KELAS LIAR BESAR: Bandung, Kota yang Terkoyak Sejak Lahir
Banjir, kemacetan, lemahnya transportasi publik, sampah, trotoar rusak, alih fungsi lahan bisa ditelusuri sejak awal kelahiran Kota Bandung.
Penulis Ryan D.Afriliyana 31 Oktober 2025
BandungBergerak - Bandung, kota yang kini dikenal Paris van Java, ternyata memiliki sejarah dan lanskap geografis yang jauh lebih kompleks daripada citra modernya. Kota ini berdiri di atas jejak alam yang terus diubah, bahkan dirusak, demi modernisasi yang disebut sebagai kemajuan.
Zen RS menggambarkan Bandung secara geografis seperti mangkok dengan bocoran di sekitar Padalarang. Gambaran itu bukan sekadar metafora, melainkan fakta geologis bahwa Bandung dulunya adalah laut atau danau purba. Beragam fosil dan jenis batuan di kawasan Padalarang menjadi buktinya.
"Bandung tuh kan pernah dua kali tenggelam ya. Pada dasarnya memang ini laut dulu," ucap Zen RS, di Kelas Liar Besar yang digelar di pegunungan selatan Bandung, Sabtu, 25 Oktober 2025.
Esais dan Pemimpin Redaksi Narasi TV ini membedah persoalan yang kini dihadapi Bandung, mulai dari tata ruang yang amburadul, krisis lingkungan, hingga ketimpangan sosial. Zen membuka diskusi dengan mengajak peserta merenungi perubahan lanskap Bandung yang kian kehilangan arah.
Pada masa Bandung purba, Zen melanjutkan, manusia hanya bisa hidup di sekitar Dago Pakar, titik tertinggi wilayah ini, karena sebagian besar Bandung masih terendam air. Bandung yang pernah tenggelam, menegaskan bahwa secara alami wilayah ini bukan tempat ideal bagi kehidupan manusia. Hanya makhluk dengan insang yang bisa bertahan hidup kala itu.
"Kritik ilmuan di Bandung itu makin sangat serius justru karena secara geografis dan secara historis Bandung itu memang bukan tempat buat manusia dulunya gitu," ujar Zen.
Dahulu, pusat pemerintahan terdekat dengan Bandung berada di Parakan Muncang, wilayah yang kini termasuk daerah Cicalengka. Bandung baru menjadi penting setelah pembangunan Jalan Raya Pos yang memangkas waktu tempuh perjalanan dari seminggu menjadi dua hari. Dari sinilah peran Bandung sebagai pusat aktivitas manusia mulai tumbuh.
Zen menjelaskan bahwa proses modernisasi Bandung sejak awal dijalankan oleh para tuan tanah dan pengusaha perkebunan. Mereka mengubah bentang alam dengan cara yang destruktif: hutan-hutan di Lembang dibuka menjadi kawasan agroindustri teh, pinus, dan kopi.
"Jadi kota ini dibangun oleh orang yang pada dasarnya merusak landscape Bandung ya," ungkap Zen.
Bandung bahkan pernah dipertimbangkan sebagai calon ibu kota negara. Banyak kantor pusat BUMN berdiri di kota ini karena rencana tersebut. Namun, rencana itu gagal setelah Perang Dunia Kedua.
"Karena memang calon di ibu kota. Untung perang dunia kedua. Akhirnya tidak jadi ibu kota. Gitu. Jadi, Bandung adalah senior IKN," kata Zen.
Menuai Bandung Kini
Sejarah panjang perubahan bentang alam Bandung menuai buahnya kini. Banjir yang datang setiap hujan, polusi udara yang meningkat, serta krisis pangan menjadi gejala dari perusakan lingkungan yang panjang.
"Bandung tuh hanya punya 4 persen dari 96 persen untuk memenuhi kebutuhan makanannya," jelas Zen.
Lahan pertanian menyusut drastis akibat alih fungsi besar-besaran, terutama di kawasan resapan air. Akar persoalannya tetap sama: kota ini dimodernisasi dengan cara merusak sumber kehidupannya sendiri.
Masalah lain muncul dari sampah, cermin dari cara masyarakat modern memperlakukan benda-benda yang pernah diinginkan lalu dibuang. Masalah sampah jauh lebih kompleks.
"Pada saat kita sudah selesai urusannya dengan benda-benda yang sudah tidak kita inginkan, ada satu masyarakat yang baru mulai berurusan dengan benda-benda itu," kata Zen.
Zen menyoroti sistem pengelolaan sampah yang menuntut warga membayar untuk membuangnya, padahal sampah dari satu kelompok kerap menjadi beban bagi kelompok lain. Semua itu menciptakan lingkaran masalah yang tidak pernah selesai.
Kemacetan juga menjadi bagian dari wajah kota yang rusak. Bahkan kemacetan telah menjadi hal lumrah di Bandung. Kepadatan lalu lintas, alih fungsi lahan, dan persoalan sampah semuanya saling berkelindan, membentuk ketimpangan sosial yang kian mencolok, di mana hunian kumuh berdampingan dengan apartemen mewah.
Baca Juga:KELAS LIAR #1: Membedah Pola Penggusuran Kampung Kota di Bandung dan Langkah-langkah Advokasinya
KELAS LIAR #10 DI PURWAKARTA: Berisik atau Tersingkir, ketika Orang Muda Kehilangan Ruang Bicara

Krisis Multidimensi
Krisis multidimensi Bandung dirasakan oleh generasi muda. Dini Laila Syifa Az-Zahra, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), mengaku terkejut ketika mengetahui bahwa kota kelahirannya dibangun oleh para pengusaha yang justru merusak lanskapnya.
"Tapi pas tahu ternyata emang Bandung tidak didesain untuk ditinggali, dihuni oleh manusia tuh jadi kayak agak kecewa tapi kan udah terjadi," ujarnya.
Meski begitu, Dini menyadari bahwa kehidupannya tetap tumbuh di kota yang “tidak didesain untuk manusia” itu. Ia melihat Bandung kini tengah menghadapi krisis tata ruang dan lingkungan yang serius.
"Aku setuju sama masalah-masalah yang kemarin dibahas dan kelas kemarin itu bikin aku mikir apa sebenarnya peran aku yang bisa dilakukan gitu," katanya.
Salah satu masalah yang mengusiknya adalah minimnya Bank Sampah di Bandung.
"Nah, ini sebenarnya yang bikin aku kesel adalah Bank Sampah di Bandung tuh masih sedikit," keluhnya.
Dini harus menempuh jarak jauh ke Kiaracondong atau Cimahi untuk menyetorkan sampah, dan meski hasilnya tidak seberapa, baginya bukan soal nilai uang.
"Masalah kita bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan sebenarnya," tuturnya.
Selain itu, Dini menyoroti lemahnya perhatian terhadap transportasi publik. Ia mengenang masa sekolah saat masih sering naik angkot.
"Aku pengguna bangetlah gitu dan itu tuh cukup menyenangkan sebenarnya," kenangnya.
Kini, budaya menggunakan transportasi umum semakin memudar seiring hadirnya ojek daring dan kurangnya peningkatan layanan publik.
"Kita tuh perlu banget transportasi umum. Harusnya kita tuh lebih berisik lagi ke pemerintah," tegasnya.
Sonya, mahasiswa Universitas Terbuka Bandung yang tinggal di Cimahi, juga menyuarakan kekecewaannya terhadap kondisi transportasi publik di Bandung.
"Buat saya yang tidak bisa membawa kendaraan pribadi karena alasan kesehatan, itu tuh sangat menyulitkan gitu dan bahkan gaji saya tuh setengahnya untuk transportasi seperti itu," ujarnya.
Ia menilai, transportasi di Bandung tidak terintegrasi dan cenderung mahal. Kondisi trotoar yang rusak juga ia soroti.
"Saya pribadi tuh sempat jatuh di trotoar beberapa kali kayak gitu karena memang trotoarnya tuh kurang layak seperti itu," ucap Sonya.
Menurutnya, jika bagi orang sehat saja sudah menyulitkan, maka bagi penyandang disabilitas lebih parah lagi.
"Jadi menurut saya Bandung tidak sangat tidak inklusi untuk disabilitas sih," tuturnya.
Bandung kini seperti menanggung konsekuensi sejarah panjang perusakan. Di balik julukan modernnya, Bandung terus berjuang dengan geografis dan ekologisnya yang terkoyak.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

