RESENSI BUKU: Menemui Kembali Sains Lewat Carl Sagan
Carl Sagan dalam buku “The Demon Haunted World: Sains Penerang Kegelapan” menjelaskan tentang sains sebagai cara berpikir. Membongkar pseudosains dan antisains.
Penulis Arip Apandi7 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Dulu saya mengenal sains sebagai mata pelajaran yang diterangkan secara membosankan oleh guru di kelas. Papan tulis penuh angka-angka dan rumus, saya masih ingat. Seingat saya, tak ada satu pun guru di sekolah yang memberitahu: “Kenapa harus belajar matematika, fisika, kimia, IPS, PPKN? Kenapa? Buat apa? Kenapa? Buat apa?”
Jadi, sewaktu sekolah dulu (SMP hingga SMA), saya merasa nongkrong di kantin itu lebih relevan. Kelas benar-benar tempat yang sangat tidak menyenangkan dan tak jarang menjengkelkan. Panas, disuruh menyalin rumus-rumus tak jelas, menulis angka-angka, seabrek soal PG, presentasi, bikin makalah, buat jurnal, ini dan itu, itu dan ini. Buat apa? Kenapa? Apa pentingnya bagi kehidupan? Tak pernah ada yang menjelaskan.
Sampai tiba pada buku The Demon Haunted World: Sains Penerang Kegelapan karya Carl Sagan yang mengadvokasi bahwa sains bukanlah pelaku utama dari segala kegelisahan pengalaman saya itu. Pertama, bahwa dulu itu memang saya saja yang tolol karena enggan bersabar dan terlalu banyak menggugu keinginan mangkir dari kelas. Yang tersisa sekarang, tentu saja, cuma penyesalan. Kedua, saya juga harus jujur bahwa sepengalaman dan seingat saya, guru-guru di kelas memang tidak pandai dalam menerangkan mata pelajaran. Garing dan seperti mengunyah es batu bulat-bulat.
Dalam pandangan saya dulu sewaktu sekolah, mereka itu bapak-bapak dan ibu-ibu berbaju cokelat yang membosankan (sebelum akhirnya saya tahu kalau mereka ternyata dibebani beban administrasi yang melelahkan dan mungkin itulah yang membuat mereka ogah-ogahan dalam mengajar).
Mengingat-ingat lagi zaman itu, saya lebih memilih membaca buku-buku paman yang ditinggalkan di rumah. Buku-buku yang sudah berdebu dan sobek sana-sini yang terselip di lemari itu lebih terasa menggembirakan ketimbang membaca buku bahan ajar seperti matematika, IPA, IPS, kimia, dsb. Buku-buku berbau apek dan tahi cecak-kecoak milik paman saya itu adalah buku-buku dari kisah Dajal, neraka dan surga, riwayat malaikat dan iblis, hingga hikayat para nabi.
Bagaimanapun, buku-buku itu sangat menyenangkan dan menggembirakan. Ada cerita dan imajinasi. Itulah kenapa buku-buku itu lebih menarik dibandingkan menghafal rumus trapesium –memantik gairah berkhayal dan membayangkan dunia lain yang tak kasat mata. Buku-buku itu mampu bikin merinding dan memberi ketakutan sehingga sempat membuat saya (sewaktu kecil) menjadi parnoan tak jelas. Itulah yang tidak saya dapatkan dari sains sewaktu masih bocil dulu –sensasi yang menghidupkan.
Di waktu yang sama, pada saat masih bocah, ketertarikan pada hal mistis jadi semakin besar. Visi saya terhadap buku-buku yang mencekam dan membahagiakan milik paman itu menjadi semakin kuat lewat pengetahuan-pengetahuan yang saya dapatkan di tempat ngaji. Cerita tentang neraka-surga hingga para nabi menjadi semakin asyik dalam penjelasan guru-guru ngaji. Saya lebih memilih ngaji di masjid ketimbang belajar di sekolah, guru ngaji lebih menyenangkan ketimbang guru di kelas. Yang saya tunggu-tunggu dari sekolah adalah pulang, sementara yang saya tunggu-tunggu dari ngaji adalah penjelasan cerita keajaiban para nabi dan kengerian neraka atau kisah-kisah magis Nabi Khaidir.
Kalau saya pikir-pikir lagi sekarang, si bocil itu (saya) juga tidak berarti membenci sains meskipun ketertarikan pada hal-hal gaib begitu besar. Yang tidak saya sukai itu hanya pada guru sains. Kalau mereka seorang juru masak, maka saya menyebut mereka sebagai chef yang sangat buruk.
Guru fisika (guru saya dulu di kelas) itu adalah seorang bapak-bapak berkumis tebal, berkepala plontos, blasteran Arab, tingginya 160 cm, yang doyan marah-marah tak jelas kepada murid. Guru matematika itu adalah seorang Aa kurus, bermuka culun, nerd, suaranya sangat kecil saat menjelaskan persamaan matematika, sangat tidak energetik, yang hanya menyapa dan dekat dengan teman-teman pintar di kelas (nerd bertemu nerd). Cuma itu yang ada di pikiran saya ketika berbicara sains. Kendati begitu, itu bukan berarti saya benci sains.
Baca Juga: RESENSI BUKU: "Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World", Sudut Pandang Baru Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
RESENSI BUKU: Animal Farm, Hewan Ternak dengan Pemimpin Babi Haus Kuasa
RESENSI BUKU: Bersama Utati di Bukit Duri
Pluto, Kelelawar, dan Awan Diam
Ketakjuban pertama masa kecil saya justru pada sains. Itu terjadi dulu sewaktu saya SD. Jika masa-masa SMP dan SMK saya gandrung pada demonologi atau teori konspirasi alien (berkat dorongan bacaan buku-buku paman), justru saat SD itu saya sangat menyukai sains murni (sebelum akhirnya dipisahkan oleh guru-guru membosankan di SMP dan SMK). Saya senang saat guru SD menjelaskan dengan riang gembira tentang tata surya: bahwa planet Bumi bukanlah satu-satunya planet di tata surya. Ibu guru itu bilang kalau di tata surya ada planet yang namanya Pluto.
"Planet bontot," kata ibu guru. Saya tidak mengerti apa maksudnya saat itu, tapi merasa sangat senang saat ibu guru menunjukkan gambar-gambar planet di dalam buku. Ingat, saat itu internet masih langka. "Ini planet bontot?" kata saya pada ibu guru, "Ya, bontot!" jawabnya. Semenjak itu, saya sering berlama-lama memandangi planet Pluto di buku itu. Yang saya pikirkan saat itu, saya masih ingat, bahwa planet Pluto itu kesepian karena jaraknya yang jauh dengan planet-planet lainnya. Pelajaran pun berganti dan memberikan keanehan lain kepada saya saat masih kanak-kanak. Selain planet Pluto, saya juga sangat heran saat ibu guru berkata bahwa ada hewan yang tidak melihat dalam hidupnya dengan mata, "Tapi dengan ekolokasi," jelas ibu guru. “Apa maksudnya? Kok begitu? Kok enggak pakai mata? Aneh. Aneh. Aneh,” pikir saya saat itu.
Kemudian, saya mempunyai suatu ingatan yang sangat berkesan sampai sekarang terhadap sains. Peristiwanya masih saat saya SD. Saat itu saya duduk sendirian untuk beristirahat setelah pelajaran olah raga. Diam-diam saya mendengarkan isi percakapan teman-teman sekelas yang juga sedang beristirahat tak jauh di samping saya.
Mereka bertiga. Namanya Reka, Nida, dan Syaiful. Tiga murid pintar di kelas saya yang kerap mengisi selot ranking satu, dua, dan tiga. Para pemuncak klasemen di akhir musim. Saya tidak dekat dengan mereka sebab mereka tidak suka main layang-layang. Selagi saya duduk sambil minum Bintang Sobo, saya mendengar celetukan Reka, atau mungkin lebih tepatnya mengajukan pertanyaan kepada Nida dan Syaiful. "Menurut kalian," kata Reka sambil menunjuk langit yang saat itu begitu cerah dan berawan, "Apakah awan yang bergerak atau kita yang bergerak?"
Nida dan Syaiful diam sejenak dan kemudian melihat langit. Pun saya. Saat itu saya melihat awanlah yang bergerak, gumpalan awan-awan itu bentuknya makin lama makin berubah. Penglihatan saya mengatakan seperti itu. "Awan yang bergerak," jawab Nida, yang mewakili pikiran saya. Akan tetapi, saat itu, Reka memberikan jawaban yang sangat mengejutkan. "Salah. Kita yang bergerak, lho," Saya sangat terkejut mendengar itu. "Sebenarnya awan di sana itu diam," jelas Reka dengan serius sambil menunjuk-nunjuk lazuardi, "Kitalah yang bergerak karena Bumi berotasi. Kita yang berada di Bumi ini berputar. Awan yang berubah itu, yang sepintas kelihatannya, berubah karena kita melihatnya dari sisi berbeda, efek rotasi Bumi."
Saya ingat itu. Sangat berkesan sekali jawaban Reka. Jawaban anak SD yang membuat anak SD lainnya yang kecil dan imut itu (saya) hadir seperti keajaiban. Aneh. Magis. Sangat mengesankan. Bagaimana tidak, saya jadi bingung sendiri ternyata penglihatan saya bisa sangat bermasalah. Pandangan mata ternyata tidak selalu memberikan kebenaran. Realitas yang memasuki mata ternyata bisa memberikan salah kaprah. Yang kelihatannya A, ternyata kebenarannya Z.
Tahun demi tahun berlalu, kami berubah dari anak kecil yang lucu dan penuh keseriusan (curiosity) dan ketakjuban (wonder) menjadi manusia yang payah. Sains hanya sekadar hafalan. Hari-hari kita kemudian nyaris makin mengenaskan karena diseret habis-habisan pada persoalan material, "yang penting adalah duit sekarang”, hingga hedonisme tanpa ampun.
Oleh karena itu, buku The Demon Haunted World: Sains Penerang Kegelapan karya Carl Sagan seperti pertemuan kedua yang sangat menggembirakan dan menyenangkan antara saya dan sains. Pertemuan pertamanya terjadi dalam percakapan Reka dan teman-temannya (yang saya nguping diam-diam).
Lewat bukunya ini, Carl Sagan menyeka pemahaman masa lalu saya tentang sains. Sains tidaklah membosankan dan justru sangat menggembirakan. Jauh lebih dari itu, sains sangat penting. Terkait pertanyaan, kenapa harus bersains? Di sinilah saya mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan.
Carl Sagan memberikan pemahaman sains yang berbeda dari sains yang saya mengerti selama ini. Sains bukan cuma sekadar matematika atau fisika, bukan sekadar angka-angka atau hafalan rumus-rumus, atau penjelasan menjemukan guru-guru dalam ruang kelas. Carl Sagan (hlm. 29) menulis: "Sains bukan sekadar kumpulan pengetahuan; sains adalah cara berpikir."
Cara berpikir di sini tentunya berbeda dengan cara berpikir yang ditawarkan oleh cara berpikir mistis, atau cara berpikir orang-orang asbun, atau cara berpikir orang mabuk. Cara berpikir sains, dalam penjelasan Carl Sagan, adalah cara berpikir yang dilandasi keseriusan (curiosity) dan ketakjuban (wonder) di hadapan realitas. Sementara itu, perlengkapannya adalah pemikiran skeptis dan kritis guna mencapai kebenaran.

Pseudosains dan Antisains
Dunia ini dipenuhi dengan masalah. Kita akan selalu mendapati masalah sepanjang kita ada di dunia, entah itu masalah kecil atau besar. Permasalahan-permasalahan seperti sakit kepala hingga pandemi Covid-19 atau krisis iklim. Permasalahan menuntut adanya pemecahan, ikhtiar yang tepat, ataupun solusi yang keluar dari kegelapan. Keliru dalam pemecahan masalah bisa berakibat fatal atau sekurang-sekurangnya malah memperkeruh keadaan.
Mari kita ambil contoh dari dunia medis. Kisah ini dituturkan oleh Siddhartha Mukherjee, seorang asisten profesor kedokteran dan spesialis kanker di Amerika Serikat. Dalam dunia kedokteran, penanganan masalah, dalam hal ini penyakit, merupakan hal krusial yang tak bisa ditangani asal-asalan. Pada 19 Mei 2004, seorang guru TK bernama Carla Reed mengalami permasalahan medis di tubuhnya. Ia tiba-tiba mengalami sakit kepala yang tak terperi, tiba-tiba mendapati punggungnya memar. Ia tak bisa berjalan karena tubuhnya sangat lemas selama berbulan-bulan dan mendapati gusinya tiba-tiba berwarna putih.
Carla kemudian pergi ke dokter umum untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Sialnya, sang dokter justru kebingungan dan tidak mengetahui penyakit apa sebenarnya yang menimpa Carla. Dokter itu secara serampangan (kalau bukan asbun) menyebut penyakit Carla itu migren dan memintanya untuk meminum aspirin. Hasilnya? Aspirin justru makin memperparah pendarahan di gusi Carla yang terus memutih. Si dokter tak tahu kalau Carla ternyata mengidap leukemia.
Permasalahan Carla justru makin pelik kalau kita mau menariknya pada solusi di luar sains medis itu sendiri. Di sinilah apa menjadi salah satu fokus Carl Sagan dalam bukunya, yakni pseudosains dan antisains.
Carl Sagan dalam bukunya ini dengan asyik memaparkan bahwa waham telah menguasai masyarakat Amerika Serikat pada zamannya. Waham tersebut adalah fanatisme masyarakat Amerika terhadap alien hingga kepercayaan bumi datar. Bagi Carl Sagan, kepercayaan terhadap alien atau bumi datar itu lebih merupakan gambaran psikologis. Itulah pseudosains. Pengidap pseudosains biasanya melemparkan pertanyaan "Apakah Anda percaya alien?" Sementara itu, pertanyaan sains justru, "Seberapa kuat bukti bahwa ada alien di luar Bumi?" Sains menyoroti bukti dan bukan validasi kebenaran.
Kesulitannya adalah justru ketika bukti-bukti dikemukakan. Pseudosains memberikan bukti dan kemudian berkata, "Ini buktinya, jadi saya benar, kan'?" Pada awalnya, seorang saintis mungkin akan kagum terheran-heran –curiosity dan wonder.
Namun, seperti yang disinggung sebelumnya, sains itu cara berpikir yang berbeda. Skeptisisme dan kritisisme segera menyusul ketakjuban dan keheranan. Artinya, bukti-bukti pun harus diuji. Semua argumen harus ditanggapi dengan nalar kritis tanpa ampun. Sains mencari kebenaran sehingga persoalannya bukan lagi percaya atau tidak, melainkan benar atau salah.
"Kehati-hatian istimewa diperlukan ketika taruhannya tinggi. Kita tidak wajib menetapkan pikiran sebelum ada bukti. Kita boleh bersikap tidak yakin," tulis Carl Sagan (hlm. 202).
Sikap skeptis dan kritis merupakan ciri khas menonjol dalam sains sebagai cara berpikir. Tujuannya jelas demi mengantisipasi omong kosong. Jangan lupakan kasus Carla Reed di mana sikap skeptis dan kritis benar-benar sangat penting. Jangan lupakan juga betapa banyaknya omong kosong yang datang dari Istana Negara. Hu-hu.
"Menerima omong kosong (baloney) dengan lugu bisa menguras uang Anda; itulah yang PT. Barnum maksudkan ketika dia berkata 'Setiap menit ada orang bego yang terlahir.' Namun omong kosong bisa jadi jauh lebih berbahaya, dan ketika pemerintah dan masyarakat kehilangan kemampuan berpikir kritis, hasil akhirnya bisa berupa bencana, betapa pun bersimpatinya kita kepada orang-orang yang membeli omong kosong itu," (hlm. 237).
Lebih lanjut, Carl Sagan menyebut sains sebagai cara berpikir ini bisa menjadi suatu seni untuk mendeteksi omong kosong. Suatu seni untuk "menyusun dan memahami argumen hasil penalaran, dan yang terpenting, mengenali argumen yang keliru atau bohong," (hlm. 237). Dan dalam buku ini, Carl Sagan memaparkan secara lugas dan gamblang tentang sembilan teknik mendeteksi omong kosong dari klaim-klaim pengetahuan. Selain itu, Carl Sagan juga memberikan pantangan bagi mereka yang hendak terjun ke dalam dunia sains. Ada dua puluh hal yang tidak boleh dilakukan dalam upaya mencari kebenaran. Apa saja? Silakan baca sendiri bukunya. Beli bukunya yang ori, jangan yang bajakan.
Selain menghadapi pseudosains (argumen asbun tanpa bukti memadai), Carl Sagan juga mengabarkan bahwa sains mempunyai tantangan lain, yakni antisains.
Antisains adalah sikap atau pandangan atau ideologi yang hadir untuk mengerdilkan sains. Carl Sagan menyebut kaum relativisme dan pascamodernisme sebagai eksponen antisains. Singkatnya, mereka menolak objektivitas dan tak memedulikan bukti-bukti terukur (ingat Menteri Kebudayaan Fadli Zon?). Antisains sebagai suatu gerakan hadir menyerang keterbatasan dan kekurangan sains. Mereka menuding sains habis-habisan sebagai salah satu aktor yang berperan besar dalam peristiwa-peristiwa mematikan dalam sejarah. Peran sains dalam Perang Dunia II, misalnya. Dari bom atom besutan Proyek Manhattan, politisasi Darwinian, hingga contoh produk-produk sains lainnya dinilai sebagai bukti bahwa sains bukan barang netral. Saintis seolah-olah tak mengenal dosa. Sampai di sini, penjelasan Carl Sagan tentang sains bergerak lebih luas pada hal-hal yang politis dan etis.
Carl Sagan merespons kritikan-kritikan terhadap sains dengan terbuka, menolaknya dengan terus menegaskan bahwa urusan sains adalah menegakkan fakta yang teramati dalam tatanan alam semesta. Sains tidak berurusan dengan asumsi khas kaum reduksionis atau pascamodernis. Kendati begitu, Carl Sagan mengakui:
"Namun bukan berarti sains tidak punya tanggung jawab atas penyalahgunaan temuan-temuannya. Sains memiliki tanggung jawab yang sangat besar, dan semakin berdaya produk-produknya maka semakin besar tanggung jawabnya," (hlm. 323).
Dengan itu Carl Sagan berseru kepada para saintis untuk juga berani mengemban tanggung jawab moral. Namun, Carl Sagan menolak jika kritikan terhadap sains dimaksudkan untuk melenyapkan sains itu sendiri. Carl Sagan teguh pendirian bahwa sains tetap memiliki ganjaran berkah yang berlipat-lipat dan hanya itulah yang kita punya untuk menghadapi kegelapan dunia yang durjana.
Bagi Carl Sagan, sains merupakan alat yang jitu dan pamungkas untuk mengatasi realitas yang penuh kecamuk dan kecam. Kenyataan kejam seperti penyakit –dari mulai TBC, kolera, hingga cacar– terbukti dapat diselesaikan oleh sains, sehingga dapat meningkatkan harapan hidup manusia. Adakah permasalahan kelam dalam sejarah yang dituntaskan oleh doa atau ritual klenik semata?
Sains memang berbicara lebih banyak dalam sejarah kemajuan peradaban manusia. Oleh karena itu, sains adalah ikhtiar yang semestinya disandingkan bersamaan dengan doa-doa.
"Terapi-terapi saintifik ratusan atau ribuan kali lebih efektif daripada alternatif-alternatif lainnya. Inilah tawaran berharga sains kepada umat manusia—tak kurang daripada kehidupan itu sendiri sebagai hadiah," (hlm. 11).
Antibaca
Setelah membaca buku Carl Sagan ini, kita bakal paham bahwa betapa berbahayanya laporan yang menyatakan penurunan skor PISA negara kita yang tercinta ini. Skor PISA sebesar 359 membuat sains membumbung tinggi di atas langit bagi Indonesia. Carl Sagan menyebut sains sebagai jalan menuju kebebasan; sains membebaskan manusia dari perbudakan. Penjara kebodohan adalah harga mutlak bagi bangsa yang tidak berteman sains dan buta aksara. Namun, ada hal menarik dari Carl Sagan yang patut disimak ketika ia memaparkan situasi dan kondisi Amerika pada zaman kebodohan (Amerika di era 1860-an):
"Ada satu aturan yang paling mencolok: budak-budak harus tetap tenang tuna aksara. Para tiran dan otokrat selalu paham bahwa melek aksara, belajar buku, surat kabar berpotensi bahaya. Semua itu bisa memasukkan gagasan-gagasan kemerdekaan dan bahkan pemberontakan dalam kepala rakyat," (hlm. 415).
Carl Sagan kemudian mengutip tulisan Gubernur Koloni Virginia Kerajaan Britania (tahun 1671). Begini bunyinya:
"Syukur kepada Tuhan tidak ada sekolah gratis maupun percetakan; dan saya harap kita tidak akan memiliki [keduanya] selama seratus tahun [ke depan]; sebab pembelajaran menimbulkan ketidakpatuhan, kesesatan, dan perpecahan dunia, sementara percetakan telah menyebarluaskan semua itu berikut fitnah terhadap pemerintahan terbaik. Semoga Tuhan menjauhkan kita dari yang demikian!" (hlm. 415).
Dengan itu, tidakkah kita curiga kalau skor PISA Indonesia yang jeblok itu merupakan upaya sengaja pemerintah? Tidakkah kita curiga kalau rakyat Indonesia memang sengaja dijegal untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas? Tidakkah kita curiga kalau pemerintah adalah aktor utama yang membuat rakyat begitu jauh dari sains dan aksara? Tidakkah kita curiga kalau pemerintah itu semacam Gubernur Koloni Virginia Kerajaan Britania?
"Ada banyak jenis perbudakan dan banyak jenis kemerdekaan. Namun, membaca tetap merupakan jalannya," tulis Carl Sagan (hlm. 416).
Pemerintah Indonesia boleh saja membantah itu dengan (biasanya) penjelasan asbun tanpa bukti. Bagaimanapun, fakta dan data jelas terpampang di depan mata. Skor PISA Indonesia longsor dan cuma enam buku dalam setahun. Tidakkah dengan itu kita berjalan dalam perbudakan?
Carl Sagan kemudian mengutip kata-kata Frederick Douglass, seorang tokoh penting dalam sejarah pembebasan budak di Amerika. Bunyinya:
"[Perbudakan] mengerangkeng kemajuan kalian, perbudakan adalah musuh perbaikan; musuh bebuyutan pendidikan; perbudakan membina keangkuhan; perbudakan melahirkan kemalasan; perbudakan mendorong kebejatan; perbudakan melindungi kejahatan; perbudakan adalah kutukan di Bumi yang mendukungnya, namun tetap saja kalian bergantung kepadanya seolah-olah perbudakan adalah jangkar tambatan semua harapan," (hlm. 420).
Informasi Buku
Judul Buku: The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan
Penulis: Carl Sagan
Alih Bahasa: Damaring Tyas Wulandari Palar
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan: Kelima, Maret 2025
Jumlah Halaman: 501
ISBN: 978-602-481-043-6
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB