• Kolom
  • Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #3

Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #3

Prahara Gerakan 30 September 1965 yang dituduhkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melempar Samsir Mohamad dari penjara ke penjara hingga berakhir di Pulau Buru.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Samsir Mohamad. (Foto: Bilven)

21 Juli 2023


BandungBergerak.idLima tahun kusandang senapan/lawan serdadu penjajah/untuk bela negaraku dan/kemerdekaan bangsaku./lima belas tahun/aku hilir mudik/sebisaku berbuat baik/untuk tujuan kemerdekaan./

Nyaris lima belas tahun/jadi penghuni rumah tahanan/penjara dan pengasingan/tak pernah ke pengadilan/dan itu dilakukan oleh negaraku sendiri/yang kubela dan kuhormati/dengan taruhan mati./

Itulah suatu ironi/hendaklah tak berulang lagi/untuk mereka/setelah aku pergi./

Betapapun/telah kulakukan/apa yang aku mampu dan bisa/untuk negeri/orang tua dan anak istri/padaku tak ada sesal untuk semua itu./

Kelak, apa pun putusan ilahi/akan kuterima dan jalani./

(Samsir Mohamad, "Sebuah Nukilan" dalam Angin Burangrang, Ultimus: 2007, hlm.74-75)

Pagi itu, Jumat, 1 Oktober 1965, menjadi momen yang memilukan bagi Samsir Mohamad. Ia mengunjungi mertua perempuannya yang jatuh sakit. Namun ada peristiwa lain yang cukup mengguncang dirinya dan banyak orang lain.

Beberapa jam sebelumnya, Jakarta diguncang prahara. Dewan Revolusi pimpinan Letnan Kolonel Untung coba mengambil alih kekuasaan. Sebanyak enam Jendral terbunuh oleh pasukan yang dikenal melaksanakan operasi Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Suasana sekitar Samsir bernaung begitu senyap. Namun rasa khawatir turut hinggap. Ia berupaya mencari informasi mengenai peristiwa yang telah terjadi.

"Saya mendengar terjadinya Peristiwa 1 Oktober itu melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Saya juga mendengar pengumuman tentang adanya Dewan Revolusi," tulis Samsir, seperti dikutip dari Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 210). "Satu persatu nama disebutkan di berita radio itu. Saya mendengarkan dengan cermat. Ada yang saya kenal, ada yang tidak."

Tetapi baginya, informasi ini malah terasa membingungkan. Ia juga keheranan, misalnya, mengapa Hardojo yang baru saja berhenti sebagai Ketua Umum Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), namanya tercatat dalam salah satu anggota Dewan Revolusi. Ironi terjadi di sini. Nama dirinya – Samsir Mohamad, yang notabene pimpinan organisasi tani – malah dilewati begitu saja.

"Padahal secara hierarki, kekuasaan saya memiliki posisi politik yang lebih strategis," ungkap Samsir. "Saya ini Sekretaris Umum BTI, anggota MPRS yang sekaligus sebagai anggota Badan Pimpinan MPRS, dan juga anggota MUPENAS. Tapi, kok, nama saya tidak masuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi? Tentu saja ini kalau yang namanya Dewan Revolusi itu memang benar adanya."

Situasi Bandung, terutama di jalan-jalan pusat kota, juga tampak begitu sepi. Menurut pengamatan Haji Suparman – pimpinan redaksi Warta Bandung, sebagaimana tercatat dalam Tragedi 1965 dari Pulau Buru sampai ke Mekah (2006, hlm. 38-39), "beberapa panser siaga di sepanjang markas kodam, tentara yang siap tempur dengan helm dan senjata bayonet terhunus nampak siaga. Mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi."

Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal (Mayjen) Ibrahim Adjie, yang dikenal seorang Sukarnois sejati, sedang berada di luar negeri. Tetapi, esoknya, sehari setelah pengumuman Dewan Revolusi, Mayjen Adjie kembali, dan segera mengeluarkan pernyataan pada pihak yang mengetahui keberadaan Presiden Sukarno agar segera memberitahu Kodam Siliwangi dalam tempo 24 jam. Jika tidak, Siliwangi akan bertindak untuk menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Sukarno.

Samsir kian bingung. Ia merasa ada proses politik yang dirasakannya tidak nyambung dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Hal inilah yang kelak melahirkan potensi kekacauan politik luar biasa.

"Jadi, nggak ngerti saya," ungkap Samsir.

Kekacauan politik membuat Samsir berencana kembali ke Jakarta. Ia berupaya menggali informasi yang mungkin tersedia di sana. Namun sebelumnya Samsir lebih dulu bergegas menuju ke Kantor MPRS, yang terletak di Jalan Asia-Afrika – dan sempat bertempat di Gedung Merdeka sebelum pindah ke Jakarta tahun 1971. Nahas, ia tidak menemukan siapa-siapa. Kantor MPRS itu tiba-tiba sunyi, sepi, bahkan mencekam.

"Padahal saya sangat berharap sesegera mungkin mendapat kejelasan atas peristiwa yang sedang terjadi. Tidak satu pun elite PKI yang bisa saya temui," ungkap Samsir. Ia juga kehilangan kontak dengan pimpinan PKI seperti Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman.

"Saking bingungnya, sampai-sampai saya lupa memarkir Jeep pemberian dari Chaerul Saleh yang biasa saya kendarai."

Di tengah kekacauan itu, Samsir kian heran mengapa tiba-tiba saja muncul tokoh baru yang bernama Letnan Kolonel Untung. Ia tercatat sebagai Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September 1965. Belakangan, diketahui bahwa Untung merupakan bekas anak buah Soeharto tatkala dirinya menjadi Komandan Resimen 15 di Solo.

"Siapa itu Untung? Saya sendiri baru dengar nama Si Untung itu. Waktu sering berkunjung ke Istana Presiden, saat menjadi anggota MPRS, saya nggak pernah dengar itu namanya Untung. Padahal saya banyak kenal sama ajudan-ajudan Presiden Sukarno, seperti Si Guritno, Jatmiko, dan lain-lain," kata Samsir.

Kelak, apa yang dialami Samsir Mohamad turut mengafirmasi temuan aktual mengenai peristiwa G-30-S 1965. Sejumlah ilmuwan – salah satunya John Rossa – mengatakan G-30-S 1965 merupakan sebuah operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar) di tingkat provinsi, nyaris tidak pernah membicarakan, atau sekadar memberi pendapat untuk menimbang keputusan.

Baca Juga: Hikayat Kios Samsudin
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #1
Samsir Mohamad, Pejuang dari Lereng Burangrang #2

Menjadi Buronan

“Pada 5 Oktober tentara mulai terang-terangan menyalahkan PKI yang melakukan usaha kudeta tersebut. Kelak, peristiwa itu disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), dengan sindiran jelas pada Gestapo Nazi Jerman,” tulis MC Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009, hlm. 594).

Dalam situasi membingungkan itulah, Samsir merasa tidak punya pilihan lain kecuali menyelamatkan diri. Ia sadar telah terseret konflik tanpa memahami persoalannya secara rinci. Apa dan bagaimana peristiwa sesungguhnya terjadi, tidak diketahuinya secara pasti.

Kerumitan dan kemungkinan persekongkolan selama kurun waktu ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pimpinan intelijen angkatan darat, Mayor Jendera S Parman, merupakan adik anggota Politbiro, Ir. Sakirman – mantan kepala sekolah teknik swasta di Bandung. "Mengapa kok tiba-tiba begini?" tanya Samsir.

Pada Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang PKI terjadi secara simultan. Yang terparah, terjadi di Pulau Jawa dan Bali.

“Kadang-kadang perseteruan lama diselesaikan dalam wilayah konflik politik yang sedang terjadi. Konon, para tuan tanah secara gampang menyingkirkan para petani penggarap dengan membunuh mereka,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 596).

Ketika diwawancara sejumlah peneliti, Samsir berkali-kali mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak mengetahui persis alur peristiwa itu. Ia buram pada soal yang dihadapinya. Malah ia kian membingungkan. Saat itu sulit sekali untuk menghubungi rekan-rekannya di partai.

"Mereka terserak-serak entah ke mana. Tak diketahui ke mana Aidit, ke mana Njoto, ke mana Lukman," tulis Samsir, seperti dikutip dari Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 212).

Ironis memang. Pada saat genting seperti itu, sejumlah petinggi partai justru berpencar-pencar. Yang lebih mengherankan lagi, nyaris tidak ada apa-apa di kalangan bawah (partai). Dari sini sebetulnya bisa disebut bahwa ada yang terlibat, tetapi ada juga yang tidak terlibat; ada yang setuju, dan ada juga yang tidak setuju. Begitu sulit bagi Samsir untuk merumuskan situasi yang terjadi saat itu.

"Tapi inilah kenyataan yang harus saya kabarkan. Kenyataan menunjukkan bahwa kita (orang-orang dari partai komunis itu) tidak monolit. Tidak ada kesatuan sikap tentang peristiwa itu sendiri. Aneh, ya? Padahal PKI itu katanya sentralistik. Kenyataannya lain," kata Samsir.

Satu bulan kemudian, pucuk pimpinan PKI ditemukan tewas. Njoto tertembak 6 November 1965, sementara Aidit pada 22 November 1965. Lukman juga ditemukan tewas tak lama setelahnya. Hanya Sudisman yang tersisa.

Kelak, Sudisman memberi kesaksian di Mahmilub (yang didirikan Desember 1965). Sikapnya yang tenang dan bermartabat memberi kesan mendalam bagi Benedict Anderson, yang akhirnya menerjemahkan Uraian Tanggung-Djawab  ke dalam bahasa Inggris.

Situasi politik yang kacau balau itu terus bergulir. Bantahan PKI atas keterlibatannya dalam G-30-S 1965 sama sekali tak dihiraukan. Tak lama setelahnya, tuduhan pada PKI beserta underbouw-nya kian masif. Mereka dianggap dalang dari kekacauan yang telah terjadi. Selaku salah satu petinggi BTI, tentu Samsir Mohamad ikut memikul tanggung jawab. Ia dicari aparat.

"Setelah kehilangan semua kontak di Jakarta, sambil bersembunyi, saya balik ke Bandung. Saya lalu menjadi buronan," kata Samsir, dikutip dari Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 213).

Untuk kesekian kalinya, Samsir harus mengalami kenyataan pahit. Ia menjadi buronan di negeri sendiri. Dari satu kawan ke kawan lainnya di Bandung, ia bersembunyi. Hingga akhirnya nasib malang tidak tertolak. Ia ditangkap.

"Saya lupa persisnya, tapi waktu itu kira-kira akhir Desember 1965—atau malah sudah Januari 1966," ungkapnya.

Petaka bagi Samsir tidak hanya sampai di sini. Saat menjadi buronan, Samsir harus mengalami kenyataan yang mengguncang pikiran dan perasaannya. Mertua perempuan yang sebelumnya ia jenguk dikabarkan meninggal dunia terkena serangan jantung.

"Saya ini menantu yang paling disayangi, begitulah kira-kira," kata Samsir, seraya mengingat masa lalu yang sebetulnya berkebalikan dari apa yang dialami setelahnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Samsir sempat tidak disetujui kedua orang tua Rosmiati yang pada waktu ini telah resmi menjadi istrinya. Setelah 7 tahun berpacaran, akhirnya mereka dapat menikah di tahun 1958.

Bertemu Sjam

Selama menjadi buronan, Samsir berharap untuk dipanggil sebagai saksi. Tetapi pada saat berlangsungnya pengadilan-pengadilan, ia sempat dianggap tidak memiliki keterkaitan. Dan karenanya, tatkala Asmu dipanggil sebagai Ketua Umum BTI, kemudian Sidik Kertapati sebagai Wakil Ketua Umum, Samsir tidak turut dipanggil.

"Padahal saya adalah Sekretaris Umum. Secara organisatoris, kan, seharusnya saya dipanggil. Akan tetapi, kok, tidak ada pemanggilan untuk diri saya," ujar Samsir, sebagaimana tercatat di dalam Suara di Balik Prahara (2011, hlm. 214).

Samsir tentu tidak pasrah begitu saja. Ia berupaya menggali informasi yang ada. Terutama atas publikasi partai yang masih tersisa. Dan hipotesisnya menyatakan bahwa Aidit memiliki agenda sendiri. Samsir meyakini para pimpinan partai mempunyai “pasukan” sendiri di dalam PKI.

Aidit dikenal begitu dekat dengan Sjam Kamaruzaman. Samsir tidak pernah tahu apa dan bagaimana hubungan keduanya. Pernah dalam suatu kesempatan usai rapat di Jl. Kramat Raya Jakarta (Kantor CC PKIO, ia diajak Aidit ke Bandung. Saat melintas di Puncak Pass, Jawa Barat, mobil menepi sejenak. Rupanya mereka hendak mengisi perut yang keroncongan. Setelah makan selesai, Aidit langsung berdiri, dan bergegas untuk kembali memasuki mobil yang mereka tumpangi.

Samsir terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang terlewat. Dan benar saja. Ia ingat bahwa mereka belum melakukan pembayaran. Ia lantas menanyakan perihal tersebut pada Aidit.

Usai ditanya, Kawan Aidit segera menunjuk dengan ibu jari ke belakang, lalu mengatakan bahwa ada “Si Boss” di belakangnya. Samsir merasa heran.

"Belakangan, baru tahu kalau 'Si Boss' itu adalah Sjam Kamaruzaman," tutur Samsir. "Selain itu, baru tahu bahwa ada yang namanya 'Biro Khusus'. Saya lihat dari koran. Saat itu juga saya melihat wajah orang yang sewaktu di Puncak Pass bayari kami makan."

Apa yang diungkap Samsir di sini mengafirmasi temuan John Rossa. Belum lama ini, dalam satu risetnya bertajuk Komunisme Indonesia: Jalan Parlementer yang Sarat Marahabaya (2021), ia menerangkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu "strategi PKI untuk bernaung di dalam tubuh militer".

Mereka terdiri dari sekelompok pendukung PKI yang sangat loyal dan paling andal bergerak secara rahasia untuk memelihara kontak dengan para personel militer. Dan mereka menjalin komunikasi langsung dengan Aidit. Sisi klandestin partai — dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan rahasia dengan perwira-perwira militer semacam ini cukup jarang diketahui publik.

"Tujuan utamanya adalah untuk berbagi informasi," tulis John Rossa. Ia menambahkan bahwa "kelompok klandestin ini bukan jaringan yang besar, dan mereka, melalui perjuangan berat melawan sosok-sosok anti-komunis yang kuat di antara para perwira tinggi."

Aidit sendiri tampak meyakini bahwa komando tertinggi Angkatan Darat yang anti-komunis akan melakukan kudeta, bahkan sebelum Sukarno meninggal. Pertanyaan yang hinggap di benak Aidit kemudian: apakah menunggu kudeta terjadi, atau melancarkan serangan pendahuluan?

"Rupanya ia memilih tindakan yang terakhir," tulis John Rossa, seraya menambah bahwa hal tersebut merupakan karakter yang ganjil. Dan itulah yang menurutnya – bukan pemberontakan, bukan kudeta, bukan pula pemberontakan massal— lebih mencerminkan posisi PKI yang tidak lazim.

Pada akhirnya, situasi kacau tersebut menguntungkan pihak Angkatan Darat, yang sudah lama bersusah-payah berupaya mendapat bantuan ekonomi AS. Hal ini pula yang memberi penegasan dukungan terhadapnya: pembunuhan PKI beserta pendukung Sukarno sebagai pelayanannya terhadap perang global melawan komunisme.

"Soeharto dan para jenderalnya berharap akan diberi imbalan oleh Amerika Serikat, dan mereka mendapatkannya. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mencurahkan limpahan bantuan kepada Indonesia segera setelah Soeharto jelas-jelas menyingkirkan Sukarno pada Maret 1966."

Awal dari Penderitaan

Usai ditangkap, Samsir Mohamad kemudian digiring menuju Komdak (Komando Daerah Kepolisian). Ia dimintai keterangan atas berbagai aktivitas politik yang telah dilakoninya. Ia dibentak, dihardik, dimaki, dan lain semacamnya.

"Habis pokoknya. Polisi itu datang ke saya atas petunjuk dari seorang kader PKI," ucap Samsir.

Ironis memang. Ia dijerumuskan oleh rekan sesama partai. Meski, kelak ia sadar bahwa tindakan mementingkan diri sendiri dan mencari aman seperti ini banyak sekali terjadi. Bahkan dalam situasi semacam itu, seorang kader partai yang militan jarang yang bisa bertahan menghadapi teror dan kekerasan.

Singkat cerita, saat itu salah seorang pimpinan PKI Jawa Barat datang menemuinya di tempat persembunyian. Ia datang bersama seorang kader lainnya – yang kelak, diketahui merupakan seorang "tukang tunjuk". Kemudian, pimpinan tersebut memberi informasi kepada Samsir bahwa banyak rekan-rekannya yang telah tertangkap.

"Saya agak curiga dan khawatir kalau ada yang 'nyanyi' dan melaporkan tempat pertemuan ini ke pihak polisi," ucap Samsir. Dugaannya tepat. Tak lama kemudian tiba-tiba polisi masuk. Ia ditangkap. Sementara tangan Samsir diborgol, kader yang dicurigai tadi berdiri di depan pintu sembari menyaksikan proses penangkapan Samsir dan pimpinan PKI Jawa Barat berlangsung.

Samsir geram. Namun tak bisa berbuat apa-apa. Ia segera diangkut menuju Komdak. Ironisnya, di Komdak itulah, kader PKI yang terbukti “nyanyi” tadi malah ikut polisi menginterogasi, dan memaki-maki. Bahkan bertindak lebih kejam.

"Tidak sedikit, lho, kader PKI yang melakukan seperti itu. Barangkali karena mereka tidak kuat dengan teror dan kekerasan yang diterima," ujarnya. “Dasar komunis. Komunis. Pembunuh. Pengkhianat. Tukang congkel mata orang.” Kata-kata itu serta merta mengiringi siksaan demi siksaan yang diterima Samsir.

Saat di Komdak, penahanannya dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari ruang isolasi yang satu ke ruang isolasi yang lain. Tetapi di sini ada satu kejadian unik.

Pada saat itu, ada seorang polisi bernama Beni. Ia merupakan salah satu anggota tim pemeriksa yang menahan Samsir. Ia lalu berkata:

”Hai, you boleh keluar sana. Sebentar lagi, kita kan, mau pisah. Sekarang, kita makan-makan bersama dululah.”

Kemudian ia meminta izin pada kepala polisinya, yang saat itu dipimpin oleh Bondan Guntowaru. Kepala Polisi itu lalu mengiyakan. Mereka pun kemudian pergi ke restoran.

Sembari makan bersama, Polisi itu berkata, ”Maafkanlah kami. Kami ini hanya menjalankan tugas.”

Pernyataan tersebut segera Samsir balas, ”Kamu tidak usah minta maaf sekarang. Karena apa yang kamu omongkan ini adalah pembangkangan. Kita sama-sama pembangkang. Saya sangat percaya kamu ini adalah manusia, dan manusia itu memiliki hati manusia.”

Lalu keduanya menangis sesenggukan.

Dari Kebon Waru ke Pulau Buru

Ia sadar, kini kekuatan politik yang diemban sebelumnya telah sirna. Usai di Komdak Samsir terpaksa berteman dengan sunyi. Ia lantas dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan Kebon Waru Bandung.

Di sini, ada satu kejadian yang mengharukan dalam kisah hidupnya. Saat di penjara Kebon Waru, keluarga Samsir masih bisa menjenguk, termasuk Bapak Mertuanya.

Untuk kali ini Bapak Mertuanya datang bersama istri Samsir. Keajaiban terjadi. Bapak Mertuanya memberi dukungan moral pada Samsir. Bahkan Bapak Mertua sempat berpesan kepada istrinya untuk tetap setia menunggu.

“Kamu tunggu suamimu sampai keluar,” kata Bapak Mertua pada sang istri, yang pada saat itu bekerja sebagai penerjemah di Kantor Berita Uni Soviet, Jakarta. Padahal, dulu saat menjalani masa pacaran selama 7 tahun, keduanya kesulitan mendapatkan restu dari bapak mertuanya itu.

Dan profesinya istrinya itu memungkinkan Samsir diketahui nasibnya. Rosmiati berhasil mencari tahu keberadaan nasib suami dan ribuan tapol lainnya. “Saya pernah dibawa mama ke Kebon Waru, tapi mama gak bilang kalau papa dipenjara,” kata Dian Sari Intanti, putri Samsir, seperti dikutip dari Petani Tua dari Lereng Burangrang (2007).

Di tempat inilah ia mengalami penderitaan yang begitu hebat. Ia terguncang. Luka lebam mengelilingi sekujur tubuhnya. Pukulan demi pukulan menghantam tubuhnya berkali-kali. Ia roboh. Tak berdaya. Oleh karena dianggap berdosa lantaran keterlibatannya di dalam tubuh Barisan Tani Indonesia – organisasi yang berafiliasi dengan PKI.

Ia ditempatkan secara khusus terpisah dari narapidana lainnya. Tetapi, saat ia tak kuasa menahan sakit, keajaiban kembali terjadi. Seorang napi pencuri bernama Bandi memboyong Samsir ke kamar mandi. Ia lalu ditenggelamkan beberapa kali ke dalam sebuah bak mandi.

“Entahlah, justru setelah ditenggelamkan itu, badanku terasa lebih bugar,” kenang Samsir.

Usai di Kebon Waru, Samsir lantas dibawa ke Nusa Kambangan. Dan lagi-lagi Samsir terpaksa harus berteman dengan penderitaan. Ia bergerak dari penjara ke penjara, hingga akhirnya dibuang Soeharto ke Pulau Buru. Selama 15 tahun Samsir berada dalam tahanan Orde Baru itu.

“Saya tidak akan menuntut atas apa yang saya alami,” kata Samsir, seperti tercatat dalam Petani Tua dari Lereng Burangrang (2007).

“Saya terjun ke dalam pergolakan proklamasi dan ambil bagian mengangkat senjata melawan Belanda untuk sebuah Indonesia yang berdaulat seperti yang diamanatkan UUD 45 dan tidak berhasil. Kalau berhasil kan tidak begini Indonesia. Ini adalah konsekuensi dari proses yang dikelirukan oleh para pemimpin."

Dalam catatan penegakan hak asasi manusia yang dihimpun Amnesty Internasional, pada 1977 terdapat 55.000-100.000 tahanan politik di Indonesia yang masih ditahan tanpa pengadilan sejak 1965. Sementara informasi mengenai naiknya Jimmy Carter naik menjadi presiden Amerika Serikat kian santer diberitakan. Pada November 1976, ia berhasil naik ke tampuk kekuasaan, dan mengusung kampanye HAM.

“Jadi, Jakarta, yang masih sangat bergantung pada bantuan dan dukungan Amerika Serikat, dengan enggan memutuskan bahwa mesti ada yang dilakukan terhadap para tapol tersebut,” tulis MC Ricklefs (2009, hlm. 629). “Pada kesempatan pertama, Indonesia mencoba program pembebasan pura-pura – mentransmigrasikan tapol ke penjara permanen di pulau seberang. Tapi segera diketahui belangnya.”

Dan akhirnya situasi kian mendesak. Pada awal 1979, ribuan tahanan politik dipulangkan dari Pulau Buru. Samsir termasuk di dalamnya. Ia kembali bertemu keluarga yang begitu dicintainya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//