CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #91: Ketika Anak-anak Cicalengka Harus Berangkat Sekolah Lebih Pagi
Sejak Gubernur Dedi Mulyadi mewajibkan siswa hadir lebih awal di sekolah, irama kehidupan di Cicalengka berubah. Pagi menjadi riuh dan serba tergesa-gesa.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
20 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Ketika matahari belum sepenuhnya menyingkap tirai cahayanya dan ayam jantan belum sempat berkokok lantang sebagai penanda lahirnya hari, orang-orang di Cicalengka telah lebih dulu menyalip fajar. Bahkan sebelum azan subuh menggema di langit, seorang ibu telah menyalakan kompor: api kecil yang menari di ujung dini hari. Ia menanak nasi dengan mata separuh kantuk, menakar kasih di setiap kepulan uap yang perlahan menjelma menjadi doa. Di ruang dapur yang sederhana, cinta bekerja tanpa banyak suara. Hanya denting sendok dan detak waktu yang berpadu lirih dalam kesetiaan.
Namun tak jarang, pagi yang mestinya lembut justru berubah menjadi riuh. Seorang anak, baru saja didepak bangun dari mimpinya, masih meringkuk di ranjang, berperang dengan sisa kantuk yang bergelayut di bulu matanya. Sementara sang ibu, meski hatinya perih, tetap harus tegar sebab waktu tak pernah mau menunggu, dan hidup baginya adalah perkara kesiangan yang tak boleh terjadi.
Sejak maklumat Gubernur Dedi Mulyadi yang mewajibkan siswa hadir lebih awal di sekolah, irama hidup di Cicalengka bergeser pelan tapi pasti. Fajar tak lagi hening. Ia datang bersama deru mesin, langkah-langkah yang tergesa, dan sarapan yang tertinggal di meja. Banyak keluarga kini memulai hari dalam desakan aturan, di antara tubuh yang belum sepenuhnya terjaga dan mata yang masih mencari cahaya.
Maklumat itu seperti gendang yang dipukul di dada pagi: memaksa anak-anak menanggalkan sisa mimpi sebelum cahaya sempat menyentuh lantai rumah. Mereka berangkat dengan mata yang belum kering dari malam, membawa tubuh yang kalah oleh jam. Tapi begitulah hidup: sering kali kebijakan lebih cepat dari kemanusiaan, dan yang tersisa hanyalah langkah-langkah yang mengikuti suara perintah tanpa sempat bertanya mengapa.
Setiap pagi sekitar pukul enam, pemandangan itu kembali berulang. Seolah pagi menjadi panggung bagi kepatuhan yang dipaksakan. Anak-anak berbaris di jalan, menenteng tas yang tampak lebih berat dari pundaknya sendiri. Seragam mereka belum sempat dirapikan, rambut masih acak-acakan, mata setengah terbuka di bawah langit yang belum sepenuhnya terang.
Mereka berjalan terburu-buru, seperti dikejar sesuatu yang tak terlihat. Bukan waktu, melainkan ketakutan akan peraturan yang menuntut kedisiplinan tanpa peduli pada rasa lelah. Di wajah-wajah kecil itu, fajar tak lagi tampak sebagai awal kehidupan, melainkan pengingat bahwa masa kanak-kanak pun kini harus tunduk pada jam yang kaku. Betapa getir melihat pagi yang dulu riang kini berubah menjadi arak-arakan letih. Tawa anak-anak meredup di antara udara dingin, seolah masa kecil mereka dikorbankan di altar kedisiplinan yang tak mengenal jeda.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #88: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #89: Di Bawah Langit Kampung Simpen, di Atas Tanah Leluhur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #90: Cicalengka di Bawah Riuh Renovasi Jalan
Anak-anak Kehilangan Pagi
Barangkali inilah wajah baru Cicalengka di setiap pagi: ketika anak-anak harus bertempur dengan waktu sebelum fajar sempat menepuk bahunya. Langit masih separuh gelap, tapi langkah-langkah kecil itu sudah dipaksa menyalip cahaya.
Jam masuk sekolah dimajukan, namun siapa yang memajukan kesiapan hati anak-anak? Mereka bangun dengan mata yang masih setengah bermimpi, digiring ke kamar mandi oleh suara bentakan yang menggantikan pelukan.
Pagi kini seperti medan perang; antara jam weker dan kantuk yang belum pergi, antara perintah untuk cepat dan tubuh kecil yang hanya ingin sebentar lagi di pelukan. Para Ayah menatap jam sambil menahan helaan napas, ibu-ibu menanak nasi dengan hati yang bergidik oleh bunyi langkah tergesa.
Lihatlah, Cicalengka di bawah langit pucatnya: anak-anak berlarian menuju sekolah, bukan karena semangat belajar, tapi karena takut terlambat. Datang tepat waktu menjadi ukuran moral, seolah siapa yang datang paling pagi adalah yang paling baik.
Padahal, terlalu pagi bukan tanda rajin, kadang hanya bentuk lain dari kehilangan. Kehilangan kesempatan untuk memeluk lebih lama, kehilangan tawa kecil di meja makan, kehilangan percakapan sederhana yang dulu membuat pagi berarti.
Di dapur-dapur Cicalengka, tak jarang, kopi mendingin tanpa sempat dihirup, sarapan tertinggal di atas meja, dan doa-doa melayang tergesa di udara. Betapa sunyi yang merayap di sela riuh itu; betapa pilu menyadari bahwa kita sedang membesarkan anak-anak yang pandai berlari, tanpa peka untuk menghayati.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya –apa arti disiplin bila harus menukar kelembutan pagi dengan rasa letih yang belum sempat sembuh dari malam? Apa arti patuh bila harus mengikis ruang kasih yang sederhana tapi suci?
Cicalengka, pagi-pagimu kini terlalu cepat. Anak-anakmu telah menjadi pasukan kecil yang berperang melawan waktu, sementara jam dinding di setiap rumah berdetak seperti cambuk halus yang tak memberi ampun. Dan kita, orang dewasa yang mengatur segalanya, lupa: bahwa tak ada kemenangan dalam terburu-buru, karena kasih sayang selalu tumbuh di antara jeda.
Bukan tentang Masuk Sekolah Lebih Pagi
Barangkali, yang paling kita perlukan hari ini bukanlah aturan baru, melainkan cara pandang yang lebih manusiawi terhadap waktu. Sebab di balik setiap jam yang dimajukan, ada detak kehidupan yang terpaksa menyesuaikan diri. Ada anak-anak yang harus menukar hangatnya pelukan dengan gigil jalanan pagi, meninggalkan kasih di ambang pintu demi angka-angka di buku absensi.
Barangkali, yang perlu kita ubah bukanlah jam masuk sekolah, melainkan cara kita memahami makna pagi: bahwa ia diciptakan bukan untuk bergegas, melainkan untuk merasakan bahwa hidup tak perlu selalu berlari agar disebut berhasil.
Barangkali, yang perlu diubah bukan sekadar jadwal dan aturan, melainkan nurani di balik keputusan. Sebab apa arti kebijakan jika ia kehilangan kelembutan? Apa guna ketepatan jika mengorbankan kehangatan? Kita terlalu sibuk menata waktu, hingga lupa menata rasa; terlalu bangga pada tertib, hingga abai pada letih yang tak tampak di mata.
Semoga kelak keputusan tak lagi lahir dari rapat yang kaku, tapi dari hati yang tahu: bahwa tidak semua yang tepat itu baik, dan tidak semua yang lambat itu salah. Sebab yang sejati dari pendidikan bukanlah barisan yang rapi, bukan tentang siapa yang datang paling pagi, tetapi siapa yang paling siap menyambut hari dengan hati yang utuh.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB