Pasar Seni ITB 2025, Sebuah Catatan
Sebagai warga biasa yang lahir, tumbuh, dan tinggal di Dago saya mengalami beberapa Pasar Seni ITB. Pasar Seni 2000 masih yang terbaik.

Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
23 Oktober 2025
BandungBergerak - Setelah hiatus selama 11 tahun, Pasar Seni ITB kembali terselenggara di tahun 2025. Dan untuk pertama kalinya pasar seni berlangsung dalam dua hari. Ini pertama kalinya juga Pasar Seni ITB harus mengisi formulir alias tiket masuk via email dan internet walaupun gratis. Tidak semua orang memiliki akses internet, memiliki smartphone dan mengerti mekanisme pendaftaran menggunakan email dan formulir aplikasi via smartphone. Seolah menyiratkan, yang tidak punya smartphone tidak bisa masuk ke area pasar seni, tidak dapat menikmati estetika yang disajikan kaum cerdik pandai seni rupa. Sangat kontradiktif dengan slogan pasar seni: inklusif, merakyat, dan murah. Rakyat yang mana? Inklusif terhadap siapa? Semua nampak hanya untuk memfasilitasi class creative dan entrepreneur semata. Selain itu semua pengumuman diakomodir melalui media sosial, yang tidak punya atau tidak update medsos akan tertinggal informasi.
Publik yang memiliki ekspektasi tinggi tentang pasar seni akan meyakini secara rasional bahwa Pasar Seni ITB 2025 dimulai dari Jalan Ganesha dan gerbang utama ITB, sebagaimana terekam dalam memori publik dan terlampir dalam lanskap historis. Hal itu terbukti walau ada pengumuman di media sosial bahwa hari pertama pasar seni berlangsung di area Sabuga. Publik yang berbekal ingatan atau yang ‘terkecoh’ telah kadung mendatangi pintu utama ITB dan mendapati bahwa kampus teknik tertua ini seperti sedang di-‘lockdown’.
Publik yang kadung datang ke Jalan Ganesha menggunakan transportasi umum, online, bahkan memarkir kendaraan pribadi di sekitar area pintu gerbang ITB dalam radius 1 kilometer, ‘dipaksa’ harus berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer. Mereka harus menempuh trotoar sempit, tidak ramah lansia, difabel, dan anak, selain juga bersinggungan dengan trafik jalan yang padat dan ramai untuk memutari Masjid Salman ITB dan menggunakan koridor Jalan Dago atau menggunakan jalan Tamansari untuk kemudian masuk ke Jalan Siliwangi. Pintu masuk pasar seni hari pertama di Sabuga bukan di pintu utama Sabuga karena dipakai lomba kereta sabun, melainkan gerbang parkir yang tepat berada di depan Teras Cikapundung.
Setelah menyusuri jalan di sela-sela kemacetan yang parah, publik akan memasuki dan menyusuri Babakan Siliwangi. Mereka akan menemukan celah sempit di samping kantor kelurahan dan akan disambut dengan tempat pembuangan sampah yang menumpuk dan menyengat sebelum memasuki pintu gerbang Pasar Seni ITB 2025 di hari pertama ini. Pintu ini tidak familiar dan hanya dibuka sebagai pintu masuk/keluar jika ada wisuda di Sabuga atau acara tertentu. Setelah masuk ke area pasar seni Sabuga yang didominasi tenant makanan dan lomba kereta sabun, ekspektasi publik pun merosot jauh.
Selayaknya sebuah event, apalagi yang telah lama hilang dan dinanti, kesan pertama adalah kunci. Hal itu hilang dalam penyelenggaraan Pasar Seni ITB 2025. Pada hari pertama, Sabuga menjadi pintu masuk utama acara, meskipun gerbang ITB pada hari kedua merupakan pintu resmi yang sesungguhnya. Pertanyaannya, mengapa sejak hari pertama tidak menggunakan gerbang utama ITB yang sudah dikenal publik, meski acara hari pertama berpusat di Sabuga? Seandainya demikian, pengunjung bisa menikmati koridor kampus dari gerbang utama hingga Sabuga, sambil alur keramaian diatur lewat jadwal pertunjukan yang disesuaikan agar kepadatan dapat diurai. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan.
Panitia tidak mempersiapkan antisipasi dengan memberikan koridor pejalan kaki untuk memasuki kawasan kampus ITB, karena ternyata banyak persiapan seperti panggung dan stand bahkan ornamen yang belum tersedia untuk hari kedua yang memang aktivitas pasar seninya berada di kampus ITB. Panitia memaksakan clear area kampus ITB untuk pasar seni di hari pertama, tanpa ada solusi darurat bagi pengunjung yang terlanjur datang ke pintu gerbang utama ITB.
Jika melihat pasar seni diperlakukan seperti ini, maka A.D Pirous selaku pemrakarsa pasar seni pertama pada tahun 1972 akan mengelus dada dan mengerutkan dahi. Pasar seni macam apa yang tidak memikirkan akses dan flow pengunjungnya terutama untuk lansia, difabel, dan anak-anak. Karena ini pasar seni dan tidak ada keterangan hanya untuk anak muda atau keterangan rentang usia, maka publik akan sangat antusias menyambutnya, apalagi warga sekitar daerah Dago.
Sebagai warga biasa yang lahir, tumbuh, dan tinggal di Dago hingga sekarang, setidaknya saya mengalami beberapa Pasar Seni ITB. Namun yang saya ingat hanya pada tahun 2000, 2006, 2010, dan 2014 karena mendokumentasikannya. Atas dasar pengalaman personal, sentimentil romantisme, dan nostalgia berdasarkan kualitas tenant, place making yang disiapkan dan diciptakan, human behavior yang terwujud, aksesibilitas-mobilitas keramaian, rangkaian aktivitas, serta antusias publik di luar nilai-nilai seni dan estetika yang ditampilkan, Pasar Seni ITB 2000 masih yang terbaik.
Pasar Seni ITB 2000 kemudian mendasari munculnya Dago Festival 2001 hingga 2004 di sepanjang Jalan Dago (Ir H Djuanda) yang diprakarsai Wawan Juanda. Dago Festival merupakan street festival terbaik yang pernah hadir di Bandung dan tidak pernah terulang lagi. Menutup hampir separuh koridor utama Jalan Ir H Djuanda dari Simpang Dago hingga perempatan Bandung Indah Plaza, Dago Festival terdiri dari puluhan panggung pertunjukan, ratusan seniman di panggung dan jalanan, serta melibatkan warga Kota Bandung itu sendiri tanpa pengecualian untuk memilih di mana dapat menikmati festival sesuai preferensinya.
Area Jalan Ganesha yang menjadi gerbang utama kampus ITB menjadi bagian penting dari Dago Festival, tempat yang identik dengan Pasar Seni ITB. Prof Koestedjo, warga Jalan Dago yang sampai akhir hayatnya di tahun 2011 masih mendiami rumah peninggalan kolonial nomor 68, sekarang menjadi toko peralatan olahraga, sempat memuji kemeriahan Dago Festival dan Pasar Seni ITB. “Ini kota (jalan) teh meriah-semarak,” kata Koestedjo, dalam suatu wawancara.
Baca Juga: Berkelana di Kampung Pasar Seni ITB 2025, dari Pajang Karya di Pinggir Jalan hingga Jasa Foto Wisuda dengan Gelar Kilat
Menjelang Pasar Seni ITB 2025, Mengingat Satire Jual Beli Tesis, Disertasi, dan Ijazah Palsu

Hari Kedua Pasar Seni ITB 2025
Hari kedua menjadi momentum utama Pasar Seni ITB 2025. Ribuan orang berdatangan sejak pagi karena juga bertepatan dengan hari Minggu dan Car Free Day di koridor utama Jalan Dago yang bersinggungan dengan Jalan Ganesha ITB, tempat berlangsungnya pasar seni ini. Publik membludak, dan lagi-lagi nampaknya di luar ekspektasi panitia. Sebelum menjelang jam 10 pagi, sepanjang koridor utama kampus termasuk pintu gerbang utama terjadi kerumunan massa yang sangat padat, di beberapa titik sulit bergerak terutama di bagian panggung musik dan makanan. Hal ini membuat sebagian orang memilih ke area yang lebih longgar atau bahkan pulang lebih cepat. Terlihat jelas bahwa panitia gagal menerapkan place making dalam pengaturan sirkulasi mobilitas dan alur pergerakan pengunjung sebagai bagian dari perilaku manusia. Pengunjung tidak bisa disamakan, karena mereka memiliki beragam usia, kondisi fisik, serta preferensi berbeda terkait kenyamanan dan aksesibilitas.
Pasar Seni ITB 2025 seperti kehilangan tutorial setelah 11 tahun vakum. Akhirnya penyelenggaraannya seperti meraba-raba dan dikaitkan dengan pengalaman aktivitas ruang publik dalam 10 tahun terakhir yang dialami oleh para panitia, dan hasilnya persis seperti kombinasi antara event musik, permainan anak, dan bazar kudapan di mana artefak dan praktik seninya berupa elemen dekoratif dari kombinasi tersebut. Hal yang biasa didapatkan dalam pelbagai aktivitas event di mana pun, perbedaannya hanya pada elemen dekoratifnya, yaitu seni dan klaim estetikanya.
Selain itu, pembatasan aktivitas di kampus pada malam hari tampaknya turut memengaruhi persiapan Pasar Seni ITB 2025. Kebijakan ini mengingatkan pada era Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang diterapkan pemerintah Orde Baru pada 1978 untuk “mengembalikan marwah akademik” yang saat itu dianggap tercemar oleh kepentingan politik. Versi “NKK” di ITB selama sekitar sepuluh tahun terakhir tampak melalui aturan yang membatasi aktivitas kampus hingga pukul 18.00 WIB. Akibatnya, kegiatan seperti Fancy Night—acara yang biasanya diadakan dua kali setahun oleh mahasiswa Fakultas Seni Rupa ITB—tidak lagi terselenggara. Padahal, Fancy Night berperan penting sebagai ajang latihan mahasiswa dalam menciptakan karya dan properti seni untuk publik, serta menjadi prototipe atau fondasi awal bagi Pasar Seni ITB, baik secara praktik, taktik, maupun dialektika.
Publik umum tidak akan mempermasalahkan nilai estetika dari seninya, atau kudapan yang tersaji, atau para talenta pertunjukan yang memeriahkan pasar seni ini. Sebaliknya, publik akan menuntut terkait kenyamanan eksplorasi ruang dan mobilitas, aksesibilitas, hingga bagaimana caranya agar tidak terjadi penumpukan di satu titik. Simulasi ruang dan sirkulasi kunjungan harusnya menjadi kunci utama dalam pelaksanaan sebuah event. Terdapat kehausan yang tidak terbendung dari publik Kota Bandung, bahkan luar kota, terhadap Pasar Seni ITB yang telah 11 tahun absen.
Salah satu sumber pengunjung tentu berasal dari internal ITB sendiri, yaitu para mahasiswanya. Selain mahasiswa yang beraktivitas di Kampus ITB Ganesha, terdapat ribuan mahasiswa ITB Jatinangor yang harus berkomuter menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi publik, seperti bus DAMRI dan Metro Jabar Trans dengan trayek Dipatiukur–Jatinangor, untuk mencapai lokasi Pasar Seni. Sayangnya, jumlah armada bus yang tersedia terbatas karena menyesuaikan jadwal operasional harian. Akibatnya, terjadi antrean panjang—bahkan hingga ratusan atau ribuan orang—di halte Jatinangor pada pagi hari menuju ITB Ganesha, dan sebaliknya di halte Dipatiukur pada sore hari setelah acara berakhir. Kondisi ini diperburuk oleh fasilitas halte yang tidak memadai, tanpa perlindungan dari panas maupun hujan bagi para penumpang yang mengantre.
Antrean para komuter sebenarnya bisa diantisipasi jika sebelumnya ada koordinasi dan kolaborasi dengan pihak penyelenggara transportasi publik, misalnya dengan meminta penambahan armada bus di pagi dan sore hari (antara pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-20.00), dan di luar waktu itu bus beroperasi seperti biasa. Kerja sama ini bahkan bisa ditingkatkan sebagai sponsor dari pasar seni, di mana bus trayek Jatinangor-Dipatiukur gratis untuk mahasiswa di jam tertentu atau bahkan di sepanjang hari sepanjang acara pasar seni.
Dari sisi parkir, panitia nampaknya sudah berusaha mengatur kantong-kantong parkir, namun dirasa masih kurang memadai. Feeder berupa Bandros yang akan mengangkut dari kantung parkir ke pasar seni dianggap tidak rasional secara waktu tunggu dan waktu tempuh dibandingkan dengan berjalan kaki. Belum lagi panas menyengat atau hujan. Akhirnya publik tetap menggunakan alasan rasionalnya, mencari tempat parkir sedekat mungkin dengan lokasi pasar seni. Dampaknya, terjadi penumpukan kendaraan di kantong-kantong parkir yang semrawut. Kemacetan pun tak terhindari dalam radius 2 kilometer. Minimnya kerja sama dengan aparat untuk melakukan rekayasa jalan utama, Jalan Dago dan sayap-sayapnya seperti Jalan Dipatiukur, Jalan Tamansari, dan Jalan Siliwangi menyebabkan penumpukan bahkan terkunci di beberapa titik selama terselenggaranya pasar seni.
Pasar Seni ITB 2025 bisa diibaratkan sebagai placemaking yang kehilangan sentuhan manusianya—seni yang terlepas dari makna sosial dan rasa memiliki terhadap ruang yang diciptakannya. Seperti rujak tanpa rasa pedas: tetap berwarna dan beragam, tapi kehilangan daya hidupnya. Meski begitu, Pasar Seni ITB 2025 tetap patut diapresiasi karena berhasil menghadirkan suasana yang meriah serta menumbuhkan semangat publik dan pasar yang antusias.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB