RESENSI BUKU: Krisis Identitas dan Beban Pilihan Perempuan di Tengah Realitas Sosial dalam Novel The Midnight Library
Kisah Nora dalam The Midnight Library karya Matt Haig menjadi cermin perlawanan terhadap rasa tidak layak dan pencarian makna di tengah dunia yang tak selalu adil.
Penulis Nabilah Ayu Lestari16 September 2025
BandungBergerak.id – Selama satu tahun terakhir, saya sering sekali mendengar tentang buku ini dari teman-teman terdekat saya. Mereka sering mengaitkan buku The Midnight Library dengan isu kesehatan mental dan krisis identitas yang begitu lazim dialami oleh perempuan. Rasa penasaran saya pun semakin tumbuh, namun saya belum juga memulai membaca bukunya.
Sampai pada suatu kesempatan, saat mengikuti seminar kesehatan mental, The Midnight Library menjadi topik buku yang dibahas. Dari situlah saya semakin penasaran, dan mulai membaca –cukup perlahan dan penuh perasaan. Lembar demi lembar saya menyadari bahwa kisah yang dialami Nora Seed, sang tokoh utama, bukan hanya sebuah cerita fiksi. Ia adalah cermin perjalanan batin saya, yang selama ini saya pendam dan sulit saya uraikan.
Kondisi inilah yang membuat saya begitu terhubung saat membaca The Midnight Library. Lewat kisah tokoh utama, Nora Seed.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Menjadi Intelektual yang Diimpikan Edward Said
RESENSI BUKU: Malice, Misteri yang Membongkar Kedalaman Jiwa
RESENSI BUKU: Kapitalisme, Kelas, dan Perubahan Agraria di Perdesaan
Sunyi di Tengah Kehidupan
The Midnight Library adalah novel yang menggabungkan fantasi dan realitas dengan cara yang menyentuh. Ia menyajikan refleksi universal tentang penyesalan, pilihan, dan kesempatan untuk memulai kembali, namun terasa semakin relevan bagi perempuan yang sering terjebak dalam ekspektasi sosial.
Saya melihat gambaran nyata pergulatan batin perempuan-perempuan yang hidup di tengah tekanan sosial. Di Indonesia banyak perempuan yang menghadapi tekanan serupa dari standar sosial yang membatasi kebebasan dan peran mereka, yang sering kali sering kali dibebani standar ganda: dituntut berprestasi sekaligus menjadi “ideal” dalam peran keluarga dan sosial.
Tekanan tersebut kerap menimbulkan krisis identitas, rasa tidak cukup baik, bahkan kesepian yang mendalam. Sama seperti Nora, banyak perempuan merasa hidupnya penuh beban dan penyesalan karena tak mampu memenuhi ekspektasi orang lain.
Kesepian tanpa keluarga dan teman, yang mendukung membuatnya merasa tidak berguna dan membebani orang lain. Ia menyalahkan diri sendiri atas semua kegagalan, dan yakin kematiannya akan menjadi kelegaan bagi orang lain.
Sebelum mengakhiri hidup, Nora menulis surat,
“…aku memiliki semua kesempatan untuk mencapai sesuatu dalam hidupku, dan aku menghancurkan setiap kesempatan itu. Dengan kesembronoan dan nasib sialku sendiri, dunia telah mundur dariku, jadi sekarang masuk akal kalau aku harus mundur dari dunia.” (halaman 40)
Nora merasa terkekang oleh ekspektasi tinggi dan norma sosial yang membuatnya merasa masa depan dan kebebasannya terhambat, sehingga menambah beban psikologisnya. ia adalah perempuan biasa, yang menanggung beban kegagalan dan kesepian.
Namun, takdir membawanya ke sebuah ruang perpustakaan malam –tempat di luar waktu dan ruang yang memberi kesempatan mencoba berbagai kehidupan lain.
Perpustakaan Tengah Malam dan Kesempatan Baru
Suatu malam tepat pukul 00:00, Nora Seed mendapati dirinya berada di perpustakaan tak berujung. Waktu berhenti, rak-rak buku berdiri tanpa judul, hanya ketebalan yang berbeda. Dalam kebingungan, ia bertemu sosok Mrs. Elm –pustakawati dari masa lalunya yang pernah hadir di saat-saat sulit.
Lalu, Mrs. Elm menjelaskan bahwa setiap buku di sana berisi kehidupan alternatif yang bisa Nora jalani jika mengambil keputusan berbeda. Perpustakaan itu memberi kesempatan untuk melihat berbagai kemungkinan, sekaligus ruang refleksi tentang arti hidup.
Buku pertama yang Nora temukan adalah Buku Penyesalan. Di dalamnya tercatat semua hal yang ia sesali: gagal mempertahankan hubungan, berhenti dari karir renang, meninggalkan band, kehilangan pekerjaan, hingga mengecewakan orang-orang terdekat. Membacanya membuat ia sesak dan terimpit oleh rasa bersalah.
Di perpustakaan itu, Nora mencoba menjalani berbagai kehidupan alternatif –sebagai atlet, vokalis band terkenal, peneliti, hingga ibu rumah tangga. Namun setiap kehidupan tetap menyimpan kesulitan dan kekecewaan. Ia pun sadar, banyak pilihannya sebenarnya bukan untuk dirinya, melainkan memenuhi impian orang lain.
Semua Orang Memiliki Kesempatan Hidup Kembali
Setelah melalui banyak kehidupan alternatif, Nora akhirnya menyadari bahwa yang ia butuhkan bukanlah kehidupan lain, melainkan keberanian untuk menjalani hidupnya sendiri. Mrs. Elm menegaskan, ia kembali bukan karena ingin mati, tetapi karena ia ingin hidup. Dalam runtuhnya perpustakaan, api, dan debu, Nora bertahan. Hingga akhirnya ia menemukan buku kosong –buku kehidupan barunya– yang menandai kesempatan untuk memulai dari awal.
Kesadaran itu membuat Nora menangis haru. Ia sadar, meski penuh penyesalan dan luka, hidupnya tetap berharga. Buku kosong itu menjadi simbol bahwa masa depan belum ditulis, dan ia punya kendali untuk menuliskannya. Dengan dua kata sederhana, “Aku hidup,” Nora memilih keberanian untuk memperbaiki dan menghargai apa yang ada.
Bagi banyak perempuan saat ini, kisah Nora terasa begitu relevan. Tekanan sosial, ekspektasi peran, hingga rasa bersalah sering membuat mereka merasa tidak cukup. Namun, sama seperti Nora, kesempatan untuk “memulai kembali” selalu ada. Kebahagiaan bukan soal memenuhi standar orang lain, melainkan berani menciptakan jalan hidup sendiri, dengan menerima masa lalu dan menuliskan masa depan sesuai pilihan hati.
Perjalanan dalam Memahami Kehidupan
Buku The Midnight Library karya Matt Haig memiliki ciri khas yang sangat kuat dalam menyajikan cerita fiksi yang sarat dengan makna filosofis dan psikologis. Novel ini menggabungkan unsur realisme magis dengan tema eksistensial, menjadikannya bukan sekadar kisah semata, namun juga mengundang refleksi mendalam bagi pembacanya. Gaya penulisan Haig sederhana, mengalir, dan seolah berbicara langsung kepada kita.
Ketika saya pertama kali membuka buku ini, saya langsung terseret ke dunia yang begitu berbeda dan ajaib –tapi anehnya sangat nyata dalam menggambarkan pergulatan manusia dengan penyesalan dan pilihan hidup.
Saya, merasa salah dalam memahami kehidupan selama ini. Semua hal yang sudah saya lalui, dianggap hal yang remeh, tanpa saya apresiasi dan menghargai diri sendiri. Nora Seed mengajarkan, bahwa hidup bukan tentang terbebas dari kesalahan, melainkan tentang keberanian untuk terus melangkah dan menemukan arti di balik setiap pengalaman. Melalui Nora, kita belajar bahwa perempuan berhak merayakan hidupnya dengan pilihan yang ia tentukan sendiri, tanpa harus terus terikat pada standar kebahagiaan orang lain.
Buku ini versi kedua dari yang asli. Sampul The Midnight Library versi Indonesia didominasi warna hijau yang menenangkan, melambangkan harapan di tengah kegelapan. Ilustrasi buku beterbangan dan nuansa magisnya menjadi metafora perjalanan Nora –penuh penyesalan dan harapan. Desain sederhana ini menyimpan makna mendalam bagi saya. Bahwa, setiap halaman adalah kesempatan baru dalam hidup.
Informasi Buku
Judul Buku: The Midnight Library (Perpustakaan Tengah Malam)
Penulis : Matt Haig
Genre : Fiksi, Fantasi, Realisme Magis, Self-Help Fiction
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2023 (edisi bahasa Indonesia)
Tebal Buku : 368 halaman
ISBN : 9786020649320
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB