• Buku
  • RESENSI BUKU: Membaca Sejarah Lewat Lain Wajah

RESENSI BUKU: Membaca Sejarah Lewat Lain Wajah

Kumpulan reportase Arif Zulkifli dalam buku “Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan” menghimpun catatan sejarah yang terserak.

Sampul buku Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan karya Arif Zulkifli. (Foto: Muhamad Muflihun)

Penulis Muhamad Muflihun8 Agustus 2025


BandungBergerak.idMengenang mungkin sekadar membuka album foto lama: mengingat bahwa kita pernah berada pada suatu masa, di suatu tempat, dalam sebuah konteks peristiwa. Juga ekspresi rasa syukur bahwa suatu tempat dan suatu masa itu pernah kita tandai dalam sebuah catatan jurnalistik (hal xi).

*

Siapa yang peduli dengan Hasan Tiro, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), setelah perlawanan GAM dibuat merunduk oleh rezim Orde Baru? Siapa pula yang ingin tahu kehidupan terduga “simpatisan komunis” di luar negeri setelah PKI hancur? Atau, perjuangan Aceh setelah dihantam tsunami?

Paling-paling, sejarah kita hanya mencatat, itu pun sedikit, cerita GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang pernah bercokol di Aceh hingga diajak berdamai oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sejarah juga mencatat Tsunami Aceh sebagai bencana alam belaka, sementara perjuangan rakyat Aceh membangun tanahnya kembali tidak pernah diceritakan. Sejarah PKI malah lebih ekstrem, setiap yang berhubungan dengan partai itu selalu dinarasikan sebagai pembangkang.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Animal Farm, Hewan Ternak dengan Pemimpin Babi Haus Kuasa
RESENSI BUKU: Bersama Utati di Bukit Duri
RESENSI BUKU: Menemui Kembali Sains Lewat Carl Sagan

Jurnalisme: Sejarah dari Lain Wajah

Padahal, sejarah tidak hanya dibentuk oleh satu peristiwa saja. Proklamasi Kemerdekaan misalnya. Ia tidak bisa muncul sebagai sejarah jika tidak ditopang tragedi hilangnya Soekarno-Hatta sehari sebelumnya, atau jika ditarik ke belakang lagi, kekalahan Jepang di Pasifik. Meminjam istilah Edward Hallet Carr, sejarah adalah an unending dialogue between the present and the past. Sejarah adalah dialog antara masa lalu dan sekarang.

Artinya, sejarah adalah hal yang berkesinambungan. Dan, mencari kesinambungan itu susah jika sejarah yang diberikan di bangku sekolah hanya sepotong-sepotong. Apalagi untuk sejarah nasional di Indonesia yang mengagung-agungkan glorious past, mengglorifikasi kemenangan masa lalu sembari menganggap pengalaman kelam bangsa sebagai borok yang harus ditutupi.

Bangsa ini butuh alternatif, atau dalam kamus saya, sejarah lewat lain wajah. Selayaknya manusia, sejarah tidak hanya direpresentasikan oleh wajah tunggal. Layaknya berkesinambungan pula, kehidupan masa ini dibentuk oleh masa lalu. Mereka, meminjam judul lagu Festivalist, jiwa-jiwa “komunis” terabaikan yang pernah terlunta-lunta di negeri yang amat jauh adalah orang-orang yang dibentuk oleh sejarah. Mereka pula yang tanahnya rusak dan ditinggalkan karena tsunami adalah masyarakat ciptaan sejarah.

Mungkin maksud Arif Zulkifli memang bukan untuk menulis sejarah, seperti pendapatnya yang menyatakan bahwa jurnalisme sekadar ikhtiar untuk berbagi (hal xviii). Akan tetapi, bukan untuk melebih-lebihkan, Arif Zulkifili adalah Marco Polo abad ke-21 yang menjelajahi halaman demi halaman geografis untuk menceritakan dunia.

Menggerayangi kata demi kata tulisannya bukan hanya sekadar melihat catatan seorang pelancong, tetapi sebuah karya jurnalistik yang benar-benar mengendap dan menjadi sedimen (hal xviii). Dengan kata lain, karyanya tidak mengejar algoritma layaknya trend media sosial, relevansinya hanya bertahan beberapa saat. Dengan kedalaman tulisannya, Arif menawarkan sedimentasi jurnalisme yang bisa digali kapan saja ketika dibutuhkan.

Menghimpun Jejak yang Terserak

“Lihat pemandangan itu,” katanya. “Mirip sekali dengan Aceh.” Lelaki tersebut, Hasan Muhammad di Tiro, ketika itu 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya (hal 3). Begitulah Arif melukiskan Hasan di Tiro, pemimpin sekaligus pendiri GAM yang saat itu mengasingkan diri di apartemennya di Stockholm, Swedia. Tiro, perselisihan internal GAM, hingga kerinduan para pengungsi politik GAM akan tanah Rencong, julukan Aceh, menjadi warna bagi bab pertama.

Hanya dua jam menemui Tiro, dalam artikel “Dua Jam Bersama Hasan Tiro”, Arif berhasil menyuguhkan gambaran detail legenda GAM tersebut. Tentang kebiasaannya menggunakan bahasa Inggris atau Aceh ketika berbicara, sensitivitasnya ketika mendengar nama “Indonesia”, hingga detail-detail fisiknya.

Jika gambaran empiris saja belum utuh, Arif juga menuliskan gagasan abstrak Tiro tentang negara Aceh dan menukil biografi Tiro dari catatan hariannya, The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Dua jam itu juga membawanya menelusuri kembali sejarah GAM yang lain. Tentang darah biru Tiro yang membuatnya memiliki kewajiban moral untuk memerdekakan Aceh dari negara “ilegal” bernama Indonesia. Juga tentang para pengungsi politik yang selalu menghindar jika kebetulan berpapasan dengan orang Indonesia.

Tentang eksil komunis lain lagi. Arif merangkai fragmen yang terserak dari Berlin dan Praha untuk mengungkap pasang surut kehidupan para buangan politik yang sudah berpuluh-puluh tahun meninggalkan Indonesia. Karsono misalnya, pria yang pada 2006 menginjak usia 69 tahun itu telah menghabiskan lebih dari separuh 69-nya di tanah buangan. Ia merupakan aktivis Pemuda Rakyat, organisasi underbow PKI, yang tengah bersekolah di Moskow saat perburuan terhadap orang-orang komunis terjadi.

Kisah Didik beda lagi. Jangankan ikut PKI, terjun ke dunia politik saja tidak pernah dilakukannya. Saat G30S terjadi, ia tengah berkuliah di Ukraina dan aktif di PPI, organisasi yang menghimpun mahasiswa Indonesia di luar negeri. Ia kemudian dibuang ke Odessa, kawasan pinggiran Laut Hitam, akibat menentang Partai Komunis Soviet yang pro-Moskow (berkoeksistensi damai dengan barat) dengan memilih pro-Peking.

Karsono, Didik, dan eksil-eksil lain dengan cerita yang tak kalah unik kemudian bertemu di Jerman. Walaupun ada perbedaan pilihan antara yang memilih Peking dengan Moskow, tetap saja rasa senasib setanah air melebihi batas-batas ideologis itu. Sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, walaupun tidak ada organisasi resmi yang menaungi, mereka tetap terikat dalam satu kesatuan persaudaraan.

Kisah-kisah lain yang ditulis Arif tak kalah membuka mata. Kisah tentang Joni, pensiunan pegawai perkebunan yang rumahnya digilas tsunami Aceh 2004, membuktikan bahwa gelombang raksasa dari Samudra Hindia itu tak hanya tentang bencana alam. Ia adalah pengait antara mereka yang kehilangan keluarga, mereka yang tak pernah saling berkenalan tapi memiliki ikatan batin untuk saling membantu, hingga realisme magis yang menyertai kisah tsunami itu. Percaya tak percaya, human interest yang dibawakan Arif sangat kuat.

Jika tidak cukup dengan tiga kisah di atas, Arif juga menjelajahi setiap jengkal benua dengan keunikannya masing-masing. Arif menjelajahi Hay-on-Wye, surga kecil di Wales yang berpenduduk lima juta judul buku. Guinees Book of Records juga pernah menempelkan predikat kepadanya sebagai kota yang memiliki rak buku terpanjang di dunia (40 kilometer!) dan pusat bursa buku bekas terbesar di dunia.

Arif juga menjengkali bekas kekejaman Penjara Alcatraz, penjara paling menakutkan di Amerika Serikat yang oleh narapidana terakhirnya, Frank Watherman, disebut sebagai tempat terburuk bagi siapapun.

Pada akhirnya, tulisan-tulisan Arif adalah sebuah peta yang tak hanya memberi informasi tentang detail geografis tempat ini-itu di dunia, tetapi juga tempat yang berbicara tentang kisahnya. Mengamini komentar Hikmat Darmawan, peneliti budaya populer, di dalam dunia yang semakin tergesa, buku ini mengajak kita berjalan perlahan menelusuri dunia ini, ke dalam betapa luasnya hidup ini.

Informasi Buku

Judul: Jurnalisme di Luar Algoritma: Reportase dalam Catatan Perjalanan

Penulis: Arif Zulkifli

Penerbit: Tempo Publishing

Terbitan Kedua: Februari 2023

Halaman: xxviii + 350 halaman

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//