Menuju Kawasan Konferensi Asia-Afrika sebagai Warisan Dunia
Kawasan KAA, dengan Gedung Merdeka sebagai jantungnya, layak diusulkan sebagai Warisan Dunia UNESCO untuk membawa kembali Bandung Spirit ke panggung internasional.

Garbi Cipta Perdana
Interpreter Kebudayaan Materiil (Bersertifikat) di Niskala Institute
28 April 2025
BandungBergerak.id – Di tengah kondisi dunia yang tengah riuh oleh kebijakan perang dagang ala Trump, saya menyaksikan negara-negara dengan telanjang mencari cara untuk merajuk Amerika Serikat, namun ada juga yang secara terang-terangan menantang seperti yang dilakukan oleh Tiongkok. Kebijakan dagang ini mengingatkan saya tentang bagaimana suatu negara melakukan pendekatan soft power dalam strategi hubungan internasionalnya. Joseph Nye (2008) menyederhanakan bahwa hanya ada dua cara dalam hubungan internasional: hard power, yang mengandalkan ancaman militer dengan bayang-bayang perang, dan soft power, yang memikat melalui budaya, nilai, serta kerja sama damai. Berbeda dengan hard power yang instan namun destruktif, Joseph Nye mendefinisikan soft power sebagai “kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain demi mencapai tujuan yang diinginkan” melalui daya tarik, bukan paksaan. Soft power diibaratkan tarian lambat, menyemai dan senantiasa menyiangi pengaruh dalam jangka panjang dengan risiko minimal. Karena sifatnya yang lembut namun kuat, soft power memungkinkan negara kecil sekalipun, seperti Indonesia untuk dapat bersuara di panggung global.
Walau Indonesia pun terimbas kebijakan nyeleneh Trump itu, namun pokok pembahasan saya bukan ke sana. Saya ingin membahas Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang pada tahun ini telah menginjak peringatan ke 70 tahun. Jika kita lihat dalam kerangka Joseph Nye, KAA merupakan upaya soft power dari negara-negara Asia-Afrika dalam mempengaruhi peradaban dunia agar lepas dari kolonialisme. KAA menjadi mercusuar solidaritas yang menyatukan 29 negara dalam semangat antikolonialisme.
Keinginan saya membahas KAA pun bukan tanpa sebab, beberapa hari lalu, saat menjelajahi Instagram, saya tersentak oleh unggahan Deni Rachman. Ia membagikan arsip koran berjudul “Semangat Bandung Apa Kabar?” Menggeser layar, saya menemukan sampul Tabloid Mutiara Nomor 344 dengan pertanyaan yang menggema: “Semangat Bandung Masihkah Ampuh?” Pertanyaan itu seperti hembusan angin yang mengguncang memori, membawa saya kembali ke Kongres Kebudayaan Indonesia 2023, khususnya diskusi tentang Spectres of Bandung: A Political Imagination of Asia-Africa. Pameran di Berlin itu berlangsung dari Oktober 2023 hingga Januari 2024 mengupas semangat otonomi KAA melalui lukisan, film, fotografi, dan arsip, terinspirasi oleh The Color Curtain karya Richard Wright (1956). Saya yang muda belia ini melihat pameran itu seperti cermin yang memantulkan bahwa Bandung Spirit masih hidup, namun senantiasa perlu terus direaktualisasi dengan sentuhan khusus yang menyesuaikan zaman agar tetap dapat dimengerti oleh tiap generasi di tengah hidup yang memble ini. Karena pengalaman ini, saya yakin bahwa kawasan KAA harus dihidupkan kembali, tidak hanya sebagai monumen sejarah, tetapi sebagai simbol solidaritas global yang relevan hingga kini.
Baca Juga: Konferensi Asia Afrika, Paul Tedjasurja, dan Buruknya Pengarsipan Kita
Menuju 70 Tahun Konferensi Asia Afrika, Membumikan Spirit Bandung
Menilik Peristiwa Sejarah Konferensi Asia Afrika 1955 Melalui Bandung Historical Study Games
Value Kawasan Konferensi Asia Afrika
KAA 1955 adalah contoh gemilang diplomasi Indonesia dan juga negara-negara Asia-Afrika pada umumnya. Dihadiri 29 negara, konferensi ini melahirkan Dasa Sila Bandung yang oleh A. Appadorai (1955) dicatat sebagai deklarasi yang menyerukan kedaulatan, perdamaian, dan kerja sama global. Menurut Naoko Shimazu (2011) KAA juga disebut bukan hanya sekadar pertemuan politik, tetapi “teater budaya di mana solidaritas Asia-Afrika dipentaskan melalui simbolisme dan performativitas”. “Teater” tersebut diselenggarakan beberapa lokasi yang ada di Kota Bandung. Salah satu lokasi utama pementasan “teater” itu adalah Gedung Merdeka yang jadi ruang utama konferensi berlangsung. Shimazu pun menyebut Gedung Merdeka sebagai “ruang teatrikal yang memvisualisasikan semangat persatuan antarbangsa”. Selain Gedung Merdeka, ada pula Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger yang menjadi tempat menginap para delegasi yang ikut serta, ada juga Jalan Asia-Afrika dari depan Hotel Savoy Homan hingga depan Gedung Merdeka yang menjadi tempat dilaksanakannya Historical Walk dari para pemimpin delegasi KAA, ada pula Gedung Dwiwarna yang menjadi tempat rapat komisi-komisi, atau vila-vila di bagian utara Bandung yang disulap menjadi tempat peristirahatan delegasi karena kapasitas hotel yang terbatas, belum lagi beberapa tempat lainnya yang tentunya berperan dalam keberlangsungan KAA.
Bagi saya, ruang-ruang tersebut yang terkoneksi satu sama lain dalam “teater” KAA layak untuk dibingkai secara utuh dalam satu kawasan. Karena nilai budaya dan sejarahnya yang universal, kawasan KAA, dengan Gedung Merdeka sebagai jantungnya sangat layak diusulkan sebagai Warisan Dunia UNESCO yang mampu membawa kembali Bandung Spirit ke panggung internasional di tengah berbagai konflik global saat ini. Pengakuan ini juga akan memperkuat citra Indonesia sebagai pelopor perdamaian, sekaligus menghidupkan kembali ikatan diplomatik dengan negara-negara Asia-Afrika.
Kawasan KAA bukan sekadar ruas jalan dengan bangunan tua dan hantu-hantu yang mengajak berfoto saja. Ia adalah tempat di mana harapan tentang dunia yang lebih baik pernah digaungkan. Kota seperti Philadelphia, diakui UNESCO karena Independence Hall, tempat penandatanganan Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada 1776, menunjukkan bahwa peristiwa bersejarah dapat menjadi dasar pengakuan global. Saya kira, jika Independence Hall diakui karena demokrasi, KAA layak diakui karena dekolonisasi. Gedung Merdeka pada awalnya Societeit Concordia yang merupakan klub eksklusif warga Eropa dirancang oleh arsitek Belanda Van Galen dan Schoemaker pada 1920-an. Pilar-pilar megah dan ornamen Art Deco melekat pada bangunan ini. Namun pada tahun 1955, gedung ini bertransformasi. Gedung ini “dibajak” dari yang awalnya merupakan tempat para kolonialis berpesta menjadi pusat perumusan antikolonialisme dilangsungkan dengan diskusi sengit dan pidato-pidato kelas dunia.
Tantangan di Depan
Beberapa kali saya berjalan di Jalan Asia-Afrika dan beberapa kali juga saya membayangkan derap langkah Soekarno, Nehru, dan pemimpin dunia lainnya, yang pada akhir April 1955 berkumpul untuk menentang kolonialisme itu. Walau tak kadang pelamunan saya itu juga terpaksa dijeda akibat hadirnya beberapa orang yang menjajakan jasa foto, menjual bunga, mengamen, dan berbagai hal dari usaha pencarian uang. Hal itu menyadarkan saya bahwa upaya pelestarian bagi kawasan ini akan menghadapi tantangan berat. Modernisasi sering kali tidak sensitif terhadap karakter asli dari objek warisan budaya. Banyak bangunan kolonial di Jalan Asia-Afrika telah kehilangan identitasnya akibat renovasi yang mengutamakan fungsi komersial. Percis di sebelah barat Gedung Merdeka, lampu LED yang ditempel dengan sembrono pada bangunan eks-GEBEO mulai mengaburkan vista kawasan. Hal ini juga menciptakan kontras yang menutupi nilai penting dari objek warisan budaya. Belum lagi swalayan, kedai kopi multinasional dan papan iklan di beberapa sudut kawasan yang bagi saya menjadi ironi karena menciptakan kesan bahwa sejarah hanya menjadi latar belakang, bukan menjadi sajian utama Kawasan ini.
Muhammad Fadil Ramadhan dan Adi Prasetijo (2023) menyampaikan bahwa pelestarian warisan budaya harus menjaga narasi budaya untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Tapi bisa kita pertanyakan lagi pembangunan berkelanjutan yang seperti apa, bagaimana, untuk siapa? Karena itu, menurut saya, ke depannya pelestarian warisan budaya harus menggunakan pendekatan holistik yang menggabungkan restorasi fisik, promosi narasi sejarah, dan keterlibatan masyarakat. Jika tidak, saya kira kawasan ini berisiko menjadi piala kosong, dijejali jargon-jargon namun kehilangan makna dan kebermanfaatannya.
Relevansi Dasa Sila Bandung
Dasa Sila Bandung adalah jantung Bandung Spirit. Deklarasi ini menegaskan prinsip-prinsip kedaulatan, penyelesaian konflik secara damai, dan penolakan diskriminasi rasial. Kweku Ampinah (2007) berpendapat bahwa Dasa Sila Bandung adalah manifesto ideologis yang menginspirasi dekolonisasi global. Karena prinsip-prinsipnya yang visioner, deklarasi ini menjadi landasan Gerakan Non-Blok yaitu, sebuah gerakan yang menolak dominasi blok Barat atau Timur. Prinsip-prinsip ini tidak hanya relevan pada 1955, tetapi juga sangat kontekstual hingga kini, ketika dunia bergulat dengan ketidaksetaraan ekonomi, krisis iklim, dan konflik geopolitik. Misalnya, seruan untuk kerja sama global dalam Dasa Sila Bandung dapat diterapkan pada upaya bersama melawan perubahan iklim, di mana negara-negara berkembang membutuhkan solidaritas untuk menghadapi dampak yang tidak proporsional. Tukumbi Lumumba-Kasongo (2015) juga menyatakan bahwa KAA menawarkan alternatif multipolar melawan globalisasi unipolar, sebuah visi yang mengajak dunia merangkul solidaritas di tengah perbedaan.
Pada 2015, arsip KAA diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO yang mencakup pidato Soekarno, Nehru, dan dokumen resmi lainnya. Oleh UNESCO, arsip ini dianggap sebagai bukti material kontribusi Bandung terhadap perubahan geopolitik dunia. Tentu saja arsip ini bukan sekadar kertas tua yang telah menguning, melainkan suatu jembatan menuju masa depan atau dalam bahasa Haryo Kunto Wibisono, Ahmad Yani Ali R, dan Fadrin Fadhlan B. (2024) dikatakan bahwa KAA memperkuat solidaritas global, menghubungkan masa lalu dengan aspirasi masa kini. Karena itu, narasi Bandung Spirit harus direaktualisasi karena tanpa upaya ini, generasi muda mungkin hanya mengenal Gedung Merdeka sebagai latar foto, bukan simbol perjuangan yang mengubah dunia.
Diplomasi Budaya dan Manajemen Warisan
Mengajukan kawasan KAA sebagai Warisan Dunia adalah langkah strategis bagi Indonesia, terlebih setelah adanya Kementerian Kebudayaan yang menjadi tonggak di mana urusan kebudayaan menjadi hal penting dalam kehidupan bernegara kita. Itu artinya langkah ini merupakan implementasi kongkret dari diplomasi budaya. Sejak awal dilantik hingga kini, salah satu narasi yang digaungkan oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan adalah terkait ibukota kebudayaan dunia. Saya kira, hal yang paling realistis dalam merealisasikan visi itu adalah dengan mengajukan Kawasan KAA ini jadi Warisan Dunia.
Sekali lagi, pengajuan kawasan KAA sebagai Warisan Dunia merupakan langkah diplomasi budaya yang sangat realistis dan relevan. Dengan status warisan dunia, kita dapat memperkuat peran Indonesia sebagai pelopor solidaritas global. Selain itu, pengakuan UNESCO dapat meningkatkan pariwisata budaya, mendongkrak ekonomi lokal, dan memastikan pelestarian terhadap objek warisan budaya diselenggarakan dengan standar dunia. Bayangkan wisatawan dari seluruh dunia berjalan di Jalan Asia-Afrika, menelusuri jejak KAA, sambil membawa pulang cerita tentang solidaritas global. Manfaat ekonomi dari pariwisata ini dapat mendanai pelestarian lebih lanjut, menciptakan siklus positif antara pelestarian dan pembangunan. Namun, ingat juga bahwa tantangan yang dilalui pun tidak mudah. Sulistyanto (2008) mengatakan bahwa konflik kepentingan antara pembangunan dan pelestarian sering menghambat manajemen warisan dunia.
Beberapa warisan dunia yang ada di Indonesia menawarkan pelajaran berharga yang dapat menjadi gambaran tentang bagaimana manajemen warisan dunia dilaksanakan. Menurut Daud Airs Tanudirjo (2009), Borobudur menjadi model pengelolaan holistik yang menyeimbangkan pelestarian dan pariwisata. Pengelolaan Candi Borobudur melibatkan komunitas lokal dalam kegiatan pelestarian, di mana pengelola melakukan pelatihan pemandu wisata dan lokakarya kerajinan, sehingga masyarakat merasa memiliki warisan tersebut. Pada tahun 2020 Tanudirjo pun menyampaikan bahwa Sumbu Filosofis Yogyakarta yang kaya sejarah, menekankan model manajerial “pelestarian berbasis komunitas”. Kraton Yogyakarta, misalnya, tetap hidup sebagai pusat budaya karena keterlibatan warga dalam festival dan ritual. Warisan dunia lainnya yang ada di Indonesia yaitu Situs Sangiran, mengajarkan pentingnya resolusi konflik. Bambang Sulisyanto (2008) pun mengingatkan bahwa manajemen warisan dunia harus mengatasi konflik kepentingan melalui dialog dengan pemangku kepentingan. Sulisyanto menjelaskan tentang adanya konflik di Situs Sangiran antara kepentingan pertambangan dan pelestarian yang dapat diselesaikan melalui negosiasi yang melibatkan pemerintah, warga, dan akademisi. Beberapa best practice tersebut terlu diteladani oleh kita supaya Bandung dapat menemukan formulasi yang tepat sesuai karakteristik objek warisan budayanya dan juga karakteristik masyarakatnya.
Kolaborasi dan Visi Masa Depan
Dari berbagai best practice itu, saya menyimpulkan bahwa kesadaran publik adalah kunci keberhasilan pelestarian. Sayangnya, saya merasakan masih banyak warga Bandung yang hanya mengenal Jalan Asia-Afrika sebagai spot foto, bukan warisan sejarah yang bernilai universal. Padahal, kita perlu melihat KAA beserta kawasannya bukan hanya sebagai objek romantisasi masa lalu, tetapi sebagai inspirasi untuk masa depan, mendorong mereka menjadi agen solidaritas global.
Kolaborasi dengan negara-negara KAA juga penting. Peristiwa yang terjadi Bandung pada tahun 1955 menciptakan ruang –dalam bahasa Shimazu– di mana negara-negara Asia-Afrika berbagi visi Bersama. Jika India, Mesir, atau Ghana ikut mempromosikan kawasan ini melalui pameran budaya, program pertukaran pelajar, atau festival bersama, klaim Bandung akan menggema di panggung global. Saya membayangkan, pameran tentang KAA dapat digelar di Kairo atau New Delhi, menampilkan arsip dan seni yang merayakan solidaritas Asia-Afrika. Kolaborasi ini juga dapat menghidupkan kembali semangat solidaritas yang lahir pada 1955, memperkuat hubungan diplomatik di era sekarang. Karena upaya ini, kawasan KAA akan dikenal tidak hanya sebagai warisan Indonesia, tetapi juga sebagai simbol persatuan dunia.
Pada akhirnya, kawasan KAA bukan hanya milik Bandung atau Indonesia –ia adalah warisan dunia (walau belum diajukan dan disahkan). Status Warisan Dunia akan menghidupkan Bandung Spirit sebagai panggilan untuk keadilan dan solidaritas. Bandung dapat menegaskan posisinya sebagai penjaga solidaritas global, mengajak dunia merangkul persatuan di tengah perbedaan. Seperti halnya semangat pameran Spectres of Bandung di Berlin, kawasan ini harus menjadi cermin masa lalu yang menginspirasi masa depan. Dengan komitmen bersama –pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat sebagai penjaga, dan komunitas baik lokal maupun internasional sebagai pendukung– kita dapat membawa Bandung ke panggung dunia, membuktikan bahwa di tengah perbedaan, persatuan selalu mungkin, di tengah kekacauan global, masa lalu menyediakan solusi, dan di Bandung itu semua tersaji.
Bagi saya yang jadi warga Kota Bandung, inisiasi pengajuan Kawasan Konferensi Asia Afrika ini selain menjadi akselerasi pengelolaan kota yang kita cintai (tentu juga dalam beberapa hal saya benci) ini agar dikelola dengan standar dunia, juga menjadi ikhtiar agar kita senantiasa punya jangkar moral, bahwa dari sinilah antikolonialisme dimulai, sehingga saat di kota ini terjadi neokolonialisme dengan berbagai bentuk dan variannya, kita patut melawan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang Konferensi Asia Afrika