RESENSI BUKU: Kapitalisme, Kelas, dan Perubahan Agraria di Perdesaan
Petani miskin mengalami tekanan dapat terus mempertahankan sepetak sawah, sementara pada sisi lain desakan kapitalisme menuntut mereka untuk melepaskan tanahnya.
Penulis Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila 15 September 2025
BandungBergerak - Sebagian orang memandang perdesaan sebagai entitas yang guyub dan solid. Perdesaan dilihat sebagai tempat di mana individu, rumah tangga, dan kelompok memiliki relasi yang bersifat solider. Jika dilihat dari kaca mata ini, hampir tak menemukan problem yang serius dalam kehidupan perdesaan. Perdesaan seolah jauh dari berbagai macam persoalan dan tak memiliki konflik di antara sesama warga. Apakah perdesaan memang seperti itu?
Artikel resensi ini berargumen, perdesaan bukanlah entitas yang lepas dari dinamika dalam dirinya. Tetapi, perdesaan merupakan medan dan arena yang mana berbagai dinamika berdampingan dengan kehidupan masyarakat. Dinamika ini bukanlah proses yang alamiah (natural) atau terjadi secara tiba-tiba. Melainkan, ia merupakan respons atas relasi kelas karena desakan kapitalisme yang membutuhkan ruang di perdesaan. Bagaimana proses semacam itu berlangsung di perdesaan?
Sementara itu, pada bagian penutup artikel ini, saya mengaitkan pemikiran Henry Bernstein dengan konteks kehidupan petani di Flores, yang mengalami dinamika kelas akibat perubahan agraria yang terjadi. Salah satu contohnya, terjadinya migrasi untuk mencari pekerjaan di kota oleh sebagian petani di Flores demi menyambung hidup. Apakah pilihan bermigrasi sebatas pada kepentingan untuk memenuhi tuntutan hidup, atau merupakan respons dari konteks ekonomi politik agraria di Flores yang dinamis?
Kapitalisme di Perdesaan dan Pembentukan Kelas
Menurut Henry Bernstein, perubahan agraria mesti meletakkan analisis yang berpusat pada kapitalisme dan perkembangannya. “Kapitalisme yang saya maksudkan adalah sistem produksi dan reproduksi yang didasarkan pada relasi sosial antara kapital dan tenaga kerja: kapital mengeksploitasi buruh guna mengejar laba dan akumulasi, sementara buruh harus bekerja untuk kapital agar bisa bertahan hidup” [hlm. 1]. Maka menjadi jelas, kapitalisme di perdesaan membutuhkan ruang produksi dan reproduksi yang menuntut adanya “diferensiasi kelas”, karena “relasi sosial antara kapital dan tenaga kerja” difasilitasi prosesnya lewat mekanisme eksploitatif.
Untuk memahami proses berlangsungnya eksploitasi di kalangan petani di perdesaan dan perubahan agraria yang menyertainya, Bernstein menempatkan dinamika kelas (class dynamics) dalam jantung analisisnya. Namun, Bernstein memulai bahasan buku ini dengan pertanyaan pokok: “Siapakah petani saat ini?”. Menurut Bernstein, “[….] tidak semua petani adalah petani sepanjang waktu. Banyak orang desa tidak memenuhi syarat sebagai “petani” dalam pengertian yang kaku karena mereka tidak punya tanah atau alat-alat untuk bertani, atau terlibat hanya dalam “usaha tani marginal” [hlm. 3 – 4].
Mengikuti penjelasan Bernstein ini, kita dapat menyimpulkan, petani ialah mereka yang memiliki tanah dan alat-alat produksi untuk bertani, yang memungkinkan mereka mampu menghasilkan “nilai guna dan nilai pakai”. Dalam kehidupan bertani, para petani dituntut untuk berproduksi dengan apa yang mereka miliki seperti tanah maupun alat-alat produksi. Di sini, kata kuncinya ialah aktivitas produksi, yang tujuannya menghasilkan “nilai” bagi kehidupan petani. Secara umum dan sederhana, Bernstein mendefinisikan produksi sebagai “proses di mana tenaga kerja digunakan untuk mengubah alam guna memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia” [hlm. 17]. Dalam definisi ini, produksi ditentukan dan tidak akan berjalan tanpa adanya “tenaga kerja” yang menentukan aktivitas produksi itu. Menurut Marx, “[….] tenaga kerja mesyaratkan kepelakuan (agency): tujuan, pengetahuan, keterampilan, termasuk energi, dari produsen [….]” [Bernstein, hlm. 17].
Di sini, penting untuk dilihat bahwa tanah dan alat-alat produksi yang dipunyai oleh petani mesti diproduksi. Misalnya, tanah harus diproduksi untuk mendatangkan manfaat berupa hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Sementara, alat-alat produksi harus diproduksi untuk tujuan memperlancar proses produksi serta meningkatkan hasil yang ingin didapatkan oleh petani. Menurut Bernstein, elemen-elemen ini harus terus-menerus diproduksi. Proses produksi terus menerus inilah yang disebut Bernstein sebagai “reproduksi: reproduksi alat-alat produksi (tanah, peralatan, benih, ternak), reproduksi produsen yang sekarang dan produsen masa depan, serta reproduksi relasi-relasi sosial di antara para produsen dan antara produsen dengan yang lain” [hlm. 24]. Dalam hal reproduksi, menurut Bernstein, aktivitas reproduksi membutuhkan “biaya” reproduksi, yang ada dalam masyarakat perdesaan.
Pertama, biaya konsumsi merujuk pada, “[…..] biaya yang dibutuhkan langsung dan sehari-hari untuk makan (sebagaimana kebutuhan untuk tempat tinggal, istirahat, dan kebutuhan dasar lain)” [hlm. 24 – 25]. Kedua, biaya penggantian. Biaya penggantian merujuk pada biaya yang dikeluarkan untuk alat-alat produksi atau perkakas kerja, yang sewaktu-waktu akan aus. Menurut Bernstein, ada beberapa perkakas kerja yang biaya penggantiannya akan cepat habis seperti, benih dan pupuk, yang mengharuskan petani untuk selalu memiliki biaya penggantian terhadap perkakas kerja jenis ini. Dalam biaya penggantian, yang punya posisi penting yaitu, “[….] produksi keturunan produsen berikutnya, atau dinamakan sebagai reproduksi keturunan” [hlm. 25]. Ketiga, biaya seremonial. Mengikuti penjelasan Wolf (1996), Bernstein mendefinisikan biaya seremonial sebagai “[….] biaya yang merujuk pada alokasi dari hasil kerja untuk kegiatan-kegiatan yang membentuk dan menyusun ulang relasi-relasi sosial dan relasi-relasi budaya dalam komunitas tani” [hlm. 27].
Keempat, biaya renten. Menurut Bernstein, biaya renten memiliki posisi yang berbeda dalam relasi-relasi sosial, yang ia tunjukan lewat proses akumulasi dan eksploitasi. Untuk memahami beroperasinya biaya renten ini, Bernstein membedakan masyarakat menjadi tiga kategori luas sesuai dengan tahapan evolusi [hlm. 27]. Pertama, masyarakat subsisten yakni, “[…..] masyarakat yang mereproduksi diri pada tingkat konsumsi yang konstan (dan jumlah populasinya juga biasanya konstan)” [hlm. 27 – 28]. Dalam masyarakat jenis ini, para petani biasanya melakukan aktivitas bertani yang masih digerakan oleh kepentingan yang terbatas seperti “sekadar memenuhi kebutuhan”. Belum ada upaya yang mengarah pada bentuk akumulasi dan perluasan surplus. Karena masih memegang prinsip ini, maka petani kerap melakukan perladangan berpindah (nomaden).
Kedua, masyarakat agraris. Menurut Bernstein, kemunculan masyarakat agraris dilatarbelakangi oleh suatu kondisi di mana pertanian berpindah berubah menjadi pertanian menetap, melalui proses “[…..] domestikasi (penjinakan) yang dilakukan manusia terhadap tanaman dan binatang, serta memungkinkan adanya biaya renten […..]”, “[…..] merujuk pada bermacam-macam pembayaran yang harus dilakukan petani kepada pihak lain” [hlm. 28]. Pihak lain di sini merujuk pada tuan tanah, negara, lintah darat atau tengkulak. Ketiga, masyarakat kapitalis. Menurut Bernstein, terbentuknya masyarakat kapitalis ini ditandai dengan adanya “[…..] eksploitasi tenaga kerja yang digerakan oleh kebutuhan untuk memperluas skala produksi dan meningkatkan produktivitas demi menciptakan laba……” [hlm. 30]. Masyarakat kapitalis inilah yang menjadi fokus kunci dari seluruh bahasan dalam buku ini sekaligus menentukan bagaimana corak pertanian di perdesaan berubah dari pertanian keluarga menjadi pertanian kapitalis.
Maka mengikuti penjelasan Bernstein, dapat disimpulkan bahwa perdesaan terbentuk lewat proses di mana corak produksi dan relasi-relasi produksi membentuk dinamika perdesaan. Semua proses produksi maupun reproduksi ini terjadi karena desakan kapitalisme, yang menuntut perluasan kapital guna mendapatkan surplus kapital. Maka pada bagian selanjutnya dari buku ini, Bernstein fokus menjelaskan asal mula dan perkembangan awal kapitalisme, dengan mengkaji jalur transisi agraria sebagai awal permulaan pembentukan kapitalisme pertanian. Secara ringkas, jalur transisi agraria yang dimaksud ialah, jalur Inggris, jalur Prusia dan Amerika, serta jalur jalur Asia Timur. Ketiga jalur ini memiliki perbedaan satu dengan yang lainya, yang dijelaskan oleh Bernstein dalam buku ini [hlm. 38 – 45].
Baca Juga: RESENSI BUKU: Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa, Kisah Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta dan Nasib Petani Desa
Undang-undang Pokok Agraria dan Sisa-sisa Kolonialisme
Pertanian Neoliberal dan Krisis Agraria
Kebijakan neoliberal telah menjadi salah satu mantra paling penting bagi mereka yang mengganggapnya sebagai “jalan keluar” dari kemiskinan. Menurut Bernstein, “program neoliberal ditujukan untuk meningkatkan kebebasan dan mobilitas bagi kapital serta untuk “menggulung negara”, meskipun sangat selektif dalam praktiknya” [hlm. 110], yang ditujukan Bernstein dalam tiga bentuk. Pertama, “neoliberalisme ditujukan untuk mengurangi atau menghapus apa yang telah didapatkan oleh kelas pekerja” [hlm. 111]. Saat ini, bentuk pengurangan dan penghapusan itu bisa diamati dari “jam dan kondisi kerja”, upah minimum”, “serikat kerja”, “kontrak kerja”, yang semua ini mengarah pada pelemahan kelas pekerja. Contoh ini sangat gambalang ditujukan lewat UU Cipta Kerja yang diinisiasi oleh pemerintah di Indonesia, yang mencerminkan upaya negara cum pengusaha untuk melemahkan kelas pekerja.
Kedua, “pasar kapital global merongrong kemampuan negara untuk melaksanakan kebijakan ekonomi makro nasional secara otonom” [ibid]. Sebagaimana dicatat Bernstein, dalam pasar kapital seperti ini, aturan tidak memainkan peran signifikan. Melainkan, uang bergerak sebagai pemandu yang dengan sangat cepat bergerak, yang berorientasi pada “[…] mengejar keuntungan jangka pendek” [hlm. 111]. Ketiga, dalam neoliberalisme, pembangunan ekonomi negara dilakukan melalui “penyesuaian struktural”, “liberalisasi ekonomi”, “privatisasi”, dan agenda “reformasi negara” di negara-negara Selatan dan negara-negara bekas blok Soviet” [hlm. 111]. Ketika pembangunan ekonomi negara dilakukan melalui bentuk penyesuaian struktural, privatisasi, dan reformasi negara, maka secara tidak langsung akan melenyapkan peran negara sebagai pemandu utama dalam pembangunan.
Imbas dari program neoliberal ini memicu banyak persoalan di masyarakat, salah satunya sektor pertanian. Melalui usaha “menggulung negara” lewat privatisasi, liberalisasi ekonomi, dan reformasi negara, pembangunan pertanian secara tidak langsung akan dipandu oleh kepentingan pasar. Maka menurut Bernstein, kecenderungan hal tersebut dapat diamati dalam 3 bentuk [hlm. 117 – 118]. Pertama, relasi komoditas akan terus berlanjut, tetapi masalahnya, investasi, arahan, dan kendali negara yang semakin tipis, dikarenakan tidak ada lagi ruang gerak negara dalam mengatur jalannya pembangunan pertanian. Situasi ini akan melahirkan dua masalah utama, terutama bagi petani miskin yakni, munculnya gelombang “deagrarianisasi” atau petani kecil yang kehilangan akses pada usaha tani serta gelombang “depeasantization” yakni, makin hilangnya kemampuan untuk terus menjadi petani kecil.
Kedua, ada kecenderungan di mana “[…] usaha mewujudkan “pembangunan nasional” lewat industrialisasi dan produksi untuk pasar domestik (“subtitusi impor”) juga ditinggalkan” [hlm. 117]. Bernstein mencatat bahwa, logika pasar di mana liberalisasi impor memainkan peran utama, maka hal ini menggerakan komoditas impor dengan biaya lebih rendah, ketimbang diproduksi dalam negeri dengan biaya yang tinggi. Maka secara tidak langsung “orientasi pasar domestik dalam “pembangunanisme” digantikan oleh promosi produksi impor…..” [hlm. 117 – 118]. Ketiga, terjadi komodifikasi dan spesialisasi pada produksi pertanian yang dilakukan oleh petani keluarga, petani kapitalis menengah dan besar serta korporasi pertanian [ibid]. Kondisi seperti ini jelas mempengaruhi tatanan agraria yang ada di masyarakat, yang perlahan tapi pasti mengarah pada berbagai ketimpangan agraria dan krisis agraria, yang semakin mengerdilkan petani kecil dan miskin.
Komodifikasi Pertanian dan Ketimpangan Agraria di Perdesaan
Menurut Bernstein, “komodifikasi adalah proses di mana elemen-elemen produksi dan reproduksi sosial dihasilkan untuk, dan diperoleh dari pertukaran pasar; dan elemen-elemen itu tunduk pada disiplin dan desakan pasar” [hlm. 142 – 143]. Dalam masyarakat agraris dan masyarakat kapitalis, komodifikasi telah menghasilkan banyak dinamika internalnya. Salah satu yang bisa diamati ialah, adanya ketimpangan agraria di perdesaan, yang menghasilkan kemiskinan. Sektor pertanian tidak lagi dipahami sebagai sektor bagi keberlangsungan pemenuhan kebutuhan keluarga petani. Tetapi telah berubah ke arah komodifikasi, yang secara tidak langsung juga turut menciptakan individualisasi, kompetisi, dan akumulasi lahan di kalangan petani.
Sebagaimana dicatat Bernstein, komodifikasi ini jelas menghasilkan dinamika kelas. Di sini, ia meminjam rumusan Lenin untuk menggambarkan dinamika kelas itu sekaligus memilah kelas tersebut ke dalam tiga kategori kelas. Pertama, kelas petani kapitalis atau dalam istilah Lenin sebut sebagai “petani kaya”, yakni kelas “[…] yang bisa mengakumulasi asset produksi sekaligus mereproduksi diri sebagai kapital dalam skala lebih besar, dengan terlibat dalam reproduksi yang meluas……” [hlm. 145]. Kedua, kelas petani skala menengah atau istilah Lenin sebagai “petani kecil menengah” yakni, kelas “[…..] yang mampu mereproduksi diri sebagai kapital dalam skala produksi yang sama dengan sebelumnya, dan sebagai tenaga kerja yang setara dengan konsumsi mereka (dan secara turun-temurun), yang dalam istilah Marx sebut sebagai “reproduksi sederhana” [hlm. 146].
Ketiga, kelas petani miskin yang dalam istilah Lenin sebut sebagai “petani kecil miskin” yakni, kelas “[….] yang berjuang mereproduksi diri sebagai kapital, sampai harus bekerja keras mereproduksi diri mereka sebagai tenaga kerja dalam usaha tani sendiri; dan mereka tunduk pada “himpitan reproduksi sederhana” [hlm. 146]. Jelas jika dilihat dari posisi kelas ini, kelas petani miskin mengalami suatu pergolakan yang sangat keras dan bahkan tajam dalam mereproduksi diri. Dalam posisi kelas seperti ini, petani miskin bahkan “[……] boleh jadi mengurangi konsumsi hingga tingkat paling parah agar dapat tetap memiliki sepetak kecil tanah atau seekor sapi, membeli benih atau untuk melunasi utang” [hlm. 146].
Migrasi dan Ekonomi Politik Agraria di Flores
Dalam buku Kelas Pekerja dan Kapital di Indonesia: Tinjauan Awal [2023], yang memuat beberapa artikel salah satunya artikel yang ditulis Emilianus Yakob Sese Tolo berjudul, “Buruh Migran, Ketimpangan Agraria, dan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur”, dijelaskan bagaimana “migrasi” yang dilakukan oleh petani di Flores (tepatnya di Mbay) merupakan bagian dari konteks ekonomi politik agraria yang timpang. Artinya, pilihan migrasi di kalangan petani perlu dilihat sebagai sebuah persoalan yang kompleks, terutama menyangkut akses dan kepemilikan agraria di masyarakat. Bahwa, tuntutan ekonomi yang semakin besar, sementara akses dan kepemilikan tanah para petani yang terbatas (menguasai kira-kira kurang dari 0,5 hektare) menggerakkan petani untuk mencari sumber penghidupan lain di kota dengan menjadi buruh migran.
Penetrasi kapitalisme sebagaimana yang juga disinggung Emil dalam artikelnya telah membawa dampak pada ketimpangan agraria. Pada sektor pertanian, misalnya, penetrasi kapitalisme telah meningkatkan praktik penjualan tanah di kalangan petani karena “desakan ekonomi” yang menuntut mereka untuk melepaskan tanahnya. Salah satu yang mengemuka ialah penjualan atau pengambilalihan tanah oleh koperasi atau bank, karena tidak mampu melunasi beban utang. Ada banyak sekali contoh kasus untuk masalah ini, di mana sebagian petani di Flores berhadapan dengan pilihan; menjual atau mengikhlaskan tanah diambil oleh koperasi dan bank untuk melunasi utang atau memilih migrasi untuk mendapatkan uang demi untuk melunasi utang agar tanahnya tidak diambil atau dijual.
Maka, merujuk pada penjelasan Henry Bernstein, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan agraria dan dinamika kelas terjadi ketika petani miskin mengalami “tekanan” untuk dapat terus mempertahankan sepetak sawah atau sebidang tanahnya, sementara pada sisi lain desakan kapitalisme menuntut mereka untuk melepaskan tanahnya. Persis, kondisi ini terjadi dan dialami oleh hampir semua petani miskin di Flores, di mana mereka terus terimpit di bawah tekanan kapital, yang menuntut mereka untuk bermigrasi. Alih-alih memberi mereka kepastian ekonomi jangka panjang, pertanian petani, menurut saya, makin mendisiplin mereka di bawah logika pasar kapitalis yang makin lama makin menghancurkan basis ekonomi pertanian mereka.
Informasi Buku
Judul buku: Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria; Edisi Revisi [judul asli: Class Dynamics of Agrarian Change]
Penulis: Henry Bernstein
Penerjemah: Dian Yanuardy, Muntaza, Stephanus Aswar Herwinarko
Penerbit: INSISTPress
Halaman: xxviii +198
Tahun terbit: 2019 [cet. pertama]
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB