SABTU SORE #31: Lembang Kehilangan Rumput dan Sejarahnya, Mengapa Dataran Tinggi Ini Sekarang Dirundung Banjir?
Alih fungsi lahan dan hilangnya aliran sungai membuat Lembang kehilangan daya serap alaminya. Banjir akibat langsung dari terhapusnya lanskap ekologis masa lalu.
Penulis Rita Lestari1 November 2025
BandungBergerak - Lembang yang kini dikenal sebagai kawasan wisata di Bandung Utara, ternyata menyimpan sejarah ekologis yang perlahan hilang. Jejak itu ditelusuri oleh Malia Nur Alifa, penulis dan periset sejarah Lembang, yang berupaya menghidupkan kembali ingatan masyarakat akan lanskap aslinya. Termasuk banjir di Lembang yang memiliki jejaknya di masa lalu.
Lembang bukan hanya nama sebuah daerah. Malia menemukan bahwa “lembang” juga merupakan nama sejenis rumput besar, dikenal pula sebagai ampet atau embet, yang dulu tumbuh subur di sepanjang aliran sungai di dataran tinggi Bandung Utara.
“Saya pindah ke Lembang tahun 1994 dan masih menyaksikan yang namanya Situ Umar yang sekarang jadi Floating Market, itu masih banyak sekali rumput lembang,” kenang Malia, di diskusi Sabtu Sore: Melihat Lembang dalam Lintasan Sejarah, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 25 oktober 2025.
Melalui perbandingan peta tahun 1919 dengan citra Google Maps 2004, Malia menunjukkan perubahan besar di wilayah itu. Sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan kini nyaris tak terlihat, tertutup bangunan dan kawasan wisata. Padahal, di sepanjang aliran itulah rumput lembang pernah hidup, membantu menjaga daya serap air tanah.
Menurut Malia, di peta lama kawasan Alun-alun Lembang memiliki aliran sungai yang menjadi tempat rumput-rumput lembang tumbuh. Kini, aliran itu telah tertutup bangunan. Tak ada lagi rumput lembang yang menjadi media resapan air.
Malia juga memperlihatkan foto Lembang tempo dulu di tanjakan Cibogo, yang kadang sering disalahpahami sebagai tanjakan Emen. Tanjakan Cibogo berlokasi di dekat Cikole, sementara tanjakan Emin berada di sekitar jalan Gunung Tangkuban Parahu, Subang. Di foto itu, lanskap tanjakan Cibogo hijau dan rimbun, jauh berbeda dari kondisi hari ini.
“Banyak orang-orang bilang ini tanjakan yang lain, padahal itu tanjakan Cibogo. Ini foto tahun 1972,” ujarnya.
Kini, geliat pariwisata menjangkau hampir seluruh kawasan—dari Gudangkahuripan hingga Cikole, dari Farm House hingga Orchid Forest. Lahan hijau beralih fungsi menjadi area wisata dan permukiman. Dampaknya terasa nyata: kemacetan yang kian parah dan banjir yang kerap datang setiap musim hujan.
“Dulu mah kalau hujan enak, bisa tidur. Sekarang hujan deg-degan. Aneh, orang gunung tapi deg-degan banjir,” kata Malia getir.
Dalam dokumentasi lama yang ia kumpulkan, tersimpan ironi. Lembang yang dulu asri kini berubah menjadi kota wisata yang kehilangan keseimbangan antara alam dan pembangunan.
“Jadi Lembang tuh kalau hujan ya udah ya, Gunung Putri udah paving blok semua. Terus kalau hujan ya pasti ke permukiman udah habis gitu. Hanya enak untuk yang berkunjung, tapi warga sangat dirugikan,” tutur Malia.

Stigma pada Sejarah
Di balik riuh wisatawan yang membanjiri Lembang dengan pesona alam dan destinasi wisatanya, Malia menyingkap kisah sejarah yang kerap kali terabaikan. “Jas merah, jangan sekali kali melupakan sejarah,” demikian kata pepatah. Namun banyak yang menganggap sejarah membosankan, identik dengan hafalan tahun dan tanggal.
Stigma inilah yang coba dipecahkan Malia selama menggeluti sejarah Lembang. Ia ingin sejarah bisa dinikmati dengan cara yang menyenangkan. Tak hanya menulis buku sejarah yang dikemas dengan bahasa ringan, Malia mengajar sejarah dengan pendekatan yang unik. Ia sering mengaitkan kisah masa lalu dengan benda-benda keseharian, menggugah rasa ingin tahu muridnya lewat objek yang akrab di sekitar mereka.
“Saya sering mulai dari benda yang ada di rumah, misalnya ada guling atau odading. Dari situ saya ceritakan bahwa sejarah bisa muncul dari benda-benda yang kita pegang setiap hari,” ujar Malia.
Dari pendekatan itulah ia menemukan cara untuk membuat sejarah terasa dekat. Misalnya, ketika membahas guling, ia menceritakan bahwa pada masa kolonial Belanda, guling dikenal dengan sebutan The Dutch Wife. Istilah itu muncul karena banyak orang Belanda yang memakai guling sebagai “pengganti pasangan”. Dari sana, pembahasan pun melebar ke kondisi sosial masa kolonial hingga munculnya rumah sakit pertama di Bandung yang konon menangani penyakit kulit dan kelamin.

Yang tersembunyi dalam Mitos Leluhur
Bagi Malia, Lembang menyimpan berbagai kisah masa lalu yang penuh teka-teki. Salah satunya adalah cerita rakyat Gunung Tangkuban Parahu. Sejak kecil, Malia sudah akrab dengan kisah Dayang Sumbi yang menikah dengan seekor anjing bernama Tumang dan melahirkan seorang anak bernama Sangkuriang. Namun, rasa ingin tahu membuatnya mulai menggali lebih dalam
“Dulu saya selalu berpikir, kok bisa Dayang Sumbi lahir dari babi betina, lalu menikah dengan anjing? Tapi setelah saya telusuri, kisah itu bukan sekadar fantasi,” tutur Malia.
Berdasarkan penelusurannya, kisah rakyat banyak memiliki pola serupa di berbagai daerah. Beragam tokoh dan adegan sering kali muncul dalam bentuk perumpamaan atau simbolik. Kisah Dayang Sumbi dan Tumang pun bisa dibaca sebagai gambaran simbolik tentang perbedaan derajat atau batas sosial karena pengaruh tradisi Hindu.
“Jadi sebenarnya cara leluhur kita untuk mengatakan kisah masa lalu itu mungkin pada saat itu FOMO-nya seperti itu, caranya seperti itu,” ujar Malia
Pada saat itu legenda menjadi medium untuk menjelaskan fenomena yang tak mampu diterangkan dengan logika. Leluhur membaca alam, bencana, dan perubahan zaman melalui bahasa simbol. Karena itu, membaca ulang kisah dan mitos mereka bukan sekadar menghidupkan cerita lama, tetapi juga memahami bagaimana masyarakat terdahulu berpikir, merasakan, dan hidup selaras dengan alamnya.

Penghasil Kopi dan Teh
Kini, Lembang identik dengan kebun sayur, susu segar, dan wisata. Namun jauh sebelum itu, tanah sejuk di utara Bandung ini pernah menjadi pusat perkebunan kopi dan teh pada masa kolonial. Salah satu jejaknya bisa ditemukan dalam bangunan bernama rumah Denis, dan Kampung Buah batu legok.
Rumah Denis berada tepat di belakang Polsek Lembang. Rumah ini bukan sekadar bangunan tua, dahulu rumah Denis menjadi tempat para buruh perkebunan teh mengambil upah mereka. Malia menjelaskan bahwa dahulu para buruh digaji menggunakana koin berbagai warna, koin tersebut ditukar dengan uang asli di rumah denis.
Dahulu Lembang dan sekitarnya memiliki tiga perkebunan teh besar: Ciumbuleuit, Baru Ajak, dan Sukawana. Namun, Hanya Sukawana yang masih memproduksi teh hingga kini. Dua kebun lainnya, Ciumbuleuit dan Baru Ajak dilikuidasi sekitar tahun 1920-an karena hasil panennya kalah bersaing dengan perkebunan Ciater.
Teh bukan satu-satunya hasil bumi Lembang, terdapat juga perkebunan kopi yang jejaknya terabadikan dalam wilayah Buah Batu atau Legok. Legok menyimpan jejak masa lalu sebagai perkampungan buruh perkebunan kopi. Para pekerjanya didatangkan dari Semarang dan Cirebon, juga berbagai daerah di Bandung seperti Dago, Kosambi, dan Cibenying. Mereka lalu membentuk kampung-kampung baru dengan nama asal daerahnya: Kampung Dago, Kampung Cibeunying, hingga Kampung Buah Batu.

Yang Hilang dari Lembang
Ada yang hilang saat Lembang tak lagi dikuasai penjajah, bukan hanya kekuasaan kolonialnya, tetapi juga jejak-jejak sejarah yang perlahan lenyap dari pandangan, salah satunya adalah patung ikonik yang berbentuk sapi. Patung tersebut dahulu terletak di kawasan Baru Ajak, menjadi perlambang tradisi agraris dan sapi perah.
Berita mengenai patung tersebut pernah dimuat di leeuwarder courant, merupakan salah satu surat kabar tertua di belanda yang berfokus pada berita dan budaya Friesland. Di Belanda juga terdapat patung sapi dengan bentuk yang hampir serupa, patung tersebut menjadi jembatan simbolis antara Friesland dan Lembang, yang keduanya dikenal sebagai wilayah agraris dengan tradisi peternakan yang kuat.
Tak hanya patung, Malia juga menyinggung tentang Kampung Cilameta, sebuah kampung tua di kawasan Jayagiri yang dahulu dikenal karena pohon kesumba, penghasil pewarna alami yang diupetikan ke VOC. Namun, menurut kesaksian warga sekitar, kampung itu tiba-tiba hilang, penduduknya mati secara masal konon akibat keracunan jamur.

Arkeologi Simetris
Karguna Purnama Harya, pegiat sejarah yang juga menjadi narsumber Sabtu Sore, memaparkan perkembangan ilmu arkeologi dan penerapannya dalam memahami sejarah lokal. Ia memulai dengan menjelaskan evolusi metodologi arkeologi, dari antikuarianisme yang berfokus pada pengumpulan benda kuno, hingga arkeologi simetris, pendekatan yang memandang benda dan bangunan sebagai entitas hidup dengan biografinya sendiri.
Menurut Karguna, arkeologi simetris membantu kita memahami bahwa benda tidak diam, ia menyimpan jejak pengalaman, makna, dan perubahan fungsi yang terus bergulir. Benda juga berubah bersama manusia yang memaknainya. Ia mencontohkan Villa Isola di Bandung, yang dulunya merupakan vila pribadi, lalu beralih menjadi museum perang, dan kini menjadi bagian dari kampus UPI.
Dalam konteks Lembang, Karguna melihat riset Malia sebagai contoh nyata penerapan arkeologi simetris. Tanpa disadari, Malia telah mendengarkan benda-benda sejarah seperti batu, peta, rumah tua, dan menuliskan kembali biografi Lembang dari sudut pandang mereka.
“Teh Malia itu ya, tidak tahu bahwa dia tahu. Sebetulnya dia sudah menerapkan arkeologi simetris sebagai alat bantu bagaimana menggali sejarah Lembang” Ujar Karguna.
Ia menekankan bahwa memahami sejarah tidak cukup hanya dengan menggali artefak, tetapi juga mendengarkan cerita yang disampaikan oleh benda-benda. Melalui cara itu, kita dapat menemukan hubungan baru antara manusia, ruang, dan masa lalu.
Karena Lembang dan seluruh peninggalannya tidak diam. Mereka berbicara dan berkomunikasi, maukah kita menangkap kisahnya,” kata penulis buku biografi Andreas de Wilde, pengusaha perkebunan Bandung zaman kolonial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

