Benarkan Aplikasi Nyari Gawe Menjadi Solusi untuk Para Pencari Kerja di Jawa Barat?
Warga Jawa Barat lebih membutuhkan pekerjaan dan pendidikan. Terjadi kesenjangan antara jumlah pengangguran muda terdidik dan pengangguran pendidikan rendah.
Penulis Iman Herdiana28 Oktober 2025
BandungBergerak - Pemerintah Provinsi Jawa Barat meluncurkan aplikasi 'Nyari Gawe' yang bisa diunduh di Play Store. Laman Play Store langsung dibanjiri oleh para pencari kerja. Beberapa dari warganet mengeluhkan kinerja aplikasi ini, di antaranya soal sulitnya mendapatkan kode OTP dan susah mengunggah dokumen.
“Kode otpnya soooooo delaayyy🕑🕑 gue bahkan bisa nunggu sambil masak mie, and still haven't received the code??? Hadeuh,” demikian salah satu komentar warganet, diakses Selasa, 28 Oktober 2025.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan, aplikasi ketenagakerjaan 'Nyari Gawe' diluncurkan untuk menghilangkan sistem pungli atau permainan antara HRD, tokoh masyarakat dan calon pekerja. Warga lokal akan menjadi prioritas untuk diterima kerja di pabrik atau perusahaan terdekat.
KDM mengklaim, aplikasi Nyari Gawe menjadi solusi konkret atas kesulitan masyarakat dalam mencari pekerjaan. Ia menilai, cara konvensional melamar kerja dengan membawa berkas fisik sudah tidak relevan di era digital.
"Gak usah melamar sambil bawa-bawa map sambil dengerin lagu ‘Sarjana Muda’ Iwan Fals, kan sedih. Sekarang di Jawa Barat pakai sistem aplikasi. Kalau sudah diterima kerja, baru urus persyaratan seperti SKCK dan kesehatan," tegasnya, dalam keterangan resmi, Jumat, 17 Oktober 2025.
Warga Jabar Membutuhkan Pekerjaan dan Pendidikan
Tingginya animo warganet mengunjunggi laman Play Store dan mengunduh aplikasi 'Nyari Gawe' karena mereka membutuhkan informasi lapangan pekerjaan, dengan harapan bisa diterima bekerja. Faktanya, di Jawa Barat terjadi ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan kerja.
Berdasarkan data Open Data Jawa Barat tahun 2023, tercatat 337.073 pencari kerja yang terdaftar. Namun, jumlah lowongan kerja yang tersedia pada periode yang sama hanya mencapai 169.005 lowongan. Artinya, dari setiap dua pencari kerja, hanya tersedia satu peluang kerja yang tercatat secara resmi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun tren pengangguran menurun, kebutuhan akan lapangan kerja baru masih sangat mendesak. Kabupaten Bekasi menjadi wilayah dengan jumlah pencari kerja terbanyak, disusul oleh Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Karawang.
Dari sisi angka pengangguran, Jawa Barat mencatat penurunan signifikan dalam delapan tahun terakhir. Setelah sempat melonjak akibat pandemi Covid-19, jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta orang, namun terus menurun hingga tahun 2024 menjadi 1.768.226 orang.
Meski demikian, sebaran pengangguran tidak merata antarwilayah. Kabupaten Bogor tercatat memiliki jumlah pengangguran terbuka tertinggi di provinsi ini dengan 210.186 orang, disusul oleh Kabupaten Bandung sebanyak 121.455 orang, dan Kabupaten Sukabumi dengan 107.550 orang.
Kabupaten Pangandaran mencatat angka terendah, hanya 4.380 orang. Adapun Kota Bandung mencatat 100.310 pengangguran pada tahun 2024.
Tren di Kota Bandung pada tahun 2020, mayoritas pengangguran merupakan lulusan SMA, mencapai hampir setengah dari total angka pengangguran saat itu.
Data tersebut menegaskan bahwa tantangan ketenagakerjaan di Jawa Barat tidak hanya pada ketersediaan lapangan kerja, tetapi juga pada kesesuaian pendidikan dan keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri.
Dengan lebih dari 337 ribu pencari kerja yang bersaing untuk 169 ribu lowongan, Jawa Barat menghadapi tugas besar: memastikan penurunan angka pengangguran tidak hanya bersifat statistik, tetapi juga berdampak nyata melalui penciptaan kesempatan kerja yang lebih merata di seluruh wilayah.
Pencari Kerja di Jawa Barat: Orang Muda, Berpendidikan Rendah, dan Penganggur Terdidik
Permasalahan ketenagakerjaan di Jawa Barat tidak hanya disebabkan oleh jumlah penduduk usia kerja yang besar, tetapi juga oleh kualitas tenaga kerja yang masih rendah. Menurut Nunung Nurwati dalam artikelnya berjudul “Kondisi Ketenagakerjaan di Jawa Barat dan MEA” di ResearchGate (2018), berdasarkan data Survei Ketenagakerjaan Nasional tahun 2012, 49,45 persen dari total angkatan kerja di Jawa Barat hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), sementara lulusan perguruan tinggi jumlahnya sangat sedikit.
Kondisi ini membuat tenaga kerja sulit bersaing di pasar kerja karena rendahnya keterampilan dan daya tawar. Akibatnya, banyak di antara mereka akhirnya menganggur atau bekerja dengan upah rendah di sektor informal. Nunung menyebutkan bahwa secara umum, permasalahan ketenagakerjaan di Jawa Barat disebabkan oleh kelebihan tenaga kerja tidak terampil, ketidaksiapan terhadap tuntutan industri, serta ketidaksesuaian antara keterampilan dan jenis pekerjaan yang tersedia.
Data juga menunjukkan peningkatan jumlah penduduk usia kerja di Jawa Barat dari 32,8 juta pada 2013 menjadi 34,1 juta pada 2014, sebelum turun sekitar 1 juta orang pada 2015. Meski angka yang bekerja lebih banyak dibandingkan yang menganggur, pengangguran tetap menjadi masalah utama yang perlu diwaspadai. Nunung menegaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk usia kerja seharusnya diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai.
Pada periode 2013–2015, jumlah pengangguran di Jawa Barat kurang dari 2 juta jiwa, sementara lebih dari 50 persen tenaga kerja bekerja di sektor informal. Mayoritas dari mereka berlatar belakang pendidikan SD dan SMP, dengan sedikit sekali lulusan diploma dan perguruan tinggi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tenaga kerja Jawa Barat masih tertinggal dalam hal kompetensi dan keterampilan, sehingga sulit bersaing baik di pasar kerja nasional maupun menghadapi integrasi ekonomi regional.
Menariknya, Nunung juga mencatat munculnya pengangguran terdidik — yaitu mereka yang berpendidikan tinggi namun belum terserap pasar kerja. Fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan lulusan diploma dan perguruan tinggi yang lebih selektif dalam memilih pekerjaan dan upah.
Dengan demikian, kondisi tenaga kerja di Jawa Barat masih didominasi oleh dua kelompok rentan: mereka yang rendah keterampilan dan mereka yang berpendidikan tinggi namun belum terserap, yang keduanya sebagian besar berasal dari kelompok usia muda.
[baca_juga]
Tujuh dari Sepuluh Penganggur di Jawa Barat Adalah Orang Muda
Penelitian Adhitya Wardhana dkk. dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran memperkuat fakta bahwa pengangguran di Jawa Barat didominasi oleh usia muda. Dalam jurnal berjudul “Pengangguran Usia Muda di Jawa Barat (Menggunakan Data Sakernas)” (2019), disebutkan bahwa berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2017, 75,73 persen dari total pengangguran di Jawa Barat merupakan penduduk usia 15–29 tahun.
Dari 7,04 juta penganggur di Indonesia pada 2017, 72,29 persen atau 5,09 juta di antaranya adalah pengangguran muda.
Penelitian ini mengungkap bahwa pendidikan justru berpengaruh positif terhadap peluang seseorang menjadi penganggur muda. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin besar kecenderungan menjadi pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa banyak lulusan muda yang tidak segera terserap pasar kerja meski memiliki pendidikan formal lebih tinggi.
Selain itu, variabel pelatihan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran muda. Artinya, pernah atau tidaknya seseorang mengikuti pelatihan tidak memengaruhi peluangnya menjadi penganggur. Sementara itu, faktor umur, status perkawinan, status dalam rumah tangga, dan ukuran rumah tangga berpengaruh signifikan: semakin dewasa usia dan semakin besar tanggung jawab keluarga, peluang menjadi penganggur cenderung menurun.
Wardhana dkk. menegaskan bahwa tingginya pengangguran usia muda harus menjadi perhatian karena berkaitan langsung dengan bonus demografi. Jika kelompok muda produktif ini tidak mendapatkan akses pekerjaan yang layak dan produktif, potensi demografis tersebut justru bisa menjadi beban. Seperti diingatkan oleh Boediono (2016), pengangguran usia muda yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial.
Dengan demikian, kondisi tenaga kerja di Jawa Barat memperlihatkan ironi ganda: di satu sisi, banyak tenaga kerja muda berpendidikan rendah yang sulit bersaing, dan di sisi lain, muncul pengangguran muda berpendidikan tinggi yang tidak terserap pasar kerja.
Kedua kondisi tersebut menegaskan bahwa mayoritas pencari kerja di Jawa Barat adalah orang muda, namun sistem pendidikan dan kebijakan ketenagakerjaan belum sepenuhnya mampu menjembatani mereka. Apakah aplikasi Nyari Gawe mampu menjembataninya?
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

