Tur Pameran Tutur Luhur Figur Asia-Afrika, Mengungkap Antusiasme Media Dunia pada KAA 1955
Pameran Tutur Luhur Figur Asia-Afrika menegaskan bahwa KAA 1955 menyatukan suara bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk menyerukan perdamaian dunia.
Penulis Nabilah Ayu Lestari27 Oktober 2025
BandungBergerak - Sesi tur pameran di Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) Bandung memberikan pengalaman berbeda bagi para pengunjung. Mereka diajak tidak hanya menyimak retorika para pemimpin dunia, tetapi juga menelusuri fakta-fakta di balik layar penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955. Salah satu sorotan menarik adalah tingginya antusiasme media internasional terhadap peristiwa bersejarah tersebut.
Sejarah mencatat sebanyak 337 jurnalis secara resmi meliput KAA 1955, meskipun lebih dari 600 wartawan diperkirakan hadir saat itu.
Tur tersebut bagian dari pameran temporer bertajuk “Tutur Luhur Figur Asia-Afrika: Words that Echo to the Ages” yang resmi dibuka pada Jumat, 24 Oktober 2025, di Museum KAA Bandung. Pameran menjadi bagian dari upaya rekontekstualisasi sejarah KAA 1955—momen yang menyatukan suara bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menyerukan kemerdekaan, solidaritas, dan perdamaian.
Ginanjar Legiansyah, Kurator Museum KAA sekaligus penanggung jawab pameran, menjelaskan bahwa fokus kali ini beralih dari sidang komite ke sidang pleno, khususnya pada pidato para ketua delegasi dalam sesi pembukaan dan penutupan KAA 1955. Tema ini digali dari kajian tesisnya mengenai konstruksi diskursif pidato dalam membangun ideologi dan solidaritas.
“Perencanaan dan perumusan konsep pameran dari akhir tahun 2024 hingga Juli 2025. Sebanyak sembilan ratus lima puluh tiga lembar arsip koleksi kami bongkar dan eksplorasi,” ujarnya saat sambutan pembukaan di ruang pameran tetap Museum KAA.
Ginanjar menambahkan, proses persiapan pameran berlangsung sekitar dua tahun, berawal dari penelitian tesisnya “Konstruksi Diskursif Pidato Konferensi Asia-Afrika dalam Membangun Ideologi dan Solidaritas”. Persiapan ini melibatkan berbagai kolaborasi, mulai dari konservasi dan digitalisasi koleksi di Perpustakaan Nasional hingga diskusi bersama akademisi dan museum di Bandung serta Jakarta.
Ia juga mengutip pandangan pakar linguistik Norman Fairclough dan Ruth Wodak yang menyatakan bahwa tidak ada pernyataan yang berdiri sendiri tanpa merekontekstualisasi pernyataan lain. Ginanjar menegaskan, pameran ini bukan sekadar presentasi sejarah, melainkan refleksi terhadap makna yang terus hidup dari waktu ke waktu.
“Demikian pula dengan pameran ini, tidak hanya menampilkan rekaman sejarah, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan kembali relevansi itu tutur luhur figur Asia-Afrika terhadap situasi dunia sekarang,” kata Ginanjar.
Setelah pembukaan, pengunjung diajak mengikuti tur pameran bersama kurator. Sesi ini dimulai dari ruang pameran utama hingga koridor museum yang menampilkan arsip, kutipan pidato, serta koleksi koran asli pemberitaan suasana KAA 1955. Pameran ini menjadi saksi bisu yang menyingkap detail sejarah dan logistik penyelenggaraan konferensi yang menjadikan Bandung pusat perhatian dunia.
Di ruang galeri, pengunjung dapat mendengarkan rekaman pidato Soekarno yang menyerukan solidaritas, keadilan, dan perdamaian dunia. Instalasi interpretatif di ruang ini menampilkan secara artistik kata-kata dan cita-cita yang disuarakan negara-negara Asia dan Afrika. Melalui instalasi itu, pengunjung diajak menghayati kembali semangat dan aspirasi mendalam yang melingkupi KAA 1955.
Baca Juga: Menilik Peristiwa Sejarah Konferensi Asia Afrika 1955 Melalui Bandung Historical Study Games
Menuju Kawasan Konferensi Asia-Afrika sebagai Warisan Dunia

Duta Besar Indonesia untuk Bangladesh merangkap Nepal, Heru Hartanto Subolo, yang membuka pameran, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari diplomasi publik Kementerian Luar Negeri untuk menghidupkan kembali semangat Bandung.
“Pameran ini menjadi suatu hal yang membangkitkan kesadaran dan memperkuat rasa kepemilikan atau ownership publik terhadap Konferensi Asia Afrika sebagai salah satu tonggak sejarah dan juga capaian diplomasi Indonesia,” terang Heru yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik.
Heru menjelaskan, MKAA menjadi tonggak penting karena pada 1955 banyak negara masih terjajah dan belum sejahtera. Semangat Bandung saat itu lahir untuk mendorong kerja sama dan perdamaian, nilai yang tetap relevan di tengah konflik global saat ini.
"Ini merupakan, sebuah cerminan bahwa apa yang kita lakukan di tujuh puluh tahun yang lalu, tetap menggema dan menginspirasi banyak bangsa di dunia, di Asia Afrika, bahkan di luar," ujar Heru.
Ia juga berpesan agar masyarakat datang langsung ke pameran untuk memahami sejarah secara utuh. Melalui kunjungan fisik, pengunjung dapat melihat artefak, merasakan suasana masa lalu, dan menyelami nilai kedamaian serta solidaritas yang menjadi dasar KAA.
"Bagi generasi muda yang pertama harus datang karena, melihat saja, mungkin kurang tetapi harus datang. Melihat sendiri artefaknya ya, peninggalannya, kemudian dengarkan suaranya, bagaimana semangat yang ada pada saat itu," paparnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

