• Buku
  • RESENSI BUKU: Haruskah Kita Tetap Diam Ketika Korban Menggugat dalam Ritus Panjang untuk Simon

RESENSI BUKU: Haruskah Kita Tetap Diam Ketika Korban Menggugat dalam Ritus Panjang untuk Simon

Novel "Ritus Panjang untuk Simon" karya Martin Aleida bercerita tentang aktivis BTI korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur yang berani bersuara.

Sampul buku Ritus Panjang untuk Simon karya Martin Aleida. (Foto: M Roby Septiyan)

Penulis M Roby Septiyan10 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Sosok mirip potret Chairil Anwar berlatar lemafa sedang menombak koteklama pada senja hari menjadi sampul novel ini. Namun, tidak ada Chairil di dalamnya. Tradisi memburu paus di Lamalera pun bukan inti ceritanya. Seperti kata Martin Aleida sendiri ketika terakhir kami bertemu di Beranda Rakyat Garuda, “Hampir dari keseluruhan karya saya selalu berkait 1965.”

Dalam novel ini, diceritakan Simon aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) di Nusa Tenggara Timur yang selamat dari Genosida 1965. Sebagai aktivis BTI, Simon tidak memilih jalan aksi sepihak dalam perjuangan kaum tani tanpa tanah. Simon lebih memilih jalan membangun koperasi karena tidak ada monopoli tanah di sana, hanya gundukan batu cadas berdesakan dengan pasir.

Simon berhasil membuat warga sejahtera dalam perjuangannya. Perempuan dapat menenun dalam waktu luangnya dan laki-laki dapat menyeberang dengan perahu Simon ke pulau seberang mengambil air yang menjadi barang langka di sana. Sementara itu, penjualan hasil tani dilakukan oleh koperasi sehingga terhindar dari rugi. Namun, keadaannya tidak berlangsung lama. Angin busuk yang menghembus dari Sumatra ke Jawa, sampai juga ke Nusa Tenggara.

Simon diadili di gereja. Beberapa perempuan membela. Namun, dalam tekanan, gereja memberi daftar nama yang harus mati kepada tentara. Warga dipaksa menggali kubur yang besar. Perempuan pembela Simon menjadi korban juga, sementara Simon selamat karena peluru tidak mengenai kepalanya. Ia berlari, kemudian hari esok adalah kelana sampai akhirnya dapat kembali meski wajib lapor dan dicap ET (Eks Tapol) dalam kartu tanda penduduknya.

Tidak butuh waktu lebih dari sehari untuk membaca habis novel ini bagi saya. Namun, setelahnya adalah perenungan tentang apa yang saya dapat dan perbuat sampai saat ini. Barangkali bukan hanya saya, kebanyakan orang yang tumbuh besar di Indonesia mempunyai pengalaman yang sama atas peristiwa yang bermula pada 1965. Mengingatkan saya pada dua poster yang sempat tertempel di kampus. Isinya sebagian dari sudut pandang yang sengaja diarusutamakan untuk masyarakat oleh penguasa atas Genosida 1965: (1) 10 NYAWA MEREKA LEBIH BERHARGA DARIPADA 500.000 NYAWA KOMUNIS #FUCKCOMMUNISM  (Terdapat foto 10 orang korban G30S dari kalangan bersenjata juga potret kekerasan fisik 1965 dalam poster pertama); (2) YES MY COUNTRY MASSACRED OVER 500.000 COMMUNIST AND WE’LL FUCKING DO IT AGAIN #BETTERDEADTHENREAD (Terdapat foto Soeharto dengan ukuran yang dominan dalam poster kedua)

Selesai membaca Ritus Panjang untuk Simon, saya lebih mempertanyakan lagi propaganda-propaganda yang dibuat penguasa untuk lari dari tanggung jawab atas Genosida 1965-1966. Termasuk kedua ungkapan (dalam poster) di atas. Kenapa 500.000 dianggap tidak atau kurang berharga? Bagaimana orang sebanyak itu dinyatakan komunis? Kenapa semua itu harus dilakukan lagi? Dalam novel ini, saya menemukan suara korban yang telah lama dihilangkan.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Bersama Utati di Bukit Duri
RESENSI BUKU: Menemui Kembali Sains Lewat Carl Sagan
RESENSI BUKU: Membaca Sejarah Lewat Lain Wajah

Sedari Simon, Menggugat Khayalan Bejat

Nama tokoh utama novel ini mengingatkan pada Simon Petrus atau Simon orang Zelot yang saya kenal lewat lagu sekolah minggu sebagai dua di antara 12 murid Yesus. Selain itu, judulnya pun menggunakan kata ritus yang bermakna tata cara dalam upacara keagamaan. Semacam ada pesan religiusitas yang ingin disampaikan dan semakin terasa ketika sampai pada:

“Simon, sebagaimana yang dinarasikan di dalam kitab suci, secara tak sengaja berada di tepi jalan di mana Yesus Kristus yang berlumur darah sedang mengusung salibnya sendiri di jalur menuju padang pembinasaan Golgotta. Simon diseret dari tepi jalan kematian dan dipaksa oleh gerombolan preman Pilatus untuk ikut memikul salib yang sedang dipanggul Yesus dengan kucuran darah dari luka yang tak tertahankan manusia, namun tidak dia rasakan.” (hlm. 19)

Kesan tegasnya adalah menggugat propaganda penguasa: komunis adalah ateis. Selalu saja itu yang menjadi salah satu legitimasi Genosida 1965-1966. Seolah-olah mereka yang di cap PKI tidak bermoral dan pantas untuk dibinasakan. Lebih dari itu, melakukan pembasmian seperti menjadi keharusan dengan tujuan mulia agar tidak terjadi kudeta yang dianggap diketahui oleh semua orang yang di-PKI-kan.

Semua itu digugat utamanya lewat dialog-dialog tokoh dalam novel. Ketika para lelaki membawa air dari seberang setelah Simon mengabarkan adanya pembantaian, “Di sini tidak ada komunis yang tidak punya agama… Yang ada Partai Katolik, juga Kristen. Partai orang baek-baek. Sama-sama K tapi Katolik atau Kristen, bukan Komunis.” (hlm. 41)

Dialog berlanjut untuk mematahkan demonisasi pada orang yang di-PKI-kan. “Cuma BTI yang ada di sini, setahu saya. Dan dia itu tidak jahat…” (hlm. 41). Semua pembelaan ini memuncak pada pembelaan para perempuan di gereja, “Demi Allah, Pak Simon bukan komunis yang membenci kita yang punya Tuhan. Bapa yang di Surga tau itu. Sebab kalau dia tidak percaya pada Allah, pintu gereja kita ini tidak akan terbuka untuk dia masuk pagi ini.” (hlm. 51)

Gugatan lebih menubuh lagi pada ucapan Simon setelah bebas dari maut, “Terima kasih. Hanya Engkau-lah juru selamatku.” (hlm. 5). Barangkali ini semua bertolak belakang dengan pengetahuan yang kita dapatkan dari penguasa. Begitulah propaganda terjadi sebagaimana tindakan Genosida 1965-1966 kelewat berlebihan dan disebut berdalih menggunakan khayalan bejat (malicious fantasy) dalam putusan IPT 65.

Belajar dari Korban untuk Tidak Terus Diam

“Semua menahan diri dari sorak-sorai. Meredam kebahagiaan untuk tidak memancing dendam, yang mungkin masih tumbuh di hati penguasa dan mereka yang sesat imannya, yang kecil hati, karena gagal membinasakan Simon tempo hari.” Bagian ini mengingatkan percakapan saya dengan Ibu mengenai buyut yang menjadi korban gerakan DI/TII.

Obrolan itu sampai pada pertanyaan saya, bagaimana dengan orang-orang tahun 1965? Jawabannya singkat: bukan urusan kita. Barangkali bukan itu jawaban tepatnya, ucapan itu hanya selubung. Seperti keluarga Simon, kebanyakan dari kita memilih bungkam karena takut. Teror Genosida 1965-1966 memanjang sampai hari ini sebagaimana Soeharto menganggap situasi darurat pasca-1965 yang tidak pernah berakhir (Roosa, 14:2008).

Hening ini mencekam. Melanggengkan impunitas: ketiadaan penghukuman atau tidak dimintai pertanggungjawaban (dalam hal ini negara) atas kejahatan yang dilakukannya. Mungkin sebelumnya orang-orang pada 1965, nanti barangkali kita menjadi Simon atau bahkan korban yang hanya dianggap sederet angka tanpa pernah dianggap manusia.

Tidak mudah memang, saya pun merasa begitu. Kita semua harus lebih banyak lagi belajar pada korban yang penuh keberanian untuk berkata-kata dan memihak pada kebenaran. Oleh karena itu, kepada Martin Aleida dan orang-orang yang tidak memilih diam dan terus melawan, saya sangat hormat.

Informasi Buku

Judul: Ritus Panjang untuk Simon

Penulis: Martin Aleida

Penerbit: Somalaing Art Studio

Kota terbit: Jakarta Timur

Tahun terbit: 2023

Cetakan: Cetakan I

Ketebalan: 107 halaman

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//