• Opini
  • Undang-undang Pokok Agraria dan Sisa-sisa Kolonialisme

Undang-undang Pokok Agraria dan Sisa-sisa Kolonialisme

Undang-undang Pokok Agraria belum sepenuhnya menghilangkan sisa-sisa kolonialisme di Indonesia. Hak atas tanah barat masih dijadikan klaim kepemilikan tanah.

Andi Daffa Patiroi

Asisten Pengabdi Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Bandung

Ilustrasi anak dan penggusuran. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Enam puluh empat tahun lalu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lazim dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), lahir. Hari lahirnya UUPA tersebut seraya diperingati menjadi Hari Tani Nasional melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963. Lahir ketika Republik Indonesia baru berusia 15 tahun, UUPA menjiwai semangat reforma agraria (landreform) guna mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertahanan.

Semangat tersebut tercermin dalam UUPA yang setidaknya memiliki tiga tujuan, yakni berdiri sebagai dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, serta dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Tujuan-tujuan tersebut diawali dengan penghapusan beberapa aturan kolonial terkait kepemilikan tanah dan kekayaan alam, seperti Agrarische Wet 1870, Koninklijk Besluit 1872, dan Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai bumi, air serta kekayaan alam.

UUPA pun menghapuskan keberadaan asas domein verklaring, sebuah asas kolonial yang menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara otomatis menjadi milik negara. Asas inilah yang menjadi dasar pencaplokan tanah besar-besaran di era Hindia Belanda.

Domein verklaring tersebut kemudian diganti dengan konsep menguasai negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dan diperkuat dalam Putusan MK No. 50/PUU-X/2012. Hak menguasai negara diartikan sebagai kewenangan negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk membuat kebijakan (beleid), dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Baca Juga: Menelisik Upaya Mafia Tanah Mengakali Eigendom Verponding Dago Elos
Eigendom Verponding Adalah Bukti Pajak Zaman Kolonial Belanda, Tidak Bisa Menjadi Dasar Gugatan Kepemilikan Tanah Dago Elos
Duo Muller Dituntut 5 Tahun 6 Bulan Penjara, Pengembangan Penyidikan Kasus Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos agar Dilanjutkan

Nasionalisasi Hak Atas Tanah

Dengan semangat nasionalisasi, UUPA pun menghapuskan dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yakni keberlakuan hukum tanah barat dan hukum tanah adat menjadi hukum tanah nasional. Nasionalisasi ini berkonsekuensi pada hapusnya hak-hak atas tanah barat yang tertuang dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak-hak tersebut di antaranya berupa eigendom (setara dengan hak milik), erfpacht (setara dengan hak guna usaha), opstal (setara dengan hak guna bangunan), dan gebruik (setara dengan hak pakai).

Penghapusan keberadaan hak-hak tersebut dibarengi dengan hadirnya ketentuan konversi. Pihak-pihak yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud UUPA dapat melakukan konversi hak atas tanah barat tersebut menjadi hak atas tanah nasional, dengan diberi tenggat waktu selama 20 tahun hingga 24 September 1980. Jika tidak, hak-hak atas tanah barat tersebut menjadi tidak berlaku lagi dan tanah-tanahnya menjadi dalam penguasaan negara.

Sisa-sisa Kolonialisme

Dengan semangat reforma agraria dan nasionalisasi hak atas tanah, keberadaan UUPA belum sepenuhnya dapat menghilangkan sisa-sisa kolonialisme di Indonesia, khususnya pengakuan terhadap hak-hak atas tanah barat. Secara normatif, telah jelas tertuang dalam UUPA bahwa hak atas tanah barat tidak lagi berlaku di Indonesia.

Dalam praktiknya, hak atas tanah barat masih dijadikan sebagai klaim kepemilikan atas tanah. Bahkan, praktik tersebut kerap diperkuat melalui putusan pengadilan. Seperti yang terjadi di Dago Elos, Kota Bandung, sebidang tanah yang telah ditempati oleh warga selama puluhan tahun, diklaim oleh Muller Bersaudara yang mengaku sebagai ahli waris. Mereka mengaku berhak atas tanah di sana berdasarkan pewarisan eigendom verponding  milik kakeknya. Berujung pada sengketa di Pengadilan Negeri Bandung hingga tingkatan peninjauan kembali, diputuskan bahwa Muller Bersaudara selaku penggugat berhak atas tanah tersebut, dan warga sekitar dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dikarenakan menduduki tanah secara tidak sah.

Dalam kasus lain, seorang ahli waris menggugat BPN Kota Bandung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung atas penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diperuntukkan untuk kompleks perumahan yang terletak di Kelurahan Pasir Impun, Kota Bandung. Dengan berdasar eigendom verponding, ahli waris tersebut mengaku bahwa tanah seluas delapan puluh ribu meter persegi tersebut merupakan tanah milik kakeknya sejak tahun 1935. Alhasil, PTUN Bandung mengabulkan gugatan penggugat dan membatalkan ratusan SHGB yang telah terbit di sana. Alasannya, BPN Kota Bandung dianggap tidak melakukan penelitian riwayat bidang tanah dengan baik dan benar.

Terlepas dari segala kontroversi dan kejanggalan yang ada, jelas terlihat bahwa lembaga peradilan masih mengamini keberlakuan hak atas tanah barat di Indonesia. Dalam kasus Dago Elos misalnya, dipertimbangkan oleh majelis hakim tingkat peninjauan kembali bahwa Muller Bersaudara lebih berhak atas tanah tersebut karena dapat membuktikan asal-usul kepemilikan tanah, dibandingkan dengan warga sekitar yang dianggap tidak memiliki bukti penguasaan ataupun alas hak. Artinya, sebuah surat eigendom masih dianggap lebih kuat keberadaannya dibandingkan dengan penguasaan fisik yang dilakukan oleh warga sekitar. Sungguh mengherankan.

Sukarno dalam pidatonya yang berjudul Jalannya Revolusi Kita (1960) tegas mengatakan, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia. Karena itu harus dihapuskan "hak eigendom", "wet-wet agraris" bikinan Belanda, "Domeinverklaring", dan lain sebagainya.

Contoh kasus tersebut setidaknya hanya sedikit dari sekian banyaknya sengketa di pengadilan dengan dasar hak atas tanah barat, yang mana berujung pada pengabaian ketentuan UUPA itu sendiri. Praktik-praktik tersebut memperlihatkan bahwa penegakkan hukum dapat dilakukan secara suka-suka, sekalipun telah ada dasar hukum yang menentukan bagaimana aturan mainnya.

Pengakuan hak atas tanah barat dalam berbagai kasus pertanahan berkonsekuensi pada runtuhnya marwah Bangsa Indonesia. Selain menghina UUPA karena keberadaannya seolah dianggap tidak ada, diakuinya kembali hak atas tanah barat dalam praktik peradilan menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya belum bisa lepas dari sisa-sisa kolonialisme.

Menyongsong berlakunya 64 Tahun UUPA dan Peringatan Hari Tani Nasional, negara harus bisa memosisikan dirinya sebagai institusi yang menguasai tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, salah satunya diperlukan ketegasan negara untuk menjamin kepastian hukum bahwa hak-hak atas tanah barat tidak dapat berlaku lagi, apa pun alasannya.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang hukum

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//