Sidang Tanah Dago Elos, Akta Kelahiran Muller Bersaudara Diduga Palsu
Akta kelahiran Muller bersaudara dibubuhi tanda tangan identik Kepala Disdukcapil Kabupaten Bandung. Tanda tangan ini dibantah oleh mantan Kepala Disdukcapil.
Penulis Awla Rajul20 September 2024
BandungBergerak.id - Saksi dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil membantah telah menandatangani akta kelahiran akta kelahiran Dodi Rustendi dan Heri Hermawan, dua terdakwa yang mengklaim ahli waris Muller. Kesaksian ini terkuak dalam persidangan tindak pidana yang menyeret duo Muller atas perkara pemalsuan dokumen untuk mengklaim lahan di Dago Elos kembali dilangsungkan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis, 19 September 2024.
Keterangan itu disampaikan Salimin, mantan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bandung. Salimin kini sudah pensiun dan bekerja di Disdukcapil sejak 2010 hingga 2022. Ia diundang oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi saksi karena adanya dugaan penerbitan perubahan akta kelahiran yang diduga palsu atas nama Dodi Rustendi dan Heri Hermawan.
Di hadapan majelis hakim, Salimin menyebutkan tanda tangan di akta kelahiran terdakwa identik dengan tanda tangannya, tapi ia mengaku tidak pernah menandatanganinya. Mengenai perubahan akta kelahiran, Salimin menerangkan perubahan yang dimaksud adalah adanya penambahan nama Muller, yang sebelumnya tidak ada nama itu di akta kedua terdakwa.
Meski tidak begitu mengingat detailnya, Salimin menyebutkan kedua terdakwa pernah mengajukan perubahan nama sekitar tahun 2014. Salimin juga mengaku baru mengetahui adanya dugaan pemalsuan di akta perubahan ketika disidik oleh Polda Jabar.
Saat di-BAP oleh penyidik Polda Jabar, Salimin diperlihatkan akta perubahan Dodi Rustendi yang asli, sedangkan milik Heri Hermawan dalam bentuk fotokopian. “Di akte perubahan tersebut, tercantum nama saya (sebagai kepala dinas). Tanda tangan tersebut masih manual, belum barcode,” kata Salimin.
Ia lalu menjelaskan, sesuai peraturan perundang-undangan, untuk perubahan nama di dalam akta kelahiran diperlukan beberapa syarat, di antaranya penetapan pengadilan negeri, harus melapor selambatnya 30 hari ke instansi pembuat akta. Setelah itu, pejabat pencatatan sipil akan menerbitkan catatan pinggir. Catatan pinggir yang dimaksud berupa kertas lain sebagai lampiran register akta kelahiran yang asli dan yang utama.
“Sementara yang diperlihatkan oleh penyidik berupa akta kelahiran. Nah, ini yang semestinya tidak terjadi, sebab kami tidak mungkin mengeluarkan kutipan kedua dalam bentuk akta,” terangnya.
Salimin menerangkan, Disdukcapil tidak diperkenankan oleh undang-undang mengeluarkan akta perubahan nama langsung dalam bentuk akta. Adapun yang dibolehkan adalah lampiran berupa catatan pinggir perubahan nama. Sebab, yang menjadi acuan utama dalam pencatatan sipil adalah register, yaitu akta yang pertama kali dibuat.
Berkaitan dengan tanda tangan di akta Dodi yang diduga palsu, Salimin menjawab, “Saya tidak tahu itu asli atau enggak. Tapi itu identik dengan tanda tangan saya.”
Jaksa lalu menunjukkan dua akta yang dimiliki oleh Dodi Rustendi yang keduanya diklaim asli. Kedua akta tersebut memiliki tanda tangan identik atas nama Salimin. Namun, di akta yang diduga palsu, hologram dan warna kertas berbeda dengan satunya yang diduga asli. Salimin juga mengaku tidak pernah menandatangani akta kelahiran yang diduga palsu itu. Sebab, katanya, ada blanko khusus yang menjadi syarat utama untuk pengesahan akta.
Selain itu, dalam persidangan terkuak sebuah fakta terdakwa mengurus pembuatan akta kelahiran baru dengan dalih aktanya hilang. Padahal, akta yang asli disita oleh pihak penyidik Polda Jabar yang mendalami kasus ini untuk kepentingan penyelidikan. Dalam persidangan sebelumnya, terkuak pula fakta kalau nama Dodi tercantum berbeda di beberapa dokumen pencatatan sipil, seperti kartu keluarga (KK) maupun KTP.
Salimin menyebutkan, yang menjadi acuan pertama identitas seseorang semestinya adalah KK. Sebab, KK harusnya merupakan dokumen pencatatan sipil yang pertama kali terbit ketika seseorang lahir. Namun begitu, kalaupun akta kelahirannya baru dibuat belakangan, ijazah bisa menjadi syarat acuan untuk nama yang sesuai. Lantaran ijazah merupakan dokumen yang sulit terbit berulang kali.
Salimin juga menerangkan, Disdukcapil memiliki kewenangan untuk memperbaiki kesalahan redaksional nama. Misalnya, penulisan yang seharusnya adalah Salimin, tetapi tertulis Saliman. Sedangkan untuk perubahan nama dengan menambahkan kata baru, harus melalui penetapan pengadilan.
Terkait keterangan Salimin, Heri Hermawan mengaku keberatan. Ia mengaku akta asli yang dimilikinya memang hilang, makanya melakukan pengajuan kehilangan di kepolisian dan mengurus yang baru. “Yang jelas saya itu memang keturunan Muller,” terangnya.
Diukur Sukarela
Sidang pembuktian dari pihak JPU ini menghadirkan empat orang saksi. Selain Salimin, ada pensiunan BPN Kota Bandung, Endi Ruswandi dan dua warga Dago Elos lainnya. JPU sempat mengundang notaris Muller dan Jo Budi Hartanto, Tri Nurseptari. Namun, ia mengkonfirmasi tidak bisa hadir. JPU Rika Fitria, memastikan di persidangan Senin mendatang, 23 September 2024, notaris itu sudah mengkonfirmasi kehadirannya.
Endi Ruswandi merupakan pensiunan BPN Kota Bandung. Ia mengabdi di kantor pertanahan ini dari tahun 1980 hingga 2013 di Bagian Pengukuran dan Pemetaan. Dalam kesaksiannya, ia menerangkan, Asep Makmun, warga Dago Elos yang dipercayakan oleh warga menjadi koordinator, datang ke kantor BPN sekitar tahun 2000an awal untuk permohonan sertifikat sebanyak sekitar 120 bidang tanah.
Endi mengatakan kepada Asep Makmun, sebaiknya menghubungi penelitian surat ke bagian permohonan hak. Setelah Asep Makmun menemui bagian itu, didapatkan informasi bahwa untuk mengajukan alas hak ada syarat harus mengetahui luas masing-masing bidang lahan yang dimohonkan sertifikatnya.
Asep Makmun lantas meminta bantuan Endi untuk melakukan pengukuran. Endi berkenan membantu pengukuran, dibantu tiga orang terlatih lainnya, setiap akhir pekan atau di hari libur.
“Terus terang hanya membantu. Karena waktu itu kan masyarakat di sana mohon maaf dinilai ekonomi lemah. Jadi saya melakukan pengukuran ala kadarnya setiap Sabtu Minggu secara manual. Saya membantu dia (Asep Makmun) menentukan atas nama si a luasnya berapa, sampai tahu masing-masingnya (bidang lahan) berapa. 120an bidang, lebihlah (yang diukur),” kata Endi yang datang jauh dari Tasikmalaya.
Endi menerangkan, di arsip bagian pemetaan, lahan Dago Elos dan terminal termasuk dalam Eigendom. Namun, Eigendom dalam arsip itu tidak mencantumkan kepemilikan atas nama siapa, hanya mencantumkan nomor. Arsip yang ia maksud adalah arsip tahun 1886, buatan Belanda, yang disimpan di Bagian Pengukuran dan Pemetaan Kota Bandung.
“Kalau asalnya gak tahu (punya siapa). Tapi yang diukur itu untuk masing-masing pemohon (warga Dago Elos),” kata Endi.
Saat melakukan pengukuran, di lokasi sudah ada permukiman penduduk. Setahunya ketika melakukan pengukuran secara sukarela itu, warga Dago Elos sudah tinggal lebih dari 20 tahun. Sebaliknya, Muller bersaudara tidak tinggal di sana. Endi sama sekali tidak tahu perihal PT. Dago Inti Graha.
Endi menerangkan, acuannya melakukan pengukuran 120 bidang lahan warga Dago Elos waktu itu dengan PBB masing-masing warga. Setelah diukur, ia mencatat dan membuat peta lokasi garis dengan membubuhi keterangan nomor dan nama. Sayangnya, pekerjaan pengukuran dan pemetaan itu bukan tugas resmi dari BPN, melainkan aktivitas sukarelanya kepada warga sebagai bentuk solidaritas.
Karena pengukuran bukan resmi, “karya” pengukurannya itu tidak bisa diterima oleh BPN sebagai syarat pengajuan sertifikat. Sehingga, mesti dilakukan pengukuran ulang. “Yang buat saya, tapi tidak diresmikan kantor. Jadi cuma kasih peta garis, nomor dan keterangan nama saja. (Enggak resmi) Kalau resmi harus ditetapkan,” terangnya.
Baca Juga: Keterangan Bos PT. Dago Inti Graha dalam Menyokong Keluarga Muller untuk Menggugat Warga Dago Elos, Semata-mata Urusan Bisnis
Sidang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos, Nama Muller Tidak Tercatat di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
Sidang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos, Jaksa Berharap Majelis Hakim Menolak Nota Keberatan Terdakwa Duo Muller
Mendiami Sejak 1960
Dua orang warga Dago Elos yang memberi keterangan di persidangan adalah Asep Makmun dan Novi. Asep Makmun mengaku lahir di Dago Elos. Ia menguasai fisik lahan di Dago Elos turun-temurun dari kakek, sejak sebelum tahun 1960an. Ia mengaku memiliki bukti sporadis keterangan kepenggarapan dari tingkat terendah hingga Camat.
“Fakta yuridis historis, Yang saya tahu, itu status tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut bekas hak barat,” ungkap Asep.
Namun begitu, ia tidak tahu terkait dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh terdakwa untuk mengklaim lahan di Dago Elos. Ia sebatas tahu kalau warga melaporkan terdakwa karena dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen.
Sepengetahuan Asep, di BPN akta eigendom verponding Dago Elos terdaftar atas nama NV Simongan. Ia juga mengaku pernah melihat surat keterangan dari BPN yang menyatakan objek sengketa yang diklaim oleh ahli waris Muller itu terdaftar atas nama pabrik tegel NV Simongan. Surat keterangan yang ia sebut terbit tiga kali, 2000, 2015, dan 2018.
“Keterangannya sama bahwa tercatat atas nama Simongan,” kata Asep Makmun.
Warga Dago Elos juga sering melakukan pengurusan sertifikat. Asep bahkan dipercayai sebagai koordinator untuk mengurusnya. Seingatnya, warga pernah mengurus sertifikat tahun 1984, 1990, dan tahun 200an. Ketika program ajudikasi, BPN disebut belum sempat mengeluarkan SK karena hanya berlaku untuk tanah adat. Kendala lain, kata Asep Makmun adalah konflik kepentingan yang harus menyertakan rekomendasi dari pemerintah kota.
“Itu yang jadi kendala kami pensertifikasian,” ungkapnya.
Asep juga menyebut, sekitar tahun 1960an, tanah di Dago Elos pernah dikelola oleh sebuah yayasan. Sebagian dari tanah itu, sekitar 40 bidang, sudah dikabulkan sertifikatnya untuk yayasan tersebut. Bagaimana soal kepemilikan oleh George Hendrik Muller?
“Setahu saya dari dulu tidak pernah (mendengar hak kepemilikan dimiliki oleh George Hendrik Muller melalui eigendom verponding). Tidak satu pun (Muller menguasai fisik). Tidak ada (PT. Dago Inti Graha menguasai fisik),” kata Asep. “Saya berpegang prinsip pada keterangan institusi BPN, kalau tanah itu atas nama NV Simongan.”
Asep Makmun tidak mengenal terdakwa. Tetapi, ia mengaku Dodi Rustendi pernah berkunjung sekali ke rumahnya sekitar tahun 2016, sebelum perkara keperdataan. Dalam kunjungan itu, Dodi mengenalkan diri sebagai ahli waris Muller dan menyatakan kalau lahan Dago Elos merupakan kepemilikan ahli waris. Namun, Asep menegaskan tanah tersebut dulunya bekas milik NV Simongan, bukan Muller.
“Terhadap tanah yang kami kuasai, yang kami urus, ini atas sepengetahuan kami adalah atas nama NV Simongan,” demikian kata Asep Makmun ketika dikunjungi Dodi.
Menanggapi keterangan Asep Makmun, Dodi Rustendi menyatakan ia memang mengunjungi rumah Asep dua kali. Dalam pertemuan itu, Asep Makmun menyatakan kepada Dodi sebenarnya ada ahli waris lain yang memiliki hak kepemilikan lahan di Dago Elos.
Sementara Novi, warga Dago Elos memberikan kesaksian bahwa fisik tanah yang dikuasai oleh warga tidak pernah berubah. Lahan di Dago Elos juga belum ada upaya penyitaan, tapi sudah ada aanmaning (peringatan) dari Pengadilan Negeri Bandung. Atas dasar aanmaning itu, ada 331 KK atau sebanyak 2.000 jiwa terancam harus meninggalkan rumah yang telah mereka tempati puluhan tahun.
Novi mengetahui perihal eigendom verponding dari putusan-putusan pengadilan. Ia tidak pernah melihat aslinya. Dari hasil-hasil putusan, ia menganalisa, akta pengoperan NV Simongan ke George Hendrik Muller minus tujuh tahun dari kelahirannya dan minus 17 tahun dari pendirian pabrik itu. Di sitiulah ia menyimpulkan adanya dugaan pemalsuan.
“Mulai baca putusan-putusan setelah kami dikalahkan oleh terdakwa. Kami mulai belajar,” katanya di persidangan.
Novi juga menyebutkan, terdakwa tidak pernah menguasai fisik tanah Dago Elos. Novi tidak pernah melihat kedua terdakwa ada di Dago Elos. Demikian pula dengan PT. Dago Inti Graha yang tidak pernah menguasai fisik Dago Elos. Ia juga mengaku tidak tahu di mana perbedaan mana yang palsu dan mana yang asli dari akte kelahiran kedua terdakwa.
“Keberatan yang mulia. Saya memang keturunan Edi Eduard Muller,” kata Heri Hermawan Muller menanggapi keterangan Novi.
Heri menyerangkan, Edi Eduard Muller dan Eduard Muller adalah orang yang sama. Dalam dokumen-dokumen pencatatan sipil, nama ayahnya juga dituliskan demikian.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos