• Opini
  • Seni dan Perlawanan: Membaca Realitas melalui Cermin Chernyshevsky

Seni dan Perlawanan: Membaca Realitas melalui Cermin Chernyshevsky

Seni mungkin tak mampu mengubah struktur kuasa secara langsung, tetapi ia mampu menyalakan bara kesadaran yang pada akhirnya menggoyahkan ketidakadilan.

Abah Omtris

Musisi balada Bandung

Tarian di tengah hujan. (Foto: Arif ‘Danun’ Hidayah/BandungBergerak)

21 Oktober 2025


BandungBergerak – Di tengah riuhnya festival, pameran, dan konser yang kian menjamur di kota-kota seperti Bandung, seni tampak hidup dan meriah. Namun di balik gemerlap itu, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan: seni yang semula menjadi ruang ekspresi kini sering berubah menjadi komoditas yang jinak. Ia kehilangan ketajaman sosialnya, menjauh dari denyut kehidupan rakyat yang dahulu menjadi sumber ilhamnya.

Para seniman muda sering kali dihadapkan pada pilihan sulit: antara idealisme dan algoritma, antara pencarian makna dan tuntutan pasar. Dalam pusaran itu, muncul kembali pertanyaan lama yang selalu relevan: untuk siapa seni diciptakan, dan untuk apa ia hidup?

Kehidupan yang Lebih Adil dan Manusiawi

Setidaknya, seni selalu memberi warna yang berbeda bagi sebuah perlawanan. Ia mengubah wajah keras perjuangan menjadi sesuatu yang hidup, lembut, dan menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Perlawanan tanpa seni sering kali kering dan kaku, sementara seni tanpa perlawanan mudah menjelma menjadi hiasan kosong di etalase kekuasaan.

Dalam sejarah, perdebatan antara seni untuk seni dan seni untuk rakyat terus berulang. Nikolai Gavrilovich Chernyshevsky, dalam esainya Hubungan Estetik Seni dengan Realitas, menolak gagasan bahwa seni hidup di ruang hampa. Baginya, seni sejati adalah kehidupan yang diidealkan: cerminan dari kenyataan yang paling jujur, tempat manusia melihat dirinya sendiri dalam bentuk yang lebih luhur. Maka seni bukan sekadar representasi estetis, melainkan panggilan moral untuk memperbaiki kehidupan. Keindahan, menurutnya, adalah kehidupan sebagaimana seharusnya: kehidupan yang penuh nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pandangan ini beresonansi dengan pergulatan kesenian di berbagai gerakan rakyat. Mungkin kini bukan lagi masa kejayaan gerakan macam Lekra, namun fragmen-fragmen perlawanan estetik itu masih berdenyut di ruang-ruang kecil, di komunitas yang menghuni sela-sela kota. Mereka hadir di bawah tanah, berjuang melawan hegemoni seni yang telah tunduk pada pasar dan kekuasaan. Mereka memperlihatkan bahwa seni, sebagaimana yang dimaksud Chernyshevsky, “bukanlah pelarian dari realitas, melainkan cara untuk menyingkap kebenaran yang disembunyikan realitas itu sendiri”.

Sebagaimana dicatat Angie Baxley dalam Sejarah Pergerakan Seni Radikal di Dalam Transisi Kekuasaan Indonesia (1900–2000), era reformasi yang digadang-gadang membawa kebebasan justru menyingkirkan komunitas seni berideologi. Mereka bekerja dalam senyap, diabaikan oleh wacana dominan, padahal kontribusinya besar dalam menegakkan cita-cita demokrasi. Dalam konteks inilah seni berfungsi sebagaimana yang dibayangkan Chernyshevsky: sebagai kesadaran hidup yang memerdekakan, bukan dekorasi bagi sistem yang menindas.

Seorang seniman, oleh karena itu, mesti memiliki ideologi dan kesadaran politik yang jernih. Sebab seni tanpa arah hanya menjadi gema kosong di ruang pameran. Hubungan antara organisasi, ideologi, dan seni haruslah seimbang. Bukan agar seni menjadi propaganda, melainkan agar ia tetap berpijak pada realitas manusia yang sesungguhnya. Chernyshevsky menegaskan bahwa tugas seniman adalah “membayangkan kehidupan yang lebih adil dan manusiawi” melalui karya-karyanya; bukan untuk memuja keindahan semata, melainkan untuk menghadirkan keindahan yang mengandung kebenaran moral.

Seperti ditegaskan Chernyshevsky, “keindahan sejati adalah kehidupan yang mengandung kebenaran moral”. Ia tidak dapat diukur oleh angka, tetapi dapat dirasakan oleh hati dan menggerakkan tindakan. Seni mungkin tak mampu mengubah struktur kuasa secara langsung, tetapi ia mampu menyalakan bara kesadaran yang pada akhirnya menggoyahkan ketidakadilan.

Seni Belum Mati

Seni akan kehilangan daya subversifnya ketika ia dikomodifikasi. Ketika nilai tukar menggantikan nilai kesadaran, matilah fungsi sosialnya. Di zaman ini banyak orang melek seni, tetapi seni yang hidup hanyalah seni yang diperjualbelikan. Musik, lukisan, puisi – semuanya – dibungkus menjadi produk, bukan refleksi. Seni yang seharusnya menjadi cermin realitas rakyat kini berubah menjadi cermin narsistik industri.

Padahal, seni bukan sekadar ekspresi estetis; ia adalah pernyataan etis. Dan selama masih ada satu suara yang menyanyikan keresahan rakyat, seni belum mati. Ia hanya menunggu saatnya untuk kembali hidup di tangan mereka yang masih percaya bahwa keindahan dan perlawanan adalah dua wajah dari kemanusiaan yang sama.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//