• Kolom
  • Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #4

Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #4

Samsir Mohamad dibebaskan dari tahanan Pulau Buru awal tahun 1979. Menetap di Bandung. Menghabiskan masa tua di lereng Gunung Burangrang. Berteman dengan anak muda.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Samsir Mohamad. (Foto: Bilven)

29 Juli 2023


BandungBegerak.id – “Ketika itu/gegap gempita/yang memihak belanda/bisa binasa.

rakyat…/di atas angin/yang menentangnya/bisa dilindas geloranya.

kemerdekaan/hak setiap bangsa/didegupkan semangat/merdeka atau mati./rakyat menebusnya/membayarnya/dengan segala/yang ada padanya.

itulah muatan ‘godam djelata’/itulah yang didebarkan/tiap hari oleh ‘genderang’/lalu datanglah virus kompromi/menumpas dan membungkamnya.

kebangkitan diredam/dengan debu keraguan/dengan dalih jangan jatuh korban/yang berujung pada/tidak menjadi tuan/di rumah sendiri.

dan kini../sesal pun/tak lagi berguna/nyaris semua tumpang tindih/simpang siur dan carut marut.

inilah yang kita dapati/tak ada gunanya lagi/si salah dihakimi/si benar dipuji/tak akan mengubah apa?apa.

puji memuji/tabiat bangsawan/kehendak dan harapan/bersemi di jelata/akankah si terpelajar/mampu membacanya/dan menyikapinya, dengan lurus dan benar?/terpulang pada mereka.

(Samsir Mohamad, "Ketika itu" dalam Angin Burangrang, 2007: 111-113)

Sebetulnya desas-desus mengenai pemulangan para tapol sudah santer dibicarakan sejak awal 1976. Sebagaimana telah diulas bahwa Jimmy Carter, yang beberapa bulan setelah memenangi kursi Presiden Amerika Serikat tahun 1977, begitu getol menggaungkan isu HAM.

Saat pidato pelantikan, ia juga menyinggung ihwal adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) di Asia-Pasifik. Pemerintah orde baru yang saat itu sedang berkuasa di Indonesia, tentu panik. Mereka berupaya merancang solusi terhadap ribuan tapol yang masih diasingkan di Pulau Buru.

"Memang dia tidak eksplisit menyebut Indonesia, karena pada waktu itu tidak ada pemerintah otoriter sekejam Soeharto di wilayah Asia-Pasifik," tulis Haji Suparman – yang juga sahabat Samsir Mohamad, seperti dikutip dari Tragedi 1965, dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006, hlm. 243).

Seiring waktu, ribuan tapol akhirnya dibebaskan. Termasuk Samsir Mohamad. Meski sebetulnya tidak bebas secara utuh. Stigma eks-tapol terus membelenggu setiap langkah yang mereka tempuh.

Selepas pemulangan dari Pulau Buru, para tapol – termasuk Samsir Mohamad – cukup kaget melihat perubahan yang terjadi di sekeliling. Perkembangan Kota Bandung kian pesat. Beda dengan di Pulau Buru, kehidupan dirasanya berjalan begitu cepat.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa hal itu dipengaruhi Undang-undang tentang Penamaan Modal Asing (UU PMA) yang kembali dijalankan di masa transisi pemerintahan Sukarno – Suharto. Para tapol yang baru saja menginjakkan kakinya cukup gagap. Tetapi mereka diharuskan adaptif.

Begitu banyak rintangan. Dan tidak sedikit undang-undang, aturan-aturan, yang bisa menjadi ranjau bagi para eks-tapol. Salah sedikit, bukan tidak mungkin dihadapkan lagi dengan kemalangan nasib.

Baca Juga: Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #2
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #3

Upaya Rekonsiliasi

"Ini bukan problem pribadi saya. Ini problem kita sebagai bangsa," tegas Samsir, sebagaimana tercatat dalam Petani Tua dari Lereng Burangrang (2007).

Ia berharap sebuah rekonsiliasi. Meski sadar, sebetulnya sulit terjadi di bawah kendali rezim fasis yang saat itu mempersempit langkah setiap individu eks-tapol. Suatu hal yang diperkuat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Amir Machmud) terkait bersih diri dan bersih lingkungan.

Tentu saja hal tersebut menjadi beban psikologis yang cukup mengguncang. Namun semua tak kuasa berbuat apa-apa. Meski perasaan geram hinggap di lubuk hati ribuan tapol lainnya.

"Amir Machmud ini keterlaluan. Kakaknya sendiri (yang bernama Umar) ditahan dalam kamp yang sama dengan saya," ungkap Haji Suparman, yang juga mengemban predikat seorang eks-tapol (2006, hlm. 292).

Namun baginya rekonsiliasi merupakan suatu langkah pasti. Lurus dan benar, itulah yang acapkali dilontarkannya. Ia berharap penuh akan kebenaran dan keadilan.

"Yang terpenting bagi saya adalah kebenaran yang harus diangkat," kata Samsir.

Kebenaran diimajinasikannya sebagai yang objektif. Ia hendak menggaungkan kebenaran dalam pengertian "mampu membaca kenyataan seperti kenyataan itu sendiri". Tidak ditambah-tambah dengan cerita lain. Tidak dikurang-kurangi.

Kita tahu, sudah banyak filsuf yang telah merumuskan soal kebenaran. Tapi menurut Samsir sederhana saja: kebenaran adalah peristiwa yang tidak perlu dikurangi, ditambah, dan lain-lain. Dari pengertian kebenaran yang objektif itu ia lalu merumuskan arti dari keadilan.

Apa itu yang dimaksudnya dengan keadilan? Bagi Samsir, adalah adil terhadap korban, adil terhadap pelaku. Keadilan, baginya, milik semua orang. Serupa dengan apa yang telah dikatakannya tentang kebenaran.

"Kepada pelaku, kita juga harus adil. Kalau salahnya 10 kilo jangan diadili lebih dari itu. Tindakan itu harus dihindari. Dari kedua hal itulah baru kita bisa beranjak ke rekonsiliasi," ucapnya.

Demikianlah kehidupan Samsir selepas pulang dari Pulau Buru awal 1979. Samsir menetap di Bandung. Ia lantas menjalani kehidupan biasa. Baginya, setelah itu, semua sudah lewat. Hanya kebenaran dan keadilan yang diharap.

Kekokohan Prinsip

Seiring waktu berjalan, Samsir merasa senang kembali menginjakkan kaki di Bandung. Nahas, ia merasa terasing. Bagi Samsir, hanya lagu Ebiet G. Ade yang dapat mengobati rasa sepi. Bahkan sebagai bentuk dari terima kasihnya, ia pernah menulis sebuah surat untuk Ebiet.

Di dalamnya, Samsir menyatakan ucapan terima kasih. Sebab, lagunya (terutama yang berjudul Kalian Dengarkah Keluhanku) betul-betul menemani saat melewati masa-masa sulit. Ia kagum pada lagu yang terhimpun dalam album Aku Ingin Pulang, yang dirilis tahun 1993.

Apakah buku ini harus selalu hitam pekat? / Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan? / Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum / Dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari../Kemanakah sirnanya nurani embun pagi .....yang biasanya ramah, kini membakar hati?

Samsir juga kadang merasa bersalah. Ia beranggapan tidak mampu berbuat yang terbaik bagi negeri ini. Kegagalan demi kegagalan memang terus menghantuinya. Ia merasa gagal mengawal kemerdekaan. Namun itu sudah terjadi. Dalam beberapa wawancara, ia tegas akan mempertanggungjawabkan hal ini.

"Saya tidak punya keinginan apa-apa lagi, semoga hukuman (…yang telah dijalani) selama 12 tahun bisa menebus itu semua, tapi kalaupun tak cukup, saya siap menanggungnya di akhirat nanti."

Prinsipnya begitu kokoh. Dan itu pula yang terekam pada sajak berjudul "apakah ada". Di dalamnya, cukup tergambar semua laku dan pandangan hidupnya itu dengan cemerlang:

"apakah ada/yang lebih terhormat/dari memihak rakyat/dengan perbuatan/dan perilaku?

..apakah ada/yang lebih hina dan jahat/daripada menyengsarakan/dan mengorbankan rakyat?

..jika engkau pejabat atau aparat/tanyailah dirimu sendiri/supaya ajal tidak menghantui

sesal kemudian tidaklah berguna/sesal dahulu adalah pendapatan/terpulang pada dirimu sendiri/tuhan pasti tidak bisa didustai." (2007: hlm. 124)

Samsir Mohamad (Ilustrasi Yogi Esa Sukma Nugraha)
Samsir Mohamad (Ilustrasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

Tekad Membahagiakan Anak Istri

“Papa itu orangnya asyik, gak kolot," ucap Dian Sari Intanti, putri Samsir, yang kala itu masih kecil. "Tapi saya tak kenal sosok papa. Kaget, tiba-tiba ada orang di rumah selain mama dan saya yang berlama-lama.”

Selepas kepulangannya, Samsir mulai memberi perhatian pada keluarga, terutama anak-anak. Meski begitu, Samsir tak berusaha menjelaskan mengenai masa lalu yang ia jalani. Ia enggan keluarganya mengalami nasib yang sama sepertinya.

“Suatu kesadaran yang diterima dari orang lain, akan berbeda dengan kesadaran yang timbul dari diri sendiri,” katanya.

Samsir punya tekad kuat. Untuk sekarang, pasca kepulangan dari pengasingan, Ia memiliki kehendak untuk membahagiakan orang tua, istri, dan anak. “Saya berikrar lima tahun saja kesempatan membahagiakan mereka. Selama ini saya ini gak pernah ngasih uang.”

Tepat di sini, ia berupaya kompromi dengan kenyataan.

Meski bagi para mantan tapol, sebagaimana disinggung di atas, belum ada kebebasan yang sesungguhnya. Mereka dibatasi dalam berbagai hal. Pekerjaan, aktivitas, semuanya wajib lapor. Hingga suatu waktu Samsir bertemu dengan seorang kawan lama bernama Isman.

Ia merupakan salah satu pendiri organisasi kepemudaan, Kosgoro. Isman kemudian memberi kepercayaan kepada Samsir untuk mengelola percetakan. Mula-mula percetakan itu kecil, hanya mengerjakan beberapa pesanan. Tapi Samsir terus belajar. Dan ia bekerja dengan keras. Semua dilakukannya dengan penuh tanggung jawab.

Ia memiliki strategi dalam memajukan usahanya. Hingga ke titik yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya: Samsir sukses secara finansial. Hanya dalam beberapa tahun saja penghasilannya mencapai 26 juta. Kemampuannya dalam mengelola bisnis banyak disukai orang. Tender-tender besar diraihnya. Perusahaan-perusahaan lain meminang Samsir sebagai pimpinan.

“Dari pengalaman ini, saya berpikir bahwa tidak ada manusia satu pun di dunia ini yang mampu melihat dirinya sendiri. Kita membutuhkan cermin, dan Isman adalah cermin bagi aku,” ungkap Samsir, sebagaimana tercatat dalam Petani dari Lereng Burangrang (2007).

Pada akhirnya tekad membahagiakan keluarga terlaksana. Ia membelikan sebuah rumah untuk mereka. Ibu dan istrinya, masing-masing rumah secara terpisah. Soal selera dan ukuran, Samsir menyerahkan semuanya pada mereka berdua.

“Orang-orang eks PKI bilang aku ini borjuis,” kenang Samsir.

Dalam waktu lima tahun, target Samsir sudah terpenuhi. Tetapi tiba saatnya untuk berhenti. Samsir merasa kini tak ada lagi alasan untuk terus-terusan mengakumulasi modal. Tahun 1985, Samsir mundur dari jabatan direktur perusahaan. Ia melepas semua kehidupan mewah yang diraihnya dengan kerja keras.

“Semuanya ia tanggalkan: gaya hidup, jabatan, dan gaji. Ia hanya mempersiapkan deposito secukupnya. Sedangkan istrinya masih setia pada dunia bahasa,” tulis Mulyani Hasan, sebagaimana tercatat dalam Petani dari Lereng Burangrang (2007)

Kisah hidupnya dalam fase ini terekam dalam sajak bertajuk "Terima Kasih". Namun keunikan yang dinilai anaknya sebagai laku kebodohan itu pun sama sekali tak disesalinya:

"ketika peluang datang/untuk niaga cari uang/kuterima dengan senang/sebab cuma satu itu/yang dibolehkan saat itu…

...kubuatlah rencana/untuk ibu dan dua adikku/yang cacat keduanya/untuk istri dan anakku/ketika rencanaku tercapai/dengan bangga kumenarik diri/dan berkata: usailah tugasku/yang sebelumnya tidak kulakukan..." (2007, hlm. 136-137).

Sepuluh tahun kemudian, Samsir dan istri sepakat menjual rumah mewah itu, setelah putrinya beranjak dewasa, ia dimasukkan ke Universitas Indonesia. Dan hasil dari penjualan rumah, yang harganya 200 juta, sebagian diberikan kepada anaknya, sebagian lagi dipergunakan untuk membeli rumah kecil di Cimahi. Tak lama setelah itu, pada 1996 Rosmiati –sang istri tercinta, meninggal dunia.

Satu persatu keluarganya meninggal. Rumah terakhirnya pun dijual. Yang tersisa tinggal putri satu-satunya. Dan ketiga cucu, hasil percintaan putrinya dengan seorang pilot. Mereka hidup di Jakarta, sementara Samsir menghabiskan masa tuanya di Lereng Burangrang.

Tak sulit untuk memahami alur pikirnya. Barangkali bisa pula dilihat dalam satu sajak berjudul "Menghendaki": Kesejahteraan/untuk semua manusia/apakah itu sebuah dosa? (2007, hlm. 134).

Di lereng gunung Burangrang, sebelah utara kota Cimahi – yang masuk wilayah Cisarua. Di sanalah Samsir menyisakan hari tua. Keadaan sekelilingnya tampak masih asri. Ada jalan setapak menuju rumahnya, sekira 500 meter dari jalan raya.

Sajak (Ilustrasi Ilustrasi Yogi Esa Sukma Nugraha)
Sajak (Ilustrasi Ilustrasi Yogi Esa Sukma Nugraha)

Menjadi Kawan Anak Muda

"Apa pendapatmu tentang Sukarno?" itulah kalimat perkenalan yang dilontarkan Samsir sesaat setelah ia menyilahkan tamunya masuk. Bilven Gultom, seorang tamu yang singgah di kediaman Samsir kala itu, tentu keheranan.

"Saya jawab yang normatif aja," ungkap Bilven.

Namun lantas Samsir menguraikan panjang lebar mengenai apa yang diketahuinya secara langsung. Ia yang saat itu berjuang bersama kawan-kawannya di sekitar proklamasi kemerdekaan 1945. Sejak pertemuan itu, ia mulai akrab dengan para pemuda di Bandung, sekitar tahun 2004.

Samsir tinggal di rumah seorang teman yang telah meninggal dunia. Sesama prajurit divisi bambu runcing. Ukurannya hampir sama dengan tipe 36 perumahan umum. Ventilasinya minim.

Dari sana, ia kerap menyambangi tempat anak-anak muda berkumpul, di bilangan Lengkong Besar. Nyaris seminggu sekali Samsir hadir. Dengan kretek dan kopi hitam yang menjadi kegemarannya.

"Sering pulangnya saya antar, tapi gak jarang juga beliau pulang sendirian. Pakai angkutan umum," kata Bilven.

Di masa tua, ia telah menetapkan keputusannya untuk menyingkir ke lereng Burangrang. Sesekali ia turun gunung untuk menjumpai kawan lama, sesama pejuang yang lahir dari Menteng 31. Ia juga tak jarang memberi petuah politik pada anak-anak muda.

"Sesekali dia bicara tenang dan pelan. Tempo itu tidak monoton. Kadang dia bicara agak keras," ungkap Sadikin Ghani, dipetik dari esai bertajuk Sahabatku, Sam... (2007). "Dia selalu mengingatkan untuk memanggil namanya tanpa embel-embel apapun. Menurutnya, itu salah satu aktualisasi dari sikap egalitarian."

Namun akhir hidupnya tiba tak lama setelah ia memenuhi undangan salah satu acara diskusi di Jakarta. Tepat 26 Juni 2009 Samsir meninggalkan dunia yang telah dijalaninya dengan penuh gelora. "Padahal sudah saya larang (untuk menghadiri kegiatan itu), tapi beliau keras kepala," kenang Bilven saat kami berbincang mengenai akhir kisah kehidupan Bung Samsir.

"Sepulang dari sana kemudian ia mengeluhkan sakit."

Ia meninggalkan kesan yang mendalam. Buktinya yang masih tersisa hingga sekarang, bisa dilihat di website Petani Tua di Lereng Burangrang. Kumpulan sajak, beserta pandangan anak-anak muda yang menjalin ikatan emosional dengannya, terkumpul menjadi satu.

Demikianlah kisah Samsir Mohamad. Ia dimakamkan di Padasuka tak lama usai menghembuskan nafas terakhir. Dan rasanya, penggalan sajak untuk A.S Dharta (2007, hlm. 133) dengan judul dari si petani tua yang masih tersisa, kini tepat ditujukan kembali pada Samsir:

"Satu?satu/mereka pergi/tidak kembali lagi/selamat jalan….

...kerabat sepikiran/sesama pelaku/untuk kehendak mulia/bagi kehidupan bangsa/dan umat manusia.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//