RESENSI BUKU: Paulo Freire dan Guru sebagai Pekerja Budaya
Buku Pengajar sebagai Pekerja Budaya karya Paulo Freire berisi refleksi mengenai praktik pendidikan yang autentik dan bermakna.
Penulis Laila Nursaliha6 September 2025
BandungBergerak.id – Dua Profesor dari Universitas Campinas mendekati anak-anak yang sedang menerbangkan layang-layang. Mereka bercakap cakap tentang panjang benang layang-layang, tinggi layang-layang saat terbang, dan berdiskusi tentang cara anak-anak itu mengukurnya. Di antara selipan pertanyaan yang bisa dijawab oleh anak-anak tersebut, kedua Profesor itu mulai mengenalkan konsep trigonometri dan berbagai operasional rumus dasar matematika.
Namun ironinya, pengetahuan yang dikuasai Gerson –nama anak yang sedang bermain– dalam kehidupan sehari-hari tidak membuatnya berhasil dalam pelajaran matematika di sekolah. Segala yang diketahuinya tidak bernilai apa-apa dalam konteks pembelajaran formal. Inilah paradoks yang hendak diungkap Paulo Freire melalui ilustrasi tersebut.
Cerita di atas, yang diselipkan Freire dalam surat kedelapan berjudul "Identitas Budaya dan Pendidikan", menunjukkan betapa pentingnya sensitivitas budaya dalam pembelajaran. Profesor matematika dan fisika dalam cerita itu berhasil mentransfer pengetahuan kompleks karena mereka berbicara dalam "bahasa" yang dipahami anak-anak –konteks bermain layang– layang yang familier bagi mereka.
Di sinilah letak kritik Freire terhadap sistem pendidikan konvensional. Banyak anak tidak mengerti apa yang diajarkan karena pendidik menggunakan "bahasa" yang asing –bukan hanya linguistik, tetapi juga kultural dan kontekstual. Padahal, jika materi dijelaskan dalam kerangka budaya dan pengalaman peserta didik, pemahaman akan jauh lebih mudah tercapai.
Bahasa merupakan aspek yang paling melekat dengan identitas budaya seseorang. Pemahaman ini seharusnya menjadi fondasi dalam pengembangan kurikulum. Sayangnya, praktik di lapangan sering kali hanya mengidentifikasi aspek-aspek kearifan lokal sebagai hiasan kurikulum, tanpa benar-benar mengintegrasikannya sebagai medium pembelajaran yang autentik.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Membaca Sejarah Lewat Lain Wajah
RESENSI BUKU: Haruskah Kita Tetap Diam Ketika Korban Menggugat dalam Ritus Panjang untuk Simon
RESENSI BUKU: Upaya Memahami Peran Siauw Giok Tjhan dan Baperki
Pembelajaran sebagai Proses yang Berkelanjutan
Dari tahun 1970-an hingga 1990-an, berbagai gagasan mengenai pendidikan kritis mulai mewarnai dunia pendidikan global. Karya-karya Paulo Freire seperti Pendidikan Kaum Tertindas, Pedagogi Pengharapan, dan Pedagogi Pembebasan mulai diterjemahkan dari bahasa Portugis ke dalam bahasa Inggris. Buku-buku inilah yang kemudian menjadi rujukan utama bagi gerakan pendidikan kritis yang bersifat revolusioner.
Setelah menerbitkan berbagai gagasan revolusioner di bidang pendidikan yang bersifat filosofis, Freire kemudian mengembangkan karyanya ke arah yang lebih praktis. Pada tahun 2005, ia menerbitkan sebuah karya dalam bentuk surat-surat yang ditujukan kepada para pendidik progresif. Sepuluh surat yang terkumpul dalam buku "Teacher as Cultural Worker" (2005) merupakan hasil dari refleksi mendalam mengenai praktik pendidikan yang autentik dan bermakna.
Dalam pengantar bukunya, Freire menegaskan bahwa pendidikan merupakan tugas untuk mencintai dan memberikan pengajaran seutuhnya. Ia menuliskan "Tidak mungkin mengajar tanpa berani mencintai, tanpa keberanian untuk mencoba ribuan kali sebelum menyerah".
Kalimat ini mengungkap esensi yang sering terlupakan: bahwa mengajar adalah proses eksperimen berkelanjutan yang membutuhkan keberanian untuk gagal dan bangkit kembali. Setiap kelas adalah laboratorium hidup, setiap peserta didik adalah variabel unik yang membutuhkan pendekatan berbeda.
Freire merangkum kualitas guru progresif melalui tujuh pilar utama: komitmen untuk belajar dan pelatihan, kecintaan, kesederhanaan dan kerendahan hati, keberanian, ketegasan, komitmen terhadap keadilan, serta dedikasi pada kebebasan dan hak asasi manusia. Ini diterjemahkan dalam interaksi sehari-hari melalui relasi antara pendidik dan peserta didik –sebuah hubungan yang didefinisikan sebagai profesi dengan "tugas spesifik, militansi, dan persyaratan spesifik untuk implementasinya."
Konsep "militansi" di sini bukan radikalisme buta, melainkan komitmen teguh untuk memfasilitasi peserta didik agar mampu "membaca kata per kata dan membaca dunia". Inilah yang membedakan pendekatan Freire dari pedagogi konvensional: pembelajaran bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses dialogis yang memungkinkan peserta didik mengonstruksi pemahaman mereka sendiri tentang dunia.
Pengetahuan Ilmiah sebagai Fondasi Humanisme Guru
Sering kali, guru dianggap sebagai manusia sempurna. Freire berpesan agar pendidik tidak perlu menjadi sempurna. Bahkan, guru-guru harus bersaksi tentang perjuangan untuk ketenangan, untuk kebebasan, dan untuk menciptakan disiplin belajar.
Pernyataan yang tampak paradoksal ini mengungkap dialektika mendalam antara dimensi manusiawi dan profesional seorang guru. Freire tidak menuntut guru menjadi manusia tanpa cacat, karena ketidaksempurnaan justru membuat guru tetap dapat berempati dengan perjuangan belajar peserta didiknya. Namun, dalam hal penguasaan bidang ilmu dan metodologi pembelajaran, guru tidak boleh berkompromi.
Penguasaan pengetahuan ilmiah inilah yang membedakan guru progresif dari guru konvensional. Semakin hari, tugas guru lebih banyak kepada tugas pengasuhan hampir mengabaikan fungsi pengetahuan sekolah. Freire menulis, guru tidak bisa melakukan aksi protes karena ia dinisbatkan kepada perbandingan guru sebagai ibu.
Guru progresif menggunakan pengetahuan ilmiah bukan sebagai tabungan di "bank", melainkan sebagai alat yang bisa digunakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses penerjemahan ini tak bisa dipisahkan dari kepekaan sosial yang telah dibahas sebelumnya. Guru yang hanya menguasai materi ajar tanpa memahami latar belakang peserta didiknya akan gagal menciptakan transformasi pembelajaran. Sebaliknya, guru yang memahami budaya peserta didik tetapi lemah dalam penguasaan materi juga tidak akan mampu memfasilitasi transformasi intelektual yang dibutuhkan.
Sebuah catatan dari konferensi yang dilaksanakan tahun 1992 menutup buku ini. Ia berpesan agar guru selalu memahami dan bertumbuh. Selalu aktif mengetahui, memahami, dan kemudian menumbuhkan kapasitas dirinya sebagai manusia maupun intelektualnya. Agar kelak bisa ditularkan kepada anak didiknya.
Buku "Pengajar sebagai Pekerja Budaya" bukan sekadar kumpulan surat. Buku ini adalah panduan praktis yang relevan dengan permasalahan pendidikan saat ini. Tantangan pendidikan semakin kompleks. Pemikiran Freire tentang sensitivitas budaya, penguasaan ilmu, dan komitmen humanis menjadi kompas bagi para pendidik. Mereka yang ingin menciptakan pembelajaran bermakna dan transformatif akan menemukan nilai praktis dalam karya ini.
Informasi Buku
Judul Buku: Pengajar sebagai Pekerja Budaya
Penulis: Paulo Freire
Jumlah halaman: 182 hlm
Penerbit: IRCiSoD
Tahun Terbit: Juli 2025
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Resensi Buku