MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Kesadaran Memisahkan Sampah di antara Gemerlap Bandung
Sebagai kota jasa dan wisata, Bandung marak dengan festival, bisnis, dan komunitas. Kesadaran memilah sampah mulai tumbuh.
Penulis Salma Nur Fauziyah5 November 2025
BandungBergerak - Suasana sore di Tjap Sahabat, Bandung meriah dengan deretan tenant yang berjejer rapi, pengunjung datang silih berganti, sebagian membawa wadah makan sendiri, awal Agustus 2025. Di sudut lain, denting sendok dan piring dari pengunjung orang yang mencuci alat makan bersama. Semua itu bagian dari Senjalogi #7, bazar ramah lingkungan yang digagas Komunitas Taman Kota setelah lama vakum dari kegiatan publik.
Bazar ini berlangsung selama tiga hari, 1–3 Agustus 2025, dan langsung menarik perhatian warga Bandung. Tenant yang terlibat sangat beragam, mulai dari penjual makanan dan minuman, buku, bahan pangan organik, hingga lapak thrifting baju dan sepatu. Sementara itu, lokakarya interaktif digelar di beberapa sudut, memungkinkan pengunjung ikut serta dalam kegiatan kreatif yang berlangsung sepanjang hari.
Yang membuat Senjalogi berbeda dari bazar kebanyakan adalah komitmennya terhadap prinsip minim sampah. Hampir semua tenant makanan dan minuman tidak menggunakan wadah sekali pakai dari plastik, karton, atau kertas. Pengunjung yang tidak membawa peralatan sendiri bisa meminjam alat makan dari panitia, dengan syarat harus mencucinya kembali di tempat yang telah disediakan.
Tempat sampah pun tertata rapi sesuai jenisnya: organik dan anorganik. Bahkan, untuk pengunjung yang lupa membawa kantung belanja, panitia menyediakan kantong plastik bekas agar tak perlu mengambil yang baru. Dengan mekanisme seperti ini, Senjalogi #7 menjadi ajang dengan sistem pengelolaan sampah secara ramah lingkungan.

Dari Obrolan di Senja Hingga Gerakan Minim Sampah
Senjalogi lahir dari obrolan santai para anggota Komunitas Taman Kota di Bacabaca Bookmart, Sabuga. Ide awalnya berasal dari seorang rekan mereka yang telah wafat, Norfan, yang ingin membuat rangkuman kegiatan komunitas dalam satu acara.
“Si Senjalogi itu teh dibikinnya dulu mah random aja. Kadang setahun dua kali. Kadang tiba-tiba ‘bikin senjalogi, yuk!’. Tempatnya pindah-pindah,” tutur Adjo, salah satu penggagas Senjalogi, saat ditemui BandungBergerak bersama dua rekannya, Reita Ariyanti dan Dila, di kawasan Dago.
“Mungkin karena rangkuman, ya. Jadi Senja,” Reita, akrab disapa Rere, menambahkan.
Nama itu memang berakar pada kebiasaan mereka nongkrong sore di rooftop Sabuga sambil menikmati matahari tenggelam.
Senjalogi pertama digelar pada Desember 2008. Saat itu, acaranya lebih banyak berupa musik, lapak buku, dan pameran karya. Konsep minim sampah sebenarnya sudah mereka jalankan sejak awal, meski belum seketat sekarang.
“Jadi kayak sirkulasi barang gitu. Supaya orang tidak lantas cepat membeli, cepat membuang. Ini untuk menghindari fast fashion juga,” kata Rere, sambil menunjukkan tas selempang merah yang ia dapat dari lapakan gratis Senjalogi beberapa tahun lalu.
Lapak gratis menjadi simbol semangat berbagi tanpa limbah. Siapa pun boleh menaruh atau mengambil barang yang masih layak pakai. Dari sini, nilai keberlanjutan bukan sekadar slogan, tapi praktik nyata yang lahir dari kesadaran anggota komunitas.
Gotong Royong untuk Acara Minim Sampah
Senjalogi #7 sendiri tidak direncanakan jauh hari. Adjo dan Rere awalnya hanya mendapat tawaran untuk menggunakan tempat di Tjap Sahabat, lalu memutuskan untuk menghidupkan lagi acara komunitas mereka. Bedanya, kali ini mereka ingin mengelola sampah secara lebih serius dan sistematis.
Semua fasilitas disiapkan dengan prinsip gotong royong: alat makan, sabun cuci, hingga tempat sampah dan air minum, sebagian besar merupakan hasil pinjaman dan sumbangan teman-teman komunitas.
“Jadi enggak cuman bikin aturan tapi kamu tidak mempersiapkannya. Bikin aturan, siapin fasilitasnya, dan ada solusinya,” ujar Rere.
Hasilnya, dalam tiga hari penyelenggaraan, Senjalogi #7 hanya menghasilkan satu setengah trash bag besar sampah anorganik. Sampah organik langsung diolah menjadi pupuk dan pakan ayam di kebun. Sisa sampah nonorganik sebagian besar justru berasal dari kemasan makanan yang dibawa pengunjung dari luar acara.
Walau begitu, Adjo dan Rere menegaskan mereka tidak ingin memberi label “ramah lingkungan” pada acara ini. Kesadaran itu cukup dituangkan dalam alur acara. Nilai-nilai ramah lingkungan diterapkan lewat tindakan yang mesti dilakukan peserta.
Menariknya, aturan minim sampah Senjalogi kini menjadi standar resmi bagi penyewaan ruang di Tjap Sahabat.
“(Di Tjap Sahabat) kalau orang sewa pakai tempat itu standarnya acara kita kemarin. Jadi kayak di dalam tidak boleh merokok, terus sampah dipilah,” tutur Adjo, bangga.
Gairah Baru Festival Ramah Lingkungan Bandung
Bandung dikenal dengan budaya festivalnya. Hampir setiap pekan ada acara publik yang digelar. Namun, jarang yang benar-benar memikirkan nasib sampah setelah perayaan usai. Dua acara yang menonjol dengan kepedulian lingkungan tahun ini adalah Senjalogi dan Festival Kuliner Keuken Lestari.
Keuken, yang digelar pada 2–3 Agustus 2025 di Posco Bandung, mengusung tema Farm To Table dan berkomitmen penuh terhadap pengelolaan sampah. Pendiri Keuken Meizan Nataadiningrat menyebut acara ini sebagai “miniatur kota” karena setiap pengunjung dan tenant harus bertanggung jawab atas sampah mereka.
Dalam dua hari pelaksanaannya, Keuken mengumpulkan 1.731 kilogram sampah, terdiri atas 40 persen organik, 40 persen anorganik, dan 20 persen residu. Semuanya diolah oleh kolaborator mereka, PT Neocikal Mandiri, tanpa ada yang berakhir di TPA.
Sampah minyak jelantah total terkumpul 38 liter selama festival. PT Neo mengirimnya ke pabrik pengolahan mitra untuk dijadikan biodiesel. Pembakaran dengan insinerator dilakukan hanya untuk sampah yang benar-benar tidak bisa diolah, yaitu residu.
“Neo ini punya kapasitas untuk mengolah sampah dengan baik sehingga diklaim oleh kolaborator kami ini kita 0 persen ke TPA,” ujar Meizan.
Ada juga sisa makanan layak makan yang dikirim ke Food Bank Bandung untuk dibagikan ke warga di sekitar lokasi acara.
“Karena kami pikir, kita di dalam kulineran hore-hore, sedangkan teman-teman di sekitaran Asia-Afrika banyak yang memang kurang beruntung dan tinggal di jalanan,” tuturnya.
Individu yang Bergerak
Di luar festival, Siska Nirmala, aktivis pecinta alam, melalui Toko Nol Sampah juga membangun bisnis berbasis gaya hidup minim sampah. Toko yang berdiri sejak 2020 ini mengelola lebih dari 1.500 kilogram sampah selama tiga tahun bekerja sama dengan pihak ketiga, Plastaval.
Toko dengan sistem isi ulang ini ia buka di rumahnya dengan menyulap ruang tamu. Saat pertama kali dibuka, ia baru memiliki satu rak. Rak itu pun sebenarnya adalah rak buku. Namun sekarang sudah ada empat sampai lima rak sebagai etalase produk-produk yang dijual di tokonya.
Toko Nol Sampah menjual bumbu-bumbu secara isi ulang, makanan ringan, cokelat bubuk, teh, mi gluten free tanpa kemasan, mi butek, serta beragam alat penunjang gaya hidup nol sampah. Konsumen mesti membawa tas atau wadah sendiri untuk berbelanja di toko Siska.
Bisnis Toko Nol Sampah yang kelola Siska memang tidak menghasilkan banyak keuntungan. Tujuan pertama toko ini lebih ke edukasi gaya hidup minim sampah kepada konsumennya. Dari tokonya Siska berharap tumbuh ekosistem minim sampah.
“Kalau sistemnya udah dibangun dengan baik mah warga pasti bisa ngikutin,” ujarnya.
Siska menolak wacana penggunaan insinerator atau pembakaran sampah dan menekankan pentingnya sistem pemilahan terintegrasi.
“Bahkan di negara berkembang aja, meskipun mereka pakai insinerator itu sampahnya tetap harus dipilah,” tegas petualang alam yang memelopori pendakian gunung minim sampah.
Baca Juga: MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Seribu Pilihan Mengolah Sampah di Bandung, Selain Insinerator
MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Gerakan Hijau dari Kampus Mengadang Bandung Darurat Sampah
Inisiasi Industri, Mengelola Sampah Secara Mandiri
Kesadaran untuk mengelola sampah kini tidak hanya muncul dari individu dan komunitas, tetapi juga dari industri yang berkontribusi besar terhadap timbulan sampah, seperti perhotelan. Beberapa hotel di Bandung mulai menerapkan sistem pengelolaan sampah mandiri dengan berbagai inovasi berkelanjutan.
Grand Tjokro Bandung, misalnya, telah mengelola sampah secara mandiri sejak 2020. Menurut Sahmad, General Manager Grand Tjokro Bandung, program ini sempat terhambat akibat pandemi Covid-19 dan kembali berjalan pada 2022 melalui program maggotisasi.
“Kita menghasilkan sampah organik itu 9.000 sekian kilo. Artinya sehari itu rata-rata 3 kwintal, 300 kiloan,” ujar Sahmad, kepada BandungBergerak, 24 September 2025.
Selain menggunakan maggot, hotel yang berlokasi di Jalan Cihampelas ini juga melakukan komposting dan tengah mengembangkan kandang bebek serta kolam ikan biovlog di area pengolahan sampah.
“Artinya sampah organiknya dimakan maggot. Maggotnya kita jadiin sebagai pakan ikan. Ikannya mungkin nanti kita bisa konsumsi,” jelasnya.
Ketika TPA Sarimukti terbakar dan ditutup pada 2023, Grand Tjokro tidak mengalami kendala berarti karena telah mampu mengolah sampah organik sendiri. Program pemilahan ini sejalan dengan kebijakan SAS Hospitality untuk menuju “Green Hotel.” Prosesnya dimulai dengan membangun kesadaran karyawan memilah sampah selama tiga bulan. Para karyawan diedukasi bahwa sampah akan semakin sulit dikelola jika sudah tercampur.
“Ngaduk-ngaduk sampah makanan kan jijik ya. Sebenarnya kayak bagi sebagian orang tetap namanya sampah,” kata Sahmad.
Upaya pengurangan sampah juga dilakukan dengan mengganti kemasan plastik amenities menjadi bahan kertas, menyediakan botol kaca isi ulang, serta mengurangi penggunaan kertas di kantor melalui digitalisasi memo.
“Dulu kita sewa ada lima printer, kalau enggak salah ya, di hotel ini sebelum tahun 2021 itu. Semenjak itu yang disewa itu kita hilangkan, hanya tinggal satu yang di front office,” cerita Sahmad.
Edukasi juga diterapkan kepada tamu, di antaranya melalui imbauan di restoran: “Indonesia membuang 13 juta ton sisa makanan setiap tahunnya. Mari makan sesuai porsi dan kebutuhan mulai sekarang.”
Kesadaran serupa diterapkan di Novotel Bandung. Hotel ini mengikuti kebijakan jaringan Accor untuk mewujudkan “zero plastic” sejak 2022.
“Kita juga lihat-lihat kan sampah Bandung yang sempat loh Mbak yang kasus-kasus menumpuk itu. Dari situ membuka pikiran kami semua karyawan di sini,” ujar Windy, Marcom Manager.
Siswanto, Room Division Manager Novotel menambahkan, bagian dapur menjadi penyumbang sampah organik terbesar, sekitar 180 kg per hari. Untuk menanganinya, hotel menerapkan maggotisasi dan biopori di 21 titik, menghasilkan pengolahan sekitar 20% sampah basah.
“Maggot itu setiap bulannya menghasilkan sekitar 620 kilo,” ujarnya. Hasil maggot disuplai ke hotel lain atau karyawan yang memiliki usaha ternak.
Siswanto berharap pemerintah terus mendukung gerakan minim sampah. Penumpukan sampah yang berulang di Kota Bandung sangat berdampak terhadap citra kota dan iklim pariwisata.
“Bukannya Bandung Lautan Api, tapi Bandung Lautan Sampah kan gitu tagline-nya,” katanya.
Dari Senjalogi, Keuken, individu seperti Siska, hingga hotel menunjukkan bahwa bisnis tak harus identik dengan tumpukan sampah. Dari sudut kecil hingga jantung kota, gerakan mengelola sampah secara ramah lingkungan bisa dimulai dari hal-hal terkecil, bahkan dari membawa alat makan sendiri.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

