• Berita
  • Eigendom Verponding Adalah Bukti Pajak Zaman Kolonial Belanda, Tidak Bisa Menjadi Dasar Gugatan Kepemilikan Tanah Dago Elos

Eigendom Verponding Adalah Bukti Pajak Zaman Kolonial Belanda, Tidak Bisa Menjadi Dasar Gugatan Kepemilikan Tanah Dago Elos

Eigendom verponding yang menjadi dasar Muller bersaudara untuk mengklaim tanah Dago Elos belum pernah dikonversi sesuai ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

Sidang dengan agenda keterangan saksi ahli untuk perkara penipuan dokumen tanah Dago Elos dengan terdakwa Muller bersaudara di PN Bandung, Senin, 23 September 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul24 September 2024


BandungBergerak.id - Eigendom Verponding bukanlah dokumen kepemilikan tanah, melainkan bukti pembayaran pajak di masa kolonial Belanda (hak barat). Sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960, hak-hak barat telah dihapuskan.

Demikian keterangan saksi ahli Yani Pujiwati, pakar hukum agraria dan pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) yang memberikan keterangan perkara pemalsuan dokumen tanah Dago Elos dengan terdakwa Muller bersaudara di di Pengadilan Negeri Bandung, Senin, 23 September 2024.

Yani menerangkan, sejak berlakunya UUPA, buku kedua hak perdata berkaitan dengan tanah dicabut. Artinya, UUPA telah menghapuskan hak-hak barat yang mengusung asas nasionalitas. Namun begitu, karena masih ada hak-hak barat setelah diterbitkan UUPA, aturan perundang-undangan itu mengatur tentang ketentuan konversi.

Yani menyebut, pasal 1 ayat 1 menyatakan Eigendom Verponding pada tanggal 24 September 1960 yang dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) tuggal, akan dikonversi menjadi hak milik. Sedangkan ayat 3 menyatakan, jika pemiliknya warga negara asing (WNA), dua kewarganegaraan atau badan hukum, maka akan dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan yang akan berakhir pada 24 September 1980. Jangka waktunya 20 tahun.

“Kalau bicara eigendom verponding, itu kan bukan hak. Eigendom verponding itu kan pajak. Jadi ketika masa Belanda sampai 1961 itu berlaku tiga pajak, verponding tanah barat, verponding Indonesia untuk tanah-tanah yang di perkotaan, dan tanah-tanah adat. Setelah itu berganti jadi iuran pembangunan daerah. Tahun 1985 berganti menjadi PBB. Jadi kalau bicara verponding itu bicara pajak. Bukan (hak kepemilikan),” ungkap Yani dalam kesaksiannya di persidangan.

Yani melanjutkan, UUPA itu disertai aturan pelaksana, salah satunya Permen Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang ketentuan pelaksanaan UUPA. Dalam pasal 2 disebut bahwa hak yang dimiliki oleh WNI harus didaftarkan ke kantor pertanahan dalam jangka waktu enam bulan. Jika dalam waktu enam bulan itu tidak didaftarkan untuk konversi, otomatis akan menjadi HGB. Setelah tahun 1980, hak tanah itu akan kembali menjadi tanah negara.

Yani pun menegaskan, kalau yang mengajukan permohonan konversi, haruslah nama yang tercantum. “Tidak bisa, harus nama yang tercantum (yang mengajukan permohonan konversi),” kata Yani Pujiwati.

Diketahui, eigendom verponding atas nama George Hendrik Muller yang diklaim oleh Muller bersaudara untuk mengklaim tanah di Dago Elos belum pernah dikonversi sesuai ketentuan UUPA.

Pengajar hukum agraria Unpad itu pun melanjutkan, di dalam peraturan yang relatif lebih baru, yaitu PP 24/1997 membenarkan adanya pembuktian hak lama atau hak barat. Syaratnya adalah hak barat itu sudah ada catatan konversi menjadi hak milik. Catatan konversi itu tentu bisa dirujuk kepada kantor pertanahan dan yang dipegang oleh pemilik, dengan catatan nama yang tertera di dalam dokumen itu sama.

“Kalau sekarang tanah itu udah jadi tanah negara (jika hak tidak konversi dan tidak menguasai fisik),” pendapatnya tentang hak atas tanah di Dago Elos.

JPU menanyakan pula kepada Yani Pujiwati berkaitan dengan peralihan hak eigendom verponding dan dokumen itu dijadikan dasar untuk menggugat. Merujuk kepada UUPA, egendom tidak bisa beralih dan dialihkan, sebab tidak tercantum dalam aturan itu. Adapun yang tercantum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

“Tidak ada pengalihan hak eigendom, karena bukan hak atas tanah Indonesia. Bukan lagi objek tanah Indonesia, jadi tidak bisa dialihkan. Berkaitan dengan asas nasionalitas, hak-hak barat berangsur-angsur habis. Hanya WNI yang punya hubungan penuh dengan tanah. Tidak bisa (beralih hak), apalagi diperjualbelikan,” kata Yani.

Dengan kata lain, egendom tidak bisa menjadi dasar untuk menggugat tanah Dago Elos sebab tidak memiliki dasar hukumnya. Selain itu, Yani juga menyebut akta pengoperan bukan termasuk akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dari sembilan akta yang dibuat PPAT. Adapun notaris membuat akta berkaitan dengan tanah. Salah satunya yang lumrah adalah Perjanjian Peningkatan Jual Beli (PPJB). PPJB pun dibuat karena ada syarat yang belum dipenuhi, misalnya belum lunas, dan lainnya. Dengan dipenuhi kekurangan, dokumen langsung menjadi Akta Jual Beli (AJB).

Di samping itu, Yani juga menyebutkan, selain PP 24 tahun 1997, ada aturan yang lain sebetulnya, yaitu PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan Hak Atas Tanah, Pendaftaran Tanah, dan Satuan Ruang. Dalam aturan itu, tertera eigendom verponding. Namun syaratnya adalah jika menguasai secara fisik dan bisa membuktikan secara pidana dan perdata.

Yani menjelaskan, sebenarnya UUPA merupakan produk hukum yang mau menghapuskan dualisme pengakuan hak barat yang tidak mengakui hak masyarakat atas tanah. Asas nasionalitas yang hendak dijunjung.

Dalam sidang sebelumnya, terkuak sebuah fakta bahwa kepemilikan Eigendom verponding 3740, 3741, 3742 yang diklaim oleh Muller bersaudara tercantum kepemilikan yang berbeda. Di BPN, dokumen hak barat itu tertulis atas nama NV Simongan. Sedangkan Muller bersaudara memegang dokumen atas nama George Hendrik Muller. Yani berpendapat, seharusnya yang menjadi pedoman adalah yang tercatat di kantor pertanahan.

“Kalau tidak sama, perlu dipertanyakan. Karena BPN berwenang dan menyimpan catatan itu,” katanya.

Penasehat hukum kedua terdakwa Muller bersaudara menanyakan kepada Yani, bagaimana duduk perkara hak kepemilikan yang sudah dimiliki oleh kedua terdakwa yang telah dinyatakan inkrah melalui keputusan PK. Yani menerangkan, posisinya berpendapat tentang keputusan hakim bukanlah di ruang persidangan, melainkan di universitas. Sehingga, ia menyarankan untuk merujuk kepada tiga penelitian mahasiswanya yang menganalisa putusan tersebut.

“Prinsip saya, saya hanya berpegang pada peraturan yang berlaku bahwa setelah Indonesia merdeka, kita punya aturan sendiri, kita punya asas nasionalitas, tanah itu harus kembali lagi menjadi tanah bangsa Indonesia. Jadi hak eigendom kan tanah barat, kan mereka juga sudah menikmati penjajahan begitu lama di Indonesia, sudah hilang haknya, sudah diberi waktu untuk konversi 20 tahun itu sesuatu kebijakan pemerintah dalam buku kedua konversi. Seharusnya itu 1980 diajukan HGB, itu akan jadi HGB baru. Ketika tidak, maka itu menjadi tanah negara,” jawabnya.

“Verponding itu bukti membayar pajak, seperti sekarang membayar PBB,” terangnya menjelaskan ulang berkaitan dengan dokumen hak barat itu yang menurutnya merupakan bukti pembayaran pajak di masa lalu, bukan bukti kepemilikan.

Konferensi pers tim advokasi warga Dago Elos, Bandung, usai sidang pembacaan putusan sela PN Bandung, Selasa, 21 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Konferensi pers tim advokasi warga Dago Elos, Bandung, usai sidang pembacaan putusan sela PN Bandung, Selasa, 21 Agustus 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Barang Bukti Berbeda dengan Pembanding

Sidang tersebut merupakan agenda terakhir pembuktian dan kesaksian para pihak dari JPU. Pada persidangan ini, JPU menghadirkan satu saksi fakta dan tiga saksi ahli. Saksi fakta adalah Tri Nurseptari, notaris yang membuat hak pengoperan antara Muller bersaudara dengan PT. Dago Inti Graha. Sementara saksi ahli, selain Yani Pujawati, JPU menghadirkan ahli pidana dari Fakultas Hukum Unisba, Nandang Syambas dan Pusat Laboratorium Forensik Polri, Kompol Apriliani.

Tri Nurseptari mengaku sudah pensiun sejak tahun 2020. Ia mengatakan, para terdakwa dan Jo Budi Hartanto yang mewakili PT. Dago Inti Graha menghadap kepadanya tahun 2016 untuk membuat akta pengoperan. Dasar pengajuan akta pengoperan itu karena para terdakwa mengaku memiliki eigendom verponding. Dalam akta pengoperan, Tri menyatakan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa itu sebagai tanah negara.

Tri Nurseptari mengaku mengetahui ada kewajiban konversi atas hak barat untuk menjadi kepemilikan. Namun begitu, ia tetap membuat akta pengoperan dari Eigendom Verponding yang belum dikonversi. “Enggak saya tanyakan, dia juga gak punya konversinya,” katanya.

Tri juga menerangkan, ia membuat akta pengoperan sebab yang memohon adalah badan hukum, PT. Dago Inti Graha. PT tidak bisa memiliki hak milik, makanya ia tidak membuat PPJB yang dasarnya sertifikat hak milik. Ia lantas membuat akta pengoperan. Ketika membuat akta pengoperan itu, ia mengaku para pihak sudah melengkapi syarat-syaratnya.

Tri juga mengaku, saat membuat akta itu, di dalam syarat yang disertakan oleh para terdakwa, tidak tercantum nama Muller di KTP mereka. Ia lantas membuat akta pengoperan itu dengan nama kedua terdakwa tanpa mencantumkan nama Muller.

“Pada waktu itu pembuatannya tidak ya (menggunakan nama Muller di akte pengoperan), sesuai dengan KTP,” ungkapnya.

Tri pun mengatakan kalau akta yang ia buat sudah sah menurut hukum. Ia juga meyakini hal itu karena para terdakwa memiliki keterangan ahli waris, dan nama yang sama yang tercantum di dalam beberapa dokumen.

Sementara itu, Apriliani dari Puslabfor Polri menyatakan, pihaknya melakukan pengecekan terhadap beberapa dokumen, seperti akta van geboorte yang dilaminasi, satu lembar blanko van geboorte yang tidak dilaminasi, blanko pencatatan sipil atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller.

Apriliani menyatakan, dua akte van geboorter dilakukan dengan pemeriksaan fisik. Sementara yang lainnya dilakukan dengan alat tertentu. Akta van geboorte yang dilaminasi terbuat dari bahan serat kayu yang merupakan produk cetak stensil. Sedangkan yang tidak dilaminasi merupakan produk cetak digital. Saat diperiksa, kedua akta ini sama persis, namun terdapat perbedaan di baris keenam.

“Akta yang dilaminating tertulis nama Eduard Muller, sedangkan akta yang tidak dilaminating tertulis Edi Eduard Muller,” demikian kata Apriliani.

Adapun akte kelahiran yang dimiliki Dodi disebut nonidentik produk cetak yang berbeda dengan dokumen pembanding. Sementara akte Pipin Sandepi identik sama dengan blangko pembanding. Dalam beberapa dokumen akte yang diuji, teknik cetak akte yang asli menggunakan teknik cetak opzet yang tidak menggunakan printer. Sedangkan barang bukti dicetak menggunakan printer inkjet.

Salah satu barang bukti juga tidak ada hologram dengan efek tiga dimensi. Selain itu, terdapat metode pengisian identitas dan tanda tangan yang berbeda, barang bukti ditulis dan dibubuhi tanda tangan dengan inkjet. Sementara pembanding yang asli menuliskan identitas dengan mesin tik dan dibubuhi tanda tangan basah.

Selain itu ia juga menjelaskan, dokumen atau surat berharga pasti terdapat tanda air (watermark) tanda garuda. Barang bukti terdapat tanda air, tetapi tulisannya seperti sertifikat yang diperjualbelikan bebas di pasaran. Saat diuji menggunakan invisible fiber dengan sinar uv, dokumen pembanding bisa timbul, sedangkan barang bukti tidak demikian.

Apriliani bersama JPU lantas memberikan beberapa dokumen ke hadapan persidangan. Penasihat hukum beserta terdakwa lantas ikut melihat beberapa dokumen yan dihadirkan ke muka persidangan itu.

Baca Juga: Sidang Tanah Dago Elos, Akta Kelahiran Muller Bersaudara Diduga Palsu
Warga Dago Elos Menagih Keseriusan AHY Gebuk Mafia Tanah
Menyala Dago Elos

Sepakat Dengan Dakwaan Alternatif JPU

Dodi Rustendi dan Heri Hermawan didakwa empat pasal, yaitu pasal 263 ayat 1, pasal 263 ayat 2, pasal 266 ayat 1, dan pasal 266 ayat 2. Nandang Syambas, ahli pidana dari Fakultas Hukum Unisba menerangkan, pasal 263 ayat 1 dan2 terdapat unsur objek dan subjektif. Unsur objektif di antaranya ada perbuatan membuat surat palsu yang bisa menimbulkan hak. Sedangkan unsur subjektif yaitu keinginan, kesengajaan untuk digunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan dan akibatnya itu dapat menimbulkan kerugian.

Nandang menerangkan, sengaja merupakan kehendak diri sendiri atau sudah ada niat. Jika menyuruh orang lain untuk melakukan, itu merupakan penyertaan. Jika yang disuruh mengetahui kalau upaya yang dilakukan melawan hukum, artinya sepakat untuk melakukan atau setidaknya membantu melakukan kejahatan.

Ia juga menerangkan, palsu, bisa saja aktanya otentik, tetapi isinya tidak semestinya demikian. Ia juga menyebutkan, hasil yang ditempuh dengan prosedur yang tidak benar juga patut diduga tidak benar atau palsu.

“Kalau menurut pandangan saya, sepanjang surat yang diduga palsu itu sudah ditunjukkan dengan bukti yang cukup, minimal sekurang-kurangnya dua, maka tidak perlu yang ayat 1 itu dipenuhi. Tapi kan ayat 2 itu lebih kepada menggunakan surat palsu itu. Jadi pertama memang surat palsunya sudah diyakini bahwa dia palsu. Kedua yang lebih lanjut di ayat 2 yaitu justru menggunakannya. Jadi kalau sampai saat ini pandangan saya bahwa yang namanya 263 itu, baik ayat 1 maupun ayat 2 itu bukan syarat kumulatif, tapi alternatif,” terangnya di persidangan.

Penasehat hukum kedua terdakwa menanyakan kepada Nandang, bagaimana jika terdakwa tidak mengetahui kalau surat itu palsu, apakah juga dimintai pertanggungjawaban pidana? Nandang lantas menjelaskan terkait teori kesalahan dalam hukum, yaitu dolus dan kulfa, yaitu sengaja atau lalai.

“Sengaja itu kan mengetahui dan menghendaki. Tapi kan ada juga yang namanya alfa, yaitu seseorang melakukan suatu perbuatan, mengetahui akibatnya tapi dia tidak menghendaki akibat itu. Walaupun dia tidak menghendaki tetapi dia melakukan. Ketika terjadi, dia tetap mendapat tindakan pertanggungjawaban,” kata Nandang.

Ia juga menggarisbawahi, Pasal 263 substansinya memberatkan kepada subjek yang bersangkutan yang melakukan pemalsuan. Adapun pada 266 adalah subjek yang menyuruh orang lain untuk memalsukan. Jika yang disuruh tidak mengetahui, bukan menjadi soal, sebab substansi awalnya adalah yang menyuruh, bukan yang disuruh.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//