh pemerintah kolonial. Di fase ini, Samsir mulai melahap berbagai macam buku bacaan. Hal tersebut dimungkinkan derap zaman yang mendukung. Bahwasanya pemerintah kolonial tidak membatasi buku-buku apapun.  

“Tetapi masih ada masalah yang sifatnya struktural,” tulis M.C Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hlm. 342). “Sekolah-sekolah Kelas Satu berada dalam sistem pendidikan ‘pribumi’, tidak ada kesempatan bagi seorang Indonesia untuk melompat dari sistem ini ke sistem Eropa yang pararel.”

Menariknya, saat itu murid di sekolah dasar diwajibkan mengunjungi perpustakaan oleh guru-guru dari Belanda. Das Kapital adalah salah satu bacaan yang dilahap Samsir. Ia menemukannya di salah satu museum.

Pada kurun waktu ini pula kesadaran Samsir mulai terbentuk. Terlebih usai Jepang masuk. Dalam satu wawancara, sebagaimana dikutip dari Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 183), ia mengatakan bahwa “gara-gara Jepang masuk, saya tidak bisa sekolah lagi. Ketika Proklamasi lahir, tanpa ada yang menyuruh, saya langsung ‘nyebur’ sendiri (ke dalam kancah perjuangan kemerdekaan).”

Tepat di titik ini, organisasi-organisasi pelajar seperti Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) dan PPP (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia) melakukan fusi, sehingga terbentuklah asrama Menteng 31 pada penghujung tahun 1942. Samsir terlibat di dalamnya.

“Ia sering bertandang ke pertemuan-pertemuan partai politik. Saat itu Sukarno sedang gencar-gencarnya melakukan penyadaran politik anti kolonial kepada pribumi melalui Partai Nasional Indonesia (PNI). Samsir diam-diam berada di antara orang-orang itu dan menyimak pidato-pidato Sukarno,” tulis Mulyani Hasan.

Kali lain Samsir bercerita soal kegemaran dengan sahabatnya, Ali Basyah, yang merupakan seorang buruh kereta api. Pada awal 1940-an, keduanya kerap mendengarkan siaran radio gelap. Dari situlah kemudian spirit anti-penindasannya timbul.

Setelahnya, aktivitas Samsir Mohamad lebih banyak berada di wilayah pertempuran. Tak lain karena perjalanan yang dilaluinya menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang berkutat di wilayah militer. Tatkala fasis jepang berhasil dienyahkan, dan Republik Indonesia tegak berdiri, ia kian aktif bersama Laskar Rakyat.

Bergerak bersama Laskar Rakyat

Pada awal kemerdekaan, terjadi perbedaan sengit di antara orang-orang Indonesia yang hendak menjalankan Revolusi. Yang pertama, kekuatan yang mendukung perjuangan bersenjata. Sementara yang kedua, kekuatan yang mendukung diplomasi.

“Walaupun saling mencurigai, kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan-kekuatan diplomasi secara bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan,” tulis M.C Ricklefs (2009, hlm. 446-447).

Samsir Mohamad termasuk kalangan yang pertama. Ia berada di barisan yang menggalang kekuatan bersenjata. Bertahun?tahun Samsir menyandang senapan melawan tentara Kerajaan Belanda yang hendak kembali berkuasa. Sebagaimana terekam dalam kumpulan sajak-sajaknya yang bertajuk Angin Burangrang, terbitan Ultimus pada tahun 2007. "Ketika itulah kukenali semangat dan kehendak merdeka penduduk desa, yang mengiringi doa dengan perbuatan nyata," tulisnya.

Semua bermula saat Samsir berada di barisan para pemuda yang berperan mendesakkan proklamasi kemerdekaan. Ia berhimpun bersama sosok-sosok seperti Chaerul Saleh, Nandar, Darwis, Johar Nur, Hasnan, Wahidin, Armansyah Hasan Dayuh, dan lain-lain. Mereka yang nantinya turut membidani lahirnya proklamasi.

Tercatat bahwa pada tanggal 15 Agustus 1945 Samsir berada di Jakarta. Tepatnya di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Selain Samsir, kita tahu, hadir pula di sana pada saat itu, tokoh-tokoh seperti Bung Hatta dan Soebardjo. Tepat di waktu yang sama, sejumlah catatan sejarah merekam peristiwa genting.

Bung Karno marah betul sesaat setelah ditekan tokoh muda bernama Wikana. Ia yang mendesak supaya Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa harus khawatir dengan pihak Jepang yang pada saat itu sudah kalah perang. Bung Karno tentu saja tak kalah sengit menolaknya.

Namun, atas desakan dan paksaan para pemuda, akhirnya Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. "Saat itu dinamika gerakan kaum muda terus bergerak maju. Komite Aksi yang diketuai oleh Chaerul Saleh menjelma menjadi API," ungkap Samsir.

Demikianlah pada titik ini Samsir aktif di Komite Aksi yang dikomandoi Chaerul Saleh, yang dalam perjalanannya bermetamorfosa menjadi Angkatan Pemuda Indonesia atau API. Kelak, sejak bulan September 1945, API menjelma menjadi Laskar Rakyat Jakarta Raya, dan berkembang menjadi Laskar Jawa Barat –berakhir menjadi TNI Divisi Bambu Runcing. Komandannya Sutan Akbar, sementara wakilnya Sidik Kertapati.

Mengenai hal ini, terang pula diungkap oleh M.C Ricklefs (2008, hlm. 450): “angkatan bersenjata yang mulai terbentuk pada September lebih banyak merupakan hasil prakarsa para pemimpin lokal, yang cakap, biasanya masih muda, serta memiliki kharisma dan/atau mudah memperoleh persenjataan, daripada tentara yang terlatih, bersenjata, dan berstruktur secara hierarkis.”

Di sinikah Samsir Mohamad kian aktif dan untuk selanjutnya terus hidup dalam arus pertempuran. Setelahnya, atau tepat sekitar setahun kemudian, terjadi selisih pendapat dan sikap dengan senior Samsir yang menduduki jajaran pemerintahan. Saat itu, mereka melakukan kompromi. Atau sebuah upaya yang dikenal sebagai “diplomasi”.

Sampul buku Angin Burangrang karya Samsir Mohamad yang diterbitkan oleh Ultimus Bandung. (Foto: akun Instagram Penerbit Ultimus)
Sampul buku Angin Burangrang karya Samsir Mohamad yang diterbitkan oleh Ultimus Bandung. (Foto: akun Instagram Penerbit Ultimus)

Menolak Diplomasi, Dicap Pengkhianat

Samsir Mohamad, bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Laskar Rakyat Jakarta Raya, tegas menolak. Dalam catatan lainnya, kita mafhum bahwa barisan oposisi ini dipimpin Tan Malaka dari kelompok Persatuan Perjuangan. Pada 27 Juni 1946, saat Hatta menyampaikan sebuah pidato di Yogyakarta untuk mengungkapkan posisi pemerintah dalam berunding, mereka menganggap hal tersebut sebagai sebuah pengkhianatan terhadap “kemerdekaan 100%”. Bagi barisan oposisi ini, perlawanan mewujudkan kedaulatan harus terus dikobarkan, meski pemerintah, sebagai representasi golongan tua, lebih memilih jalur diplomasi.

Bersama sehimpunan kalangan muda lain, Samsir beranggapan bahwa jalur diplomasi tak kurang dari tindakan kompromi terhadap kekuatan kolonial. Padahal saat itu beredar informasi bahwa pemerintahan sementara Belanda di Indonesia telah kehabisan dana untuk meneruskan pemerintahannya. Ditambah lagi mereka tidak mendapat pinjaman lebih lanjut dari pemerintah Inggris dan Amerika.

Namun pihak Belanda telah memutuskan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. M.C Ricklefs (2009, hlm. 473) menyebut bahwa “biaya pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur karena perang.”

Untuk mempertahankan pasukan ini, tentunya pihak Belanda memerlukan banyak anggaran. Mereka membutuhkan komoditas dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet). Jika ini dilakukan, rakyat Indonesia akan sangat dirugikan. Dan kelak, kekhawatiran ini menjadi kenyataan.

"Itulah buah diplomasi yang dihasilkan otak?otak dalam kepala tukang kompromi," ujar Samsir, seraya menambahkan bahwa semua itu ulah mereka yang sejak semula “ragu pada kemampuan dan tenaga serta kekuatan rakyat jelata yang bersatu dan haus merdeka.”

Sudah dari sebelumnya Samsir secara jitu menganalisis situasi ini. Dengan bernas ia mengungkapkan bahwa “tatkala pemerintahan kolonial melakukan agresi, saat itu yang dituju adalah daerah-daerah yang memiliki kemampuan untuk quick capital [mendatangkan modal secara cepat], yaitu wilayah perkebunan”. Samsir juga tegas mengatakan bahwa politik diplomasi terbukti hanya memberi peluang bagi Belanda untuk ‘menghela napas’ sejenak.

"Oleh karena itu, pilihan kami adalah tetap menjalankan pertempuran tanpa memberi ruang bagi pihak kolonial untuk menghela nafas barang sedikit pun," pungkasnya.

Namun rupanya pihak Pemerintah [RI] lebih menyetujui ajakan pihak kolonial untuk melakukan perundingan. Dikenal dengan istilah Perundingan Linggajati, merujuk pada tempat berlangsungnya perundingan [suatu daerah di Kuningan, Jawa Barat] pada 12 November 1946. Pihak Republik Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sementara pihak kolonial Belanda diwakili oleh Willem Schermerhorn.

Perundingan Linggajati menghasilkan keputusan bahwa kekuasaan secara de facto Republik Indonesia hanya berkisar Jawa, Madura, dan Sumatera. Hal ini jelas mengecewakan Samsir beserta kalangan oposisi. Baginya, ini melenceng dari isi Proklamasi yang tidak hanya membebaskan sebagian wilayah seperti Jawa, Madura, dan Sumatera, tapi kemerdekaan bagi seluruh bangsa-bangsa yang dijajah Belanda.

“Dua tokoh itu [Soekarno-Hatta] pantas dihargai dan dihormati atas perjuangannya melawan kolonial. Tapi rupanya mereka tergelincir justru saat memegang kekuasaan,” ungkap Samsir, seperti dikutip dari Petani Tua di Lereng Burangrang (2007)

Buntut dari penentangan Samsir ini menjadi persoalan serius. Ia bersama kawan-kawannya ‘dipukul’ oleh Pemerintah.

“Kami dilucuti dan diserbu. Bahkan Sidik Kertapati terkena tembakan pada pahanya oleh peluru tentara Indonesia. Saya sendiri menjadi buronan,” ungkap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 190).

Selama menjadi buronan, Samsir mengalami banyak hal. Termasuk perlakuan-perlakuan yang tidak mengenakkan. Situasi revolusi menjadi kian genting.

“Kalau sudah diteriaki sebagai ‘pengkhianat’, tentu sudah seperti dipotong atau disembelih saja nasibnya,” ujar Samsir. “Itu adalah risiko hidup dalam situasi revolusi.”

Bertemu Istri dan Bergerak via Publikasi

Apa yang menjadi kekhawatiran kalangan bersenjata, termasuk Samsir Mohamad di dalamnya, telah terbukti. Pihak Belanda ingkar janji terhadap hasil Perjanjian Linggajati. Sejak sekitar bulan Mei 1947, pihak Belanda mulai mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan terhadap Indonesia. Tepat pada 20 Juli 1947 tengah malam mereka merealisasikan persiapan itu dengan melakukan ‘aksi polisionil’ yang tak lain sebuah tindakan agresi militer ke wilayah kedaulatan Indonesia.

“Persis seperti yang telah kami khawatirkan, yang diserang adalah wilayah-wilayah yang potensial menghasilkan modal secara cepat. Salah satunya adalah wilayah-wilayah perkebunan,” tulis Samsir, dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 192).

Catatan lain mengafirmasi apa yang ditegaskan Samsir. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan Batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang, diamankan. Pasukan-pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat dihancurkan.

“Tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tak menyukai agresi tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik,” tulis M.C Ricklefs (2009, hlm. 473-474). “Perserikatan Bangsa-Bangsa juga terlibat langsung dalam konflik tersebut. India dan Australia sangat aktif mendukung Republik. Uni Soviet juga memberi dukungannya.”

Melihat kondisi ini, para pemimpin laskar berupaya berdialog dengan pemerintah. Tujuannya, membantu melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Untuk sementara perbedaan pendapat dihindari, mengingat adanya kesamaan tujuan, yaitu perang melawan pemerintah kolonial.

Terjadilah perundingan di Yogyakarta. Samsir berangkat bersama Komandan Divisi Sutan Akbar. Keduanya menumpangi kereta api sampai Gombong, Jawa Tengah, kemudian turun jalan kaki menuju ke tempat kedudukan Indonesia.

Samsir kemudian pindah tugas di Priangan, membantu Brigade Priangan dengan Komandannya Astra Wiguna. Kedudukannya saat itu di Cihideung, Tasikmalaya. Sejak itulah Samsir dan kawan-kawannya melakukan serangkaian perlawanan dengan strategi gerilya di wilayah Karesidenan Priangan.

Saat melakukan gerilya ini pula, Samsir bertemu dengan seorang gadis bernama Rosmiati yang kelak menjadi istrinya, sebagaimana dikisahkan Mulyani Hasan dalam Petani Tua di Lereng Burangrang (2007). Pertemuan keduanya berawal dari penyamaran sang pejuang di rumah orang tua Rosmiati. Ia kala itu berpura-pura menjadi pengungsi yang kehilangan orang tua.

Samsir terpaksa berlindung di rumah warga setempat karena ia menderita demam tinggi. Pada saat itu, siapa pun yang ketahuan menyembunyikan anggota TNI, berpotensi dibunuh oleh serdadu Belanda. Samsir sekuat tenaga menyusun rencana agar penyamarannya berjalan lancar hingga badannya pulih dari sakit. “Tetapi, sandiwara Samsir gagal sebelum usai.”

Rosmiati menemukan dokumen-dokumen soal pengangkatan Samsir sebagai perwira TNI di bawah kasur tempat Samsir tidur. “Sedang cari orang tua, ya,” tanya Rosmiati, menyindir kepada Samsir.

Samsir mengangguk gugup, sembari memastikan apa maksud pertanyaan perempuan tersebut. Rosmiati lalu memperlihatkan dokumen itu tanpa perkataan lebih lanjut.

“Tolong jangan bocorkan hal kepada siapapun. Aku tak ingin keluargamu mendapat susah gara-gara keberadaanku,” pinta Samsir.

Rosmiati diam. Ia hanya berlalu, tetapi gadis itu benar-benar menjaga amanatnya.

Kejadian itulah yang menjadi awal dari tumbuhnya perasaan saling mencintai di antara kedua insan. Pertemuan selanjutnya terjadi di Bandung. Meski kedua orang tua mereka tak merestui hubungan tersebut, diam-diam mereka sering melakukan pertemuan.

Nahas, orang tua Rosmiati mengetahui hubungan mereka. Dia kemudian dipindahkan dari Universitas Padjajaran ke Universitas Indonesia. Padahal Rosmiati harus menyelesaikan dua studi, Hukum dan Ekonomi. Ketika mengetahui Samsir juga dipindahkan ke Jakarta, orang tua Rosmiati kembali memindahkan anaknya ke Bandung.

Setelah delapan tahun menjalin hubungan rahasia, akhirnya pasangan ini mendapat restu pernikahan orang tua masing-masing.

“Kalau kau bersedia menikah denganku, kau harus siap miskin!” kata Samsir kepada perempuan tersebut.

Dengan tegas, gadis itu menjawab: “Makan singkong juga hidup.”

Selain melancarkan aksi perlawanan dalam bentuk fisik, Samsir Mohamad bersama kawan-kawannya juga memiliki surat kabar. Sebuah koran dinamai Genderang dan sebuah majalah dengan nama Godam Djelata. Publikasi ini terbit mingguan. Salah satu artikel yang dirilisnya bertajuk “Anti Linggarjati Sampai Mati.”

Yang memimpin redaksi adalah Armoenanto, atau yang biasa disebut “Kerongkongan”. Sementara itu, “Keriting” adalah nama panggilan untuk Sidik Kertapati dan “Bob” untuk Haroen Oemar sebab mukanya bopeng.

Baca Juga: Hikayat Kios Samsudin
Yang Senyap di Dago Pakar
Mengais Rezeki di Suryani

Kembali Menolak Berunding, Dikembalikan ke Rakyat

Sejak adanya campur tangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), strategi gerilya yang dicanangkan pemerintah untuk melawan agresi militer Belanda mulai mengendur. Perundingan kedua dilangsungkan pada Januari 1948 di atas kapal USS Renville. Pelaksana perundingan dari Indonesia adalah perdana menteri kala itu, yakni Amir Syarifuddin dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Buntut dari perjanjian tersebut, TNI diharuskan meninggalkan kantong-kantong gerilya. Lagi-lagi tindakan tersebut memberi keleluasaan ruang pada pihak militer kolonial Belanda. Peristiwa meninggalkan kantong-kantong gerilya tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa hijrah ke Yogyakarta.

“Entah karena kekokohan sikap atau karena ‘kebandelan’, laskar kami menolak hasil Perjanjian Renville dan tidak mau menyerahkan negeri kami kepada pihak kolonial. Kami menolak untuk ikut hijrah. Kami terus melakukan perlawanan,” demikian ungkap Samsir, sebagaimana dikutip dari Suara dibalik Prahara (2011, hlm. 192-193).

Keadaan Republik begitu kacau, sebagaimana M.C Ricklefs (hlm. 476) menyebut: “Kekuasaan Republik secara efektif telah terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat penduduknya dan kekurangan beras”.  Penderitaan rakyat juga kian meningkat. Terutama karena blokade Belanda serta masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara Republik.

Persoalan yang harus dihadapi Samsir Mohamad dan kawan-kawannya kian pelik. Akibat enggan mengikuti seruan hijrah ke Yogyakarta, mereka dianggap pembangkang, dan bahkan digempur oleh pasukan Brigade yang dikirimkan oleh pihak Pemerintah [RI] dari Jawa Tengah. Gempuran tersebut terutama terjadi di Ciwaru, Jawa Barat.

Akibat gempuran tersebut beberapa pimpinan Divisi Bambu Runcing gugur. Dalam sebuah percakapan yang tercatat dalam Suara dibalik Prahara (2011, hlm. 193), Samsir mengingat siapa-siapa kawannya yang telah gugur dalam periode ini. Ia menyebut antara lain Sutan Akbar, Gatot, Suharya, Abu Bakar, dan Maulana. Sebagian besar pasukan kemudian melarikan diri.

Yang mengesankan, kendati Samsir bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam laskar porak- poranda, mereka perlahan melakukan konsolidasi untuk terus menjalankan kegiatan bergerilya. Selain menghadapi Belanda di medan pertempuran, pada tahun 1948, bersama pasukan dari Divisi Bambu Runcing lain, ia juga harus berhadapan dengan kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [ DI/TII].

Saat itu, lagi-lagi pihak kolonial mengingkari hasil Perundingan Renville. Pada tanggal 18 Desember 1948 mereka melancarkan agresi militer yang kedua. Tentu saja kejadian ini menyakitkan hati kalangan laskar rakyat yang sejak mula tidak menghendaki langkah diplomasi.

Pada tahun 1948 itu pula pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang reorganisasi dan rasionalisasi tentara (yang dikenal dengan program Re-Ra). Kekuatan militer Republik haruslah merupakan tentara yang profesional. Tidak boleh lagi satu senjata dipegang oleh dua, tiga, atau bahkan empat orang anggota laskar secara bergantian sebagaimana ditemui di gerilya. Satu senjata untuk satu tentara.

Berkat ketentuan Re-Ra, sebagian anggota laskar, meskipun telah bertahun-tahun ikut bergerilya dan memanggul senjata, harus “dikembalikan ke masyarakat”. Kebijakan ini tentu dirasa sangat menyakitkan bagi laskar-laskar rakyat yang selama bertahun-tahun telah ikut bergerilya demi mempertahankan kemerdekaan Republik. Namun demikian, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dikumpulkan dan diantar untuk kembali ke masyarakat dengan diangkut truk.

“Mereka juga diberi uang saku, masing-masing sebesar 5 perak (rupiah). Saya sendiri tidak tahu pasti dari mana Pemerintah mendapatkan uang guna melaksanakan kebijakan Re-Ra tersebut,” ungkap Samsir.

Laskar yang tidak bisa menerima kebijakan Re-Ra lantas melakukan tindakan perlawanan dengan mendirikan Barisan Sakit Hati (BSH). Letnan Kolonel Jamil dan pasukannya, contohnya, melakukan perlawanan di daerah Tomo, Cirebon.

“Sebenarnya saya dan beberapa kawan lainnya juga merasa sakit hati, tetapi kami tidak melakukan tindakan seperti kelompok Jamil,” kata Samsir.

Berhenti sebagai Prajurit

Bentrokan melawan agresi militer kedua Belanda kian hebat. Pasukan-pasukan Republik mengundurkan diri ke pedalaman dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua sisi garis Van-Mook. Pihak tentara mundur dari Yogyakarta pada tanggal 19 dan 20 Desember 1948 malam.

Pada 1 Agustus 1949, diumumkanlah gencatan senjata yang nantinya mulai berlaku pada tangga 11 Agustus dan 15 Agustus 1949, meski ada bentrokan-bentrokan lain yang berlanjut sampai bulan Oktober 1949. Yang mengagumkan, justru sebelum gencatan senjata itu dilaksanakan, pasukan-pasukan Republik berhasil merebut kembali sebagian besar Surakarta dan mempertahankannya selama dua hari.

Pada tanggal 23 Agustus hingga tanggal 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag. Hatta, yang pada tahun sebelumnya mengajukan usul kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi, mendominasi pihak Indonesia selama berlangsungnya perundingan-perundingan. “Dan semua peserta mengaguminya,” tulis M.C Ricklefs (hlm. 487).

Pihak eks-laskar kembali mengekspresikan ketidaksetujuan mereka dalam bentuk perlawanan. Sebagai konsekuensinya, mereka harus menghadapi gempuran dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat [APRIS], gabungan tentara Indonesia dan tentara Belanda.

“Hal ini menempatkan kami dalam posisi yang sulit,” ungkap Samsir. “Chaerul, saya, dan kawan-kawan lainnya sudah tidak bisa lagi berbuat banyak, karena Republik Indonesia Serikat [RIS] itu presidennya tetap Sukarno. Kalau kami melawan Sukarno dapat dipastikan bahwa kami akan habis dimaki-maki oleh rakyat. Sukarno telah betul-betul mengakar di hati rakyat.”

Seiring dengan berjalannya waktu, Samsir Mohamad legawa. Sebagai bagian dari kelompok perlawanan yang berangkat atas semangat kaum muda, yang menginginkan kedaulatan negara Republik Indonesia secara penuh, ia bersama kawan-kawannya harus memilih bentuk kehidupan baru. Sebagian melanjutkan sekolah yang sebelumnya terhenti akibat perang, sebagian lagi ingin pulang kampung menjadi petani.  

“Chaerul sendiri dikirim oleh Bung Karno untuk sekolah ke luar negeri,” ucap Samsir, yang memilih bentuk kehidupan kedua.

Pada akhirnya Samsir memutuskan untuk berhenti sebagai anggota TNI. Ia meletakkan jabatan sebagai Komandan Brigade. Posisi dan tanggung jawab ia serahkan pada wakilnya yang bernama Jaya.

“Berat memang. Tapi keadaan begitu mengecewakan,” ungkap Samsir. “Saya merasa kesal. Berbagai macam perasaan menghantui saya. Di tengah itu semua, saya berpikir, ya sudahlah, saya berhenti saja.”

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//