RESENSI BUKU: Menjadi Intelektual yang Diimpikan Edward Said
Buku Politik Pengetahuan (2021) bisa menjadi buku awal yang tepat untuk mengetahui sedikit-banyak tentang pemikiran Edward Said.
Penulis Farhan M Adyatma13 September 2025
BandungBergerak.id – "Bersaksi tentang sejarah penindasan itu perlu, tetapi itu tidak cukup jika sejarah itu tidak diarahkan menuju proses intelektual dan diuniversalkan untuk mencakup semua orang yang menderita." — Edward Said
Berbicara tentang seorang pemikir yang paling berpengaruh di akhir abad ke-20, maka salah satu nama yang kemungkinan besar disebut adalah Edward Said (1935-2003). Edward Said adalah seorang akademisi Amerika-Palestina yang terkenal karena bukunya yang berjudul Orientalism (1978). Buku itulah yang membuat namanya dikenal luas dan membuatnya dinobatkan sebagai pemikir paling berpengaruh di akhir abad ke-20.
Buku Politik Pengetahuan (2021) yang diterbitkan oleh Penerbit Circa ini mungkin bisa menjadi buku awal yang tepat untuk mengetahui sedikit-banyak tentang pemikiran Edward Said. Buku Politik Pengetahuan ini berisi tujuh esai karya Edward Said yang diambil dari buku Reflections on Exile and Other Essays (2000).
Baca Juga: RESENSI BUKU: Haruskah Kita Tetap Diam Ketika Korban Menggugat dalam Ritus Panjang untuk Simon
RESENSI BUKU: Upaya Memahami Peran Siauw Giok Tjhan dan Baperki
RESENSI BUKU: Paulo Freire dan Guru sebagai Pekerja Budaya
Nasionalisme di Persimpangan Jalan
Dalam esai pertama yang berjudul Politik Pengetahuan, Edward Said menjelaskan bagaimana imperialisme Barat –terutama sejak akhir abad ke-18– bisa memunculkan politik identitas nasional pada bangsa terjajah yang berujung pada nasionalisme. Namun, pada esai yang sama, Said juga menjelaskan bagaimana nasionalisme pada bangsa terjajah juga bisa berujung pada chauvinisme.
Said juga menjelaskan tentang Frantz Fanon yang kritis terhadap "nasionalisme yang tidak terkendali". Fanon mengkritik pemerintahan pascakolonial yang semuanya mengkhotbahkan kedaulatan orang-orang yang baru merdeka dari satu atau beberapa negara Dunia Ketiga baru, tetapi justru mempraktikkan politik, ekonomi, dan penindasan baru yang sama jahatnya dengan pemerintahan kolonial sebelumnya (hlm. 11).
Oleh karena itu, bagi Said, perlu adanya penyatuan kembali semua orang dan kebudayaan-kebudayaan –yang dahulu dibatasi dan disusutkan ke pinggiran– bersama seluruh umat manusia lainnya (hlm. 12). Meminjam ungkapan Aimé Césaire: "Tidak ada ras yang memiliki monopoli keindahan, kecerdasan, kekuatan, dan ada tempat untuk semua di pertemuan kemenangan."
Lebih ekstrem lagi, Said juga mengkritik bahwa penegasan kembali identitas adalah sebuah tindakan yang dangkal. Said mengartikan tindakan penegasan kembali identitas tersebut tidak lebih dari sekadar tindakan untuk mencari perhatian, sama halnya seperti perhatian yang diberikan seseorang di ruangan yang penuh sesak saat absen (hlm. 13).
Bagi Said, sebagai seorang intelektual, harusnya menjadi seperti migran atau pelancong. Maksud dari "pelancong" sendiri adalah seorang intelektual harus meninggalkan identitasnya dengan harapan untuk memahami dan bahkan mungkin menerima lebih dari satu pengetahuan. Seorang intelektual harus selalu memandang akademi sebagai tempat untuk berkelana dan harus betah di segala tempat yang ditemui serta dilalui selama berkelana (hlm. 54).
Intelektual sebagai pelancong, harus mencitrakan bahwa dirinya tidak bergantung pada kekuasaan tetapi pada gerak, pada kemauan untuk pergi ke dunia yang berbeda, menggunakan idiom yang berbeda, serta memahami berbagai penyamaran, topeng, dan retorika. Pelancong harus meninggalkan klaim rutinitas adat untuk hidup dalam ritme dan ritual baru (hlm. 55).
Said juga menambahkan bahwa intelektual sebagai pelancong harus menyeberang, melintasi wilayah, dan meninggalkan posisi tetap sepanjang waktu (hlm. 55). Bagi Said, hal tersebut merupakan kebebasan akademis yang tertinggi. Hal itu karena intelektual sebagai pelancong akan memiliki hal-hal lain untuk dipikirkan serta dinikmati ketimbang memikirkan diri sendiri dan wilayah asal.
"Hal-hal lain" yang dimaksud di sini itu jauh lebih mengesankan serta jauh lebih berharga untuk dipelajari dan dihormati. Pada akhirnya, bagi Said, bergabung dengan dunia akademis berarti memasuki pencarian pengetahuan dan kebebasan tanpa henti.
Kritik untuk Tesis Huntington
Pada esai terakhirnya yang berjudul Benturan Definisi-Definisi, Said menguliti dan mengkritik habis esai karya Samuel P. Huntington yang nantinya akan menjadi sebuah buku yang sangat terkenal dengan judul The Clash of Civilizations (1996). Dalam esai karya Huntington (selanjutnya disebut tesis Huntington) tersebut, Huntington menyatakan bahwa akan ada "benturan peradaban" yang tidak terhindarkan antara peradaban Barat dengan peradaban-peradaban dunia lainnya.
Bagi Said, tesis Huntington tersebut tidak didasarkan pada realitas, melainkan didasarkan pada kepentingan militer dan ekonomi Amerika Serikat. Said dengan tegas menyatakan bahwa tesis Huntington tersebut merupakan hasutan ketimbang hasil riset tentang fakta-fakta mengenai peradaban dunia. Said menambahkan bahwa pada kenyataannya, peradaban-peradaban dunia saling terbuka satu sama lain dan membuka kesempatan untuk saling memengaruhi serta memungkinkan kehidupan bersama yang damai (hlm. x).
Melalui tujuh esai Edward Said yang ada dalam buku Politik Pengetahuan ini, pembaca diajak untuk menjelajahi mulai dari topik-topik politik, sejarah, budaya, hingga sastra. Selain itu, pembaca juga diajak untuk membangun kesadarannya mengenai tanggung jawab sebagai seorang intelektual kepada masyarakat dan bangsa sendiri tanpa terjatuh ke dalam nasionalisme chauvinistik.
Pada akhirnya, buku Politik Pengetahuan ini bukan hanya sekadar menjadi buku awal untuk memahami pemikiran Edward Said. Buku ini juga bisa menjadi pengingat bahwa ilmu pengetahuan dan intelektualitas tidak boleh terjebak pada batas-batas sempit identitas maupun kepentingan politik tertentu. Mengamini ungkapan Aimé Césaire: "tidak ada ras yang memiliki monopoli keindahan, kecerdasan, kekuatan, dan ada tempat untuk semua di pertemuan kemenangan."
Informasi Buku
Judul buku: Politik Pengetahuan
Penulis: Edward Said
Penerjemah: Saut Pasaribu
Penerbit: Circa
Tanggal terbit: Maret 2021
Tebal halaman: xiv + 214 halaman
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB