• Cerita
  • Konferensi Asia Afrika, Paul Tedjasurja, dan Buruknya Pengarsipan Kita

Konferensi Asia Afrika, Paul Tedjasurja, dan Buruknya Pengarsipan Kita

Paul Tedjasurja membuat 300-an foto seputar Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. tapi hanya sebagian saja yang terselamatkan.

Salah satu foto jepretan Paul Tedjasurja menangkap momen ketika Presiden Sukarno menengok persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. (Sumber foto: Bandung 1955: Moments of Asian African Conference)

Penulis Tri Joko Her Riadi18 April 2021


BandungBergerak.idKetika Konferensi Asia Afrika berlangsung di Bandung pada 18-24 April 1955, Paul Tedjasurja adalah seorang fotografer lepas berumur 25 tahun. Senjata andalannya kamera Leica III F seberat 1,5 kilogram pemberian calon mertua, disokong dengan lampu kilat 8 kilogram, perangkat aki untuk pencahayaan tambahan, serta beberapa rol film hitam putih.

Hasil bidikan Paul selama pekan bersejarah itu bisa dinikmati di buku “Bandung 1955: Moments of Asian African Conference” yang diterbitkan sebagai bagian dari rangkaian perayaan KAA ke-60 tahun pada April 2015 lalu. Di sana ada 63 foto buah kurasi Galih Sedayu.

Beragam momen dibekukan Paul, mulai dari kedatangan para delegasi luar negeri di Bandara Husein Sastranegara, suasana konferensi di Gedung Merdeka, jamuan makan, hingga kemeriahan warga di pinggiran jalan. Tidak ketinggalan, terdapat beberapa gambar yang menampilkan puluhan jurnalis yang sedang bekerja.

Foto-foto hasil jepretan Paul menunjukkan keleluasaan akses yang ia miliki. Adegan hormat oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta di luar Gedung Merdeka ia bidik dari jarak yang begitu dekat. Momen kedatangan Sukarno dan Ibu Negara Fatmawati di dalam gedung konferensi ia tangkap tepat lurus dari depan rombongan.

Paul tidak hanya mengabadikan gambar para tokoh besar yang hadir, mulai Chou Enlai dari Cina hingga Gamal Abdul Naser dari Mesir. Ia rekam juga kemeriahan di luar sidang. Beberapa fotonya menampilkan kerumunan orang di pinggiran jalan sekitar Gedung Merdeka. Ada juga sebuah foto yang membekukan momen ketika mojang-mojang Bandung meminta tanda tangan salah satu delegasi negara peserta.

Mengapa hanya 63 gambar yang dimuat di buku Bandung 1955? Terutama karena tidak semua gambar jepretan Paul, yang jumlahnya ditaksir sekitar 300-an gambar, selamat. Menyedihkan, tapi itulah yang senyatanya terjadi.

Dalam esai pengantar “Litani Paul Tedjasurja bagi Peringatan Konferensi Asia-Afrika”, Galih Sedayu menuliskan kisah tragis yang dialami Paul menjelang peringatan 30 tahun KAA pada tahun 1985. Seorang oknum pegawai pemerintah meminjam sebagian foto beserta negatif KAA 1955 dan tidak pernah mengembalikannya. Nasib dokumen sejarah yang luar biasa berharga itu pun tak ketahuan rimbanya hingga hari ini.

Informasi tentang asal-muasal ke-63 gambar tersebut tidak dijelaskan oleh Galih dalam pengantar buku. Namun esai versi lengkap berjudul “Paul Tedjasurja: Mata Sejarah dan Sang Pewarta Kesetiaan” yang termuat di blog pribadinya, www.galihsedayu.com, pada 26 Maret 2015, menyebut ke-63 gambar terkurasi itu merupakan buah pengarsipan digital sebagian negatif milik Paul yang dikerjakan oleh para sahabatnya untuk Pameran 50 Tahun KAA pada April 2005.

Kerja swadaya pengarsipan itu terasa makin penting setelah kobaran api melalap habis kantor Redaksi Pikiran Rakyat di Jalan Soekarno-Hatta 147 pada Sabtu, 4 Oktober 2014 subuh. Semua album dan negatif foto milik Paul, termasuk dokumentasi Konferensi Asia Afrika 1955, ludes. Tidak ada cadangan data yang pernah dibuat.

Buku Bandung 1955: Moments of Asian African Conference (2015) memuat 63 karya foto Paul Tedjasurja buah kurasi Galih Sedayu.
Buku Bandung 1955: Moments of Asian African Conference (2015) memuat 63 karya foto Paul Tedjasurja buah kurasi Galih Sedayu.

Dari Pikiran Rakjat ke Pikiran Rakyat

Paul Tedjasurja, kelahiran Surabaya, 19 Agustus 1930, mulai menggemari dunia fotografi dua tahun setelah pindah ke Kota Bandung pada 1949. Di Kota Kembang, ia menjadi pewarta foto lepas untuk majalah “Gembira”, selain sebuah agensi bernama “Preanger Foto”.

Paul menjadi kontributor Pikiran Rakjat sejak 1953. Mengambil nama majalah politik buatan Sukarno pada 1930-an, “Fikiran Ra’jat”, Warta Harian Pikiran Rakjat dinakhodai oleh oleh Djamal Ali. Kehadiran Asmarahadi di jajaran redaksi diyakini menjadi penyambung api antara koran tersebut dengan majalahnya Sukarno. Sebagai pemimpin redaksi, duduk Sakti Alamsyah. Nama salah satu reporternya adalah Atang Ruswita. Dua nama terakhir, bakal tercatat sebagai pendiri Harian Umum Pikiran Rakyat yang terbit di awal Orde Baru dan masih bertahan hingga hari ini. 

Terbit di Bandung, Pikiran Rakjat sangat berkepentingan dengan gelaran Konferensi Asia-Afrika. Euis Iskantini, dalam artikel “Harian Umum Pikiran Rakjat di Bandung 1950-1965: Pers Lokal yang Berorientasi Nasional”, terbit di Jurnal Pendidikan Sejarah “Historia” pada 12 Oktober 2019, mengungkap bagaimana Pikiran Rakjat memberikan porsi besar untuk gelaran KAA lewat sajian berita dan tajuknya. Bahkan ada semacam ‘demam KAA’. Menjelang 18 April 1955, Pikiran Rakjat telah menyediakan rubrik khusus yang menyajikan berbagai berita dan karangan khas (feature) terkait gelaran akbar tersebut, baik berupa profil negara peserta maupun pernak-pernik persiapan acara.

“... konperensi jang akan dilakukan itu adalah satu peristiwa besar di antara peristiwa-peristiwa besar jang akan timbul laksana gelombang-gelombang dari dasar samudera dalam abad keduapuluh jang bernama abad proklamasi, kemerdekaan dan revolusioner,” begitu Euis mengutip apa yang termuat di Pikiran Rakjat edisi 15 April 1955.

Artikel yang bisa diakses secara daring ini merupakan perasan skripsi Euis, yang lulus dari dari Jurusan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada 2001, berjudul Pandangan Harian Umum Pikiran Rakjat terhadap Masalah-masalah Politik Indonesia 1950-1965. Yang istimewa dari skripsi tersebut adalah wawawancara penulis dengan dua saksi hidup Pikiran Rakjat, yakni Atang Ruswita dan Soeharmono Tjitrosoewarno. Keterangan dari Sakti Alamsyah diwakilkan oleh sang anak yang kini menjabat Direktur Utama Pikiran Rakyat, Pikiran Rakyat.

Untuk mengetahui seperti apa foto jepretan Paul yang termuat di Pikiran Rakjat, dan berapa jumlahnya, kita harus menelisik arsip harian tersebut di perpustakaan, museum, atau kolektor. Tidak ada buku khusus yang menampungnya. Tidak juga buku “Pictorial Record of The Asian-African Conference” yang diterbitkan oleh The National Committee for the National Commemoration of the Thirtieth Anniversary of the Asian-African Conference pada 1985. Tahun yang sama dengan tahun nahas ketika Paul kehilangan sebagian foto dan negatifnya.

Buku ukuran lebar dengan isi kertas mewah tersebut menampilkan puluhan foto hitam-putih. Hanya di sebagian kecil foto dicantumkan sumbernya, yakni IPPHOS (Indonesia Press Photo Service). Selebihnya tidak ada keterangan sumber sama sekali.

Satu lagi buku yang diterbitkan dalam edisi peringatan itu, dijuduli “The Asian-African Conference: Views and News”, memuat fotokopi kliping koran-koran yang menyajikan laporan tentang konferensi. Salah satunya halaman muka Pikiran Rakjat edisi 19 April 1955 yang menampilkan berita utama “Persatuan Rakjat-rakjat Asia-Afrika Mulai Ditenun”. Foto memanjang tepat di bawah judul itu menangkap momen ketika Presiden Sukarno berpidato di mimbar utama. Apakah ini foto jepretan Paul? Ada keterangan foto di kliping itu, terdiri dari satu kata saja, namun sangat sulit untuk membacanya karena ukuran yang terlampau kecil.

Pada 1985, setelah menjadi kontributor selama puluhan tahun, Paul diangkat sebagai wartawan Pikiran Rakyat. Umurnya ketika itu sudah 55 tahun. Ia bergabung dengan gerbong pindahan dari Warta Harian Pikiran Rakjat. Di sana ada Sakti Alamsyah, Atang Ruswita, dan Soeharmono Tjitrosoewarno. Juga maskot yang awet bertahan hingga hari ini: Mang Ohle. Paul mengabdi selama 20 tahun di Pikiran Rakyat.

Nama Paul Tedjasurja, yang tutup usia pada Jumat (27/3/2020) petang di Bandung, harum dikenang berkat perjuangannya mengabadikan Konferensi Asia Afrika 1955 lewat foto. Kemalangan demi kemalangan yang merenggut dokumentasi bersejarah itu darinya mestinya menjadi peringatan keras: betapa buruk budaya pengarsipan kita selama ini!  

*Tulisan ini, dengan sedikit penyuntingan, pertama kali termuat di blog www.bukusakuwartawan.wordpress.com

Editor: Redaksi

COMMENTS

//