Keterangan Bos PT. Dago Inti Graha dalam Menyokong Keluarga Muller untuk Menggugat Warga Dago Elos, Semata-mata Urusan Bisnis
Sidang pemalsuan dokumen tanah Dago Elos menghadirkan saksi bos PT. Dago Inti Graha Jo Budi Hartanto. Urusan bisnis melatarbelakangi sengketa lahan ini.
Penulis Awla Rajul18 September 2024
BandungBergerak.id - Persidangan pidana yang menyeret duo Muller atas perkara pemalsuan dokumen tanah Dago Elos masih menghadirkan sejumlah saksi, antara lain kontraktor dan bos PT. Dago Inti Graha (DIG) Jo Budi Hartanto. Diketahui bahwa PT. DIG didirikan pada tahun 2016 khusus untuk pengurusan lahan dan potensi bisnis di Dago Elos.
PT Dago Inti Graha bersama keluarga yang mengaku ahli waris Muller melakukan gugatan perdata kepada warga Dago Elos pada 2016. Sengketa lahan ini berlangsung panjang. Kini, dua anggota keluarga Muller, Doddy Rustendi dan Heri Hermawan menjadi terdakwa di ranah pengadilan pidana di Pengadilan Negeri Bandung Selasa, 17 September 2024.
Salah seorang saksi bernama Uus Tiarsa adalah seorang kontraktor, warga Rancaekek. Di hadapan majelis hakim PN Bandung, Uus mengaku mengenal kedua terdakwa Doddy Rustendi dan Heri Hermawan sejak sekolah SMP/SMA sekitar tahun 1995. Namun, ia tidak tahu soal perkara dugaan pemalsuan dokumen tanah Dago Elos.
Namun, Uus mengaku dirinya memang yang mengenalkan Doddy Rustendi kepada Orie Agus Chandra (mantan Direktur PT. Dago Inti Graha tahun 2018) pada tahun 2014 untuk menceritakan perihal kepemilikan lahan di Dago Elos. Saat itu, Doddy tidak memperlihatkan dokumen pertanahan. Waktu itu Uus merupakan kontraktor pembangunan perumahan di Rancaekek yang direktur perusahaan developernya juga Orie, yaitu PT. Green Sukamanah.
“Saya pernah survei dua kali sama pak Orie di Dago tahun 2015. Sama pak Doddy juga ke sananya. Sudah ada permukiman di sana, juga ada terminal Dago. Ceritanya mau diurus surat-suratnya,” kata Uus.
Terakhir kali Uus berurusan terkait persoalan tanah Dago Elos di tahun 2016, ketika ia mengantarkan duo Muller ke Notaris Tri di Sukajadi. Namun ia mengaku tidak tahu apa yang dilakukan, ia tidak masuk ke ruangan notaris. Ia mengaku tidak paham soal dugaan pemalsuan dokumen yang menjerat teman masa remajanya itu.
“Saya mah taunya cuma ngenalin aja,” ucapnya.
Giliran pemilik, pemegang saham mayoritas, dan komisaris PT. Dago Inti Graha Jo Budi Hartanto memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim PN Bandung. Ia pertama kali mengenal Doddy Rustendi di Rancaekek. Uus adalah kontraktor, Orie adalah direktur Pusaka Mas Persada. Keterangan nama perusahaan yang disebutkan Jo Budi berbeda dengan keterangan yang disampaikan Uus.
Dari cerita Orie, lanjut Jo Budi Hartanto, ada seseorang yang punya lahan di Dago. “Silakan aja dicek surat-surat dan sebagainya. Kata saya (kepada Orie) yang teliti, karena tanah itu kan krusial,” ungkap Jo Budi di persidangan.
Sekitar tahun 2016, kata Jo Budi Hartanto, dibuatlah permohonan pembuatan sertifikat ke BPN. Ia sendiri yang menandatanganinya. Ia mengaku tidak melihat seluruh dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan. Ia sepenuhnya memasrahkan kepada Orie, direktur perusahaan yang ia percaya. Di BPN, lantas disebutkan tidak bisa mengurus surat sertifikat, makanya harus melalui pengadilan perdata dengan melakukan gugatan.
“Masukin aja (gugatan) biar kuat secara hukum,” Jo Budi mengatakan demikian kepada Orie, ungkapnya di persidangan.
PT Dago Inti Graha didirikan pada tahun 2016. Dalam kesaksiannya, Jo Budi Hartanto mengaku perusahaan ini memang didirikan khusus untuk pengurusan lahan dan potensi bisnis di Dago Elos. Meski begitu, ia mengatakan perusahaan ini belum jalan secara bisnis karena masih bersengketa.
Perusahaan ini merupakan salah satu pihak yang menjadi penggugat warga di pengadilan perdata. Jo Budi Hartanto mengatakan, Orie merupakan direktur di perusahaan ini sejak pertama kali didirikan. Ia mengaku tidak tahu, tidak melihat, dan tidak mengerti terkait pemalsuan dokumen.
“Wah, saya juga kaget itu,” kata Jo Budi, soal dugaan pemalsuan.
Jo Budi Hartanto mengaku perusahaan mengeluarkan biaya sebesar 300 juta rupiah untuk mengikat lahan Dago Elos di notaris Tri, agar terdakwa tidak menawarkan lahan itu kepada orang lain. Menurutnya, perusahaan juga memberikan biaya kepada terdakwa untuk mengurus dan biaya transportasi.
Jo Budi juga mengaku sudah melihat lokasi objek sengketa, yaitu terminal. Namun ia tidak masuk ke dalam untuk melihat permukiman warga. Karena pernah melihat objek sengketa inilah yang membuatnya berani menandatangani dokumen pengurusan sertifikat. Meski demikian, ia membantah telah melakukan jual beli tanah Dago Elos dengan terdakwa.
“Belum (deal harga jual beli dengan terdakwa), kan masih ada sengketa. Kalau menguntungkan terlalu jauh. Saya maunya kan kita negara hukum, jadi surat-menyurat aman. Masih jauh, gak ada pemikiran begitu (menghitung potensi keuntungan di Dago Elos),” terang Jo Budi Hartanto.
Ia menuturkan, penandatanganan akta pengoperan di notaris dihadiri dirinya dengan tiga keluarga Muller. Ide membuat akta pengoperan dan pemasrahan berdasarkan rekomendasi dari notaris. Ia juga mengaku tidak pernah menanyai dan mencari tahu lebih lanjut dampak dari gugatan yang dilakukan akan merugikan banyak warga. Tugas itu seharusnya diemban oleh direktur.
“Itu hal yang biasa (gugat-menggugat tanah). Kita tidak berpikir jauh seperti itu. Kita berpikir kalau ini jalan yang terbaik, jalur hukum, ya kita jalankan,” katanya ketika ditanyai apakah mempertimbangkan dampak kepada warga atau tidak ketika melakukan gugatan. “Iya (akan dibeli), kalau sudah transaksi.”
Jo Budi Hartanto menyebut membuat PT. DIG untuk mengurus Dago Elos karena peraturan yang mewajibkan satu perusahaan dengan satu NIB. Di samping itu, ia mengaku sering membeli tanah untuk menjadi aset perusahaan. Meski belum tentu untuk dibisniskan, tetapi, memang tujuannya untuk mencari keuntungan.
“Bukan siap bersengketa, tapi kita jalan secara hukum. Bukan saya mau bersengketa, enggak,” ungkapnya. “Belum ke sana, belum ada pemikiran ke sana,” jawabnya soal harga beli ketika sertifikat sudah jadi.
Jo Budi Hartanto sempat menyampaikan keterangan yang berbeda ketika ditanyai JPU. Awalnya, ia mengatakan pengurusan sertifikat hak milik di BPN dilakukan untuk atas nama PT. DIG. Namun JPU memastikan sekali lagi dengan pola pertanyaan yang berbeda, pengurusan sertifikat itu untuk atas nama PT. DIG atau atas nama ahli waris?
“Ya untuk atas nama merekalah (Muller bersaudara),” demikian jawaban kedua Jo.
Jo Budi pun mengakui seluruh biaya pengurusan sertifikat dan biaya gugatan kepada warga dibiayai oleh dirinya atau perusahaan.
Di samping itu, JPU membacakan surat balasan yang disampaikan BPN terkait permohonan pengurusan sertifikat. Dalam surat itu, tidak ada poin yang menyarankan untuk melakukan gugatan. Jo Budi lantas mengatakan, menggugat merupakan kesimpulan yang ditangkapnya.
Sementara Erwin Senjaya Hartanto, anak Jo Budi dan komisaris PT. DIG mengaku sama sekali tidak tahu apa-apa terkait perkara, dugaan pemalsuan, dan dugaan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Ia mengaku hanya dicantumkan di dalam akta perusahaan, baik akta pendirian awal tahun 2016, maupun akta perubahan tahun 2018.
Sebagai komisaris, Erwin mengaku tidak aktif mengurus dan mengelola perusahaan. Ia bahkan mengaku tidak tahu terkait pendirian perusahaan dan dalam bidang apa perusahaan itu bergerak.
Baca Juga: Jo Budi Hartanto Mangkir di Persidangan Sengketa Tanah Dago Elos
Sidang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos, Warga Membuktikan Memiliki Sertifikat Hak Milik
Sidang Pemalsuan Dokumen Tanah Dago Elos, Jaksa Berharap Majelis Hakim Menolak Nota Keberatan Terdakwa Duo Muller
Biasa Menggugat dan Menggusur
Jogi Nainggolan, penasihat hukum duo Muller menyampaikan, tahun 1995 kedua terdakwa mendapatkan Eigendom Verponding dari keluarganya, sebelum Edi Eduard Muller berangkat ke Belanda. Dari lima anak George Hendrik Muller, hanya Edi yang tinggal di Indonesia, sisanya tinggal di Belanda.
“Tahun 1995 (Edi Eduard) pulang ke Belanda dan di sanalah dokumen masalah tanah, Eigendom Verponding itu diberikan kepada keluarganya yang ada di Indonesia. Bahwa tanah dari kakeknya ada di daerah Dago,” kata Jogi. “Ini loh data tanah kita di Indonesia. Edi kan tinggal di Indonesia, silakan urus.”
Pascapersidangan, warga Dago Elos melakukan konferensi pers di depan pengadilan sekaligus menunjukkan bukti-bukti yang disampaikan di hadapan majelis hakim. Dea, warga Dago Elos menggarisbawahi perihal kesaksian Jo Budi Hartanto yang mengaku sudah sering menggugat tanah.
“Tadi telah tercetus oleh Jo Budi Hartanto, dia sudah biasa melakukan hal seperti ini dan itu yang perlu menjadi kehati-hatian seluruh rakyat Indonesia. Dia tahu bahwa itu tanah negara tapi dia berani untuk menggugat tanah tersebut dengan banyak alasan. Dan ternyata juga sudah terbukti dengan apa yang dia katakan bahwa dia sudah biasa melakukan penggusuran,” ungkapnya.
Tanah Nenek
Sebelumnya, persidangan juga menghadirkan empat orang saksi dari warga, yaitu Ulvi Aulianisa Dewanti, Basuki Sukarno, Lia Piltasari, dan Syahrul Arief. Ulvi Aulianisa Dewanti menerangkan, ia menjadi saksi lantaran tanah yang ditempatinya ikut digugat oleh keluarga Muller dan PT. DIG. Tanah yang ditempati Ulvi didapatkan dari neneknya, Nini Rukmini.
Menurut Ulvi, neneknya memang belum memiliki bukti kepemilikan tanah, namun sejak dulu neneknya rutin membayar pajak PBB dan air. Begitu juga ketika tanah ini ditempati Ulvi yang rutin membayar pajak.
Ulvi menduga adanya pemalsuan akta kelahiran Edi Eduard Muller yang kemudian berdampak pada kehidupan warga Dago Elos. Akta ini menjadi dasar untuk menggugat warga. Dalam surat penentuan ahli waris (PAW), nama ayah duo Muller adalah Edi Eduard Muller. Sementara dalam berita kematian Ny. Roesmah, istri George Hendrik Muller menyatakan tidak ada nama keturunannya yang bernama Edi Eduard Muller, yang ada hanya Eduard Muller.
“Saya dan rekan melaporkan tindak pidana ini, yang dilaporkan adalah Doddy Rustendi, Heri Hermawan, Pipin Sandepi, dan PT. Dago Inti Graha,” ungkap Ulvi, memberi kesaksian. “Yang memalsukannya kemungkinan yang mengajukan PAW itu. (tidak melihat) Iya, saya hanya menduga saja.”
Selain itu, dalam PAW, tercantum salah satu nama saudara pertama Edi Eduard Muller bernama Renih, seorang perempuan. Sedangkan di kabar kematian, kakak pertamanya bernama Hari Muller yang merupakan laki-laki. Dari fakta ini, ia lalu mencari tahu dan mendapat informasi dari buku kematian KNIL di arsip Belanda, Hari Muller dulunya adalah tentara Belanda yang berdinas di Cimahi. Di arsip itu juga dicatatkan nama orang tuanya adalah George Hendrik Muller dan Roesmah.
“Itu yang menjadi keyakinan saya Hari Muller adalah anak George Hendrik Muller dan Roesmah,” ungkapnya.
Ulvi juga menyebut, informasi dari BPN, lahan Eigendom Verponding 3740, 3741, 3742 atas nama NV Simoengan, bukan George Hendrik Muller. Ulvi menerangkan, potensi kerugian dari lahan yang ia kuasai seluas 151 meter itu mencapai hingga 3 miliar rupiah. Atas keterangan yang disampaikan ini, dua terdakwa Heri dan Doddy mengaku keberatan.
Kesaksian berikutnya, Basuki Sukarno, warga Dago Elos menyampaikan di hadapan majelis hakim bahwa dugaan pemalsuan surat itu diketahui dari tidak adanya kata Muller pada nama Doddy Rustendi di dalam KK Edi Eduard Muller. Fakta itu ia ketahui dari arsip kuasa hukum insidentil warga Dago Elos, Asep Makmun. Arsip itu merupakan peninggalan dari ayahnya. Ia juga mengaku hanya melihat fotokopian KK, tidak pernah melihat KK aslinya.
Selain itu, terdapat perbedaan tanggal lahir di tiga dokumen yang berbeda. Di dalam KK itu, Doddy Rustendi dituliskan lahir pada 15 Oktober 1969. Sementara di akta kelahirannya dituliskan pada 18 Oktober 1969. Sedangkan di KTP-nya yang diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten Bandung pada 2016, tercantum 16 Oktober 1969. Oki, demikian ia kerap disapa juga mengatakan ejaan namanya pun berbeda-beda di setiap dokumen.
“Di akta kelahiran tertulis Dadi, di KTP Dodi. Ada juga yang Doddy. Dokumen-dokumen itu digunakan untuk (mengajukan) PAW sebagai bukti di Pengadilan Perdata,” ungkap Oki.
Selain itu, dalam gugatan perdata, duo Muller menggunakan dokumen dari Balai Harta Peninggalan Jakarta. Ayahnya, Soni Sukarno, yang ikut tergugat dalam persidangan perdata pernah mengirimkan surat ke Balai Harta Peninggalan itu. Dalam surat balasannya pada tanggal 14 Agustus 2018, disebutkan tidak ditemukan dokumen arsip kepemilikan atas nama George Hendrik Muller. Sementara Eigendom Verponding yang diklaim milik George digunakan untuk menggugat warga Dago Elos.
Oki menyebutkan ayahnya tidak memiliki bukti hak milik, tetapi memiliki SPPT. Ia telah menempati lahan seluas 300 meter itu sejak 1972. Ayahnya, mendapatkan tanah dari kakeknya. Sehingga, Oki merupakan generasi ketiga. Setau Oki, kedua terdakwa dan PT. DIG tidak menguasai tanah objek sengketa. Sejak kecil, ia juga tidak pernah mendengar tanah objek sengketa itu dimiliki oleh keluarga Muller.
“Dari nenek, turun temurun, pak. Betul (sejak lahir sudah menempati),” ungkap Oki.
Heri Hermawan Muller, mengaku keberatan dengan keterangan Oki. Begitu pun dengan Doddy Rustendi Muller. Doddy menyebut perbedaan nama dan tanggal lahir adalah dokumen-dokumen yang lama. Ejaan nama Dodi dan Dadi keliru, yang benar adalah Doddy. Dokumen terbaru, katanya merupakan dokumen yang sudah diperbarui dan sudah sesuai kebenarannya.
“Harusnya tanggal 16 (tanggal lahir yang benar),” kata Doddy menanggapi keterangan Oki.
Akta Pengoperan Sudah Ada Sebelum Orangnya Lahir
Lia Piltasari, saksi berikutnya, kepada majelis persidangan menyampaikan keterangan terkait fakta historis yang memberatkan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Duo Muller, yaitu Eigendom Verponding. Dalam keterangannya, sesuai putusan PN perdata sebelumnya, Eigendom Verponding 3740, 3741, 3742 berpindah kepemilikan dari pabrik Tegel Semen Handeel “Simongan” ke George Hendrik Muler di tahun 1899.
Sementara dalam berita kematian, George Hendrik Muller meninggal di tahun 1964 dengan usia 58 tahun. Artinya, ia lahir pada tahun 1906. Adapun Pabrik Simongan, kata Lia, berdasarkan catatan Javasche Courant berdiri tahun 1916. Ia menyimpulkan, jika dirunut, George Hendrik Muller dan Pabrik Simongan belum lahir di dunia ketika akta pengoperan kepemilikan dari Pabrik Simongan ke George Hendrik Muller terbit tahun 1899.
“Akta peralihan itu dibuat minus tujuh tahun dari kelahiran George Hendrik Muller dan minus 17 tahun berdirinya NV Simongan. 1899 NV Simongan sendiri belum berdiri, perusahaan itu berdiri tahun 1916,” ungkap Lia.
Lia menduga Eigendom Verponding itu palsu karena alasan tersebut. Selain keterangan tentang Eigendom Verponding ini, Lia mengaku tidak tahu soal dugaan pemalsuan dokumen yang lain. Ia hanya tahu soal dugaan pemalsuan akta dari dakwaan JPU. Ia juga mengaku tidak melihat adanya tindakan pemalsuan.
Lia juga menjelaskan ibunya, Aah Jauhariah membeli tanah di Dago Elos pada tahun 1990 dari Mamat dengan AJB. Ia juga pernah mendengar ibunya mengurus sertifikat ke BPN. Namun tidak tahu alasan detail mengapa BPN tidak memproses pengurusan sertifikat.
Atas keterangan Lia, Heri Hermawan Muller mengaku keberatan. Ia mengaku Eigendom Verponding didapatkan pada tahun 1995 dari adik bungsu ayahnya, Dora Muller. Akta itu didapatkan sebelum ayahnya, Edi Eduard Muller berangkat ke Belanda. Ia mengklaim Eigendom Verponding yang ia miliki adalah asli.
Adapun Syahrul dalam kesaksiannya menyampaikan yang menjadi tergugat dalam gugatan perdata sebelumnya adalah ayahnya, Muhamammad Sukiman yang meninggal 2020 lalu. Syahrul merupakan generasi ketiga di Dago Elos yang sudah tinggal sejak 1981.
Neneknya yang pertama kali tinggal di sana, memiliki sertifikat yang terbit pada tahun 1986. Setelah menikah, Syahrul pindah rumah di lahan baru yang masih di Dago Elos. Lahan itu didapat dari ayahnya yang membeli dari penggarap lahan. Kata Syahrul, ayahnya sudah tiga kali mengurus sertifikat ke BPN. Tapi tidak pernah ada jawaban dari BPN.
Syahrul sejak kecil memang tumbuh dan besar di Dago Elos. Sejak kecil, ia tidak pernah mendengar nama keluarga Muller maupun PT. Dago Inti Graha memiliki tanah itu. Ia juga mengaku keluarga Muller dan PT. DIG tidak pernah menguasai fisik objek sengketa itu.
“Kami hanya warga yang terancam, mau cari tahu siapa sih Muller ini, siapa Dago Inti Graha. Soalnya pas dulu kecil gak pernah dengar nama-nama itu,” kata Syahrul dalam kesaksiannya di persidangan perihal gugatan tindak pidana pemalsuan dokumen.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel-artikel lain tentang Dago Elos