• Berita
  • KELAS LIAR BESAR: Membedah Kepemimpinan Zombie dan Akademisi Toksik

KELAS LIAR BESAR: Membedah Kepemimpinan Zombie dan Akademisi Toksik

Kelas Liar Besar mempererat solidaritas dan membangun jaringan intelektual antara mahasiswa dan dosen lintas kampus di Bandung Raya.

Suasana Kelas Liar Besar yang digelar di pegunungan selatan Bandung, Sabtu, 25 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 31 Oktober 2025


BandungBergerakDunia pendidikan tinggi Indonesia tengah menghadapi persoalan serius yang bukan sekadar masalah personal, melainkan persoalan struktural yang melahirkan apa yang disebut sebagai “universitas toksik”. Kondisi ini kian diperparah oleh kuatnya pengaruh ideologi neoliberalisme di ranah pendidikan.

Tanius Sebastian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, menjelaskan bahwa logika pasar kini menguasai dunia kampus. Perguruan tinggi dituntut untuk meluluskan mahasiswa dengan cepat dan dalam jumlah besar. Jika tidak, mereka akan “dihukum”.

“Pesimisme yang pertama adalah logika pasar pendidikan tinggi, sekarang ada tuntutan untuk lulus cepat. Karena kalau kampus tidak meluluskan dengan cepat dan tidak meluluskan dengan banyak, kampusnya akan dihukum,” jelas Tanius, di salah satu sesi Kelas Liar Besar di pegunungan Bandung selatan, Jumat, 24 Oktober 2025.

Tekanan pasar ini, kata Tanius, mengorbankan kualitas dan standar pendidikan. Hubungan antardosen dan mahasiswa pun berubah menjadi serba birokratis. Segala urusan kini harus disertai surat, proposal, format, dan tanda tangan, sehingga interaksi akademik kehilangan kehangatan intelektualnya.

Tanius juga menyoroti melemahnya nalar kritis di kalangan mahasiswa. Menurutnya, kondisi ini telah menular luas dan menjadi gejala yang mengkhawatirkan.

“Buat saya juga ini pesimisme dan ini menjangkiti kita, menjangkiti teman-teman kita,” ujarnya.

Ia menyebut kampus hari ini mengidap dua penyakit utama: “kepemimpinan zombie” dan “akademisi toksik”. Para pemimpin kampus—rektor, dekan, kaprodi—disebut seperti zombie: hidup tetapi tak berpikir, kehilangan nilai dan jiwa. Mereka mempertahankan praktik-praktik aneh seperti komersialisasi pendidikan dan audit nilai yang dinegosiasikan.

“Kumpulan ritual dan praktik aneh yang menyertainya, dapat dipertahankan dan ditoleransi selama ini,” kata Tanius.

Sementara itu, akademisi toksik menciptakan persaingan tidak sehat dan menghancurkan semangat kolaborasi. Mereka membangun citra palsu demi gengsi universitas, termasuk dengan memajang nama-nama terkenal tanpa kontribusi akademik nyata.

“Sementara di sisi lain ada penghancuran konsep kolaborasi dengan menciptakan akademisi Robstad yaitu dengan cara mengakali universitas lain,” ungkapnya.

Kampus dan Fundamentalisme Pasar

Menurut Tanius, neoliberalisme—yang ia sebut sebagai fundamentalisme kapitalis atau fundamentalisme pasar—menyebarkan ketakutan di dunia kampus. Universitas takut gagal merebut mahasiswa unggulan atau hibah penelitian kompetitif. Akademisi takut dihukum jika tak ikut “bermain” dalam sistem keserakahan itu.

“Terutama untuk mempertahankan berbagai praktik manajerial,” jelas Tanius.

Mahasiswa pun ikut terjebak. Mereka takut tak mendapat pekerjaan jika tidak masuk universitas ternama atau kalah dalam persaingan nilai. Pendidikan akhirnya direduksi menjadi sekadar tiket menuju pekerjaan, bukan proses menuju pencerahan.

Fenomena komersialisasi tampak jelas, misalnya dalam sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa kampus. Pendaftaran awal diberi potongan biaya, sedangkan pendaftaran belakangan dibebani UKT lebih tinggi. Logika “siapa cepat, dia dapat” ini menjadikan pendidikan sebagai ajang perebutan uang, bukan lagi pelayanan publik.

Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Pemangkasan dana Kemendikbudristek sebesar 14,3 triliun rupiah dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar 8,03 triliun rupiah menunjukkan arah kebijakan yang makin menjauh dari kepentingan rakyat.

Baca Juga: KELAS LIAR #1: Membedah Pola Penggusuran Kampung Kota di Bandung dan Langkah-langkah Advokasinya
KELAS LIAR #10 DI PURWAKARTA: Berisik atau Tersingkir, ketika Orang Muda Kehilangan Ruang Bicara

Peserta Kelas Liar Besar yang digelar di pegunungan selatan Bandung, Sabtu, 25 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Peserta Kelas Liar Besar yang digelar di pegunungan selatan Bandung, Sabtu, 25 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Ketakutan yang Membungkam

Ketakutan bersuara kini menjadi fenomena umum di kampus. Banyak mahasiswa enggan berbicara karena takut salah, takut diejek, atau trauma dengan pengalaman buruk sebelumnya.

Asghar Al-Qahri, peserta Kelas Liar Besar yang juga mahasiswa, menyebut kampusnya “otoriter” dan “represif”. Ia menyoroti perubahan mendadak kebijakan UKT yang kini mewajibkan pembayaran penuh di awal semester.

“Nah, itu diubah sama dari rektornya yang di mana mahasiswa itu dari awal semester itu sudah harus bayar full,” kata Asghar.

Kebijakan itu memicu keberatan karena sebelumnya mahasiswa bisa membayar dua kali, sebelum UTS dan UAS. Selain itu, Asghar juga mengalami kekerasan ketika mengkritik standar ganda dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru.

“Panitianya sendiri itu merokok, dan panitianya sendiri itu terlambat. Tapi kok bisa-bisanya mereka itu mengadili mahasiswa baru setegas itu kemudian dari dirinya itu sendiri itu enggak merefleksi diri itu,” ujarnya.

“Saya itu digebuk ramai-ramai sama panitia sendiri. Terus saya itu dipukul... saya tuh pas itu malah dikasih ancaman,” ungkapnya.

Akibat pengalaman itu, Asghar mengaku trauma dan merasa terasing di lingkungannya sendiri. Ia bahkan sempat mempertimbangkan untuk berhenti kuliah.

“Sampai bagaimana aku sendiri tuh sekarang itu lagi di sisi apakah lanjut kuliah atau berhenti,” katanya.

Keresahan serupa diungkapkan Nabil Bagus Satrio, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta. Ia menilai otoritarianisme kampus muncul karena lembaga pendidikan tunduk pada tekanan pemerintah.

“Nah, di situ mereka mau enggak mau harus mengikuti alur permainan dari pemerintah. Dari pemerintah. Kayak gitu,” kata Nabil. 

Nabil juga menyoroti pragmatisme di kalangan mahasiswa yang hanya fokus mencari pekerjaan, tanpa sadar memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat.

“Mereka tuh enggak tahu bahwasanya mahasiswa tuh bukan cuma nyari gelar doang tapi juga menjadi apa ya? Punya beban moral tersendiri kepada masyarakat,” tegasnya. 

Ia berharap mahasiswa bisa kembali menjadi agen perubahan yang berpikir bebas, kritis, dan berjuang untuk kepentingan masyarakat, bukan sekadar menyiapkan diri menjadi pekerja.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//