• Bergerak
  • Perjalanan Sang Petualang Nol Sampah

Perjalanan Sang Petualang Nol Sampah

Siska Nirmala memulai menerapkan gaya hidup nol sampah dalam kehidupan sehari-hari. Ia menularkan gaya hidup tersebut dengan membuka Toko Nol Sampah.

Siska Nirmala, seorang aktivis gaya hidup nol sampah yang dikenal dengan Zero Waste Adventurer dan pemilik Toko Nol Sampah yang beralamat di Jalan Bima Nomor 40 Kota Bandung. (Dokumentasi Siska Nirmala).

Penulis Awla Rajul18 Februari 2023


BandungBergerak.id – Sudah sepuluh tahun Siska Nirmala menerapkan gaya hidup zero waste atau nol sampah. Ia sudah membuang jauh-jauh keinginan untuk kembali lagi pada gaya hidup lamanya sebelum menerapkan gaya hidup nol sampah sebab manfaat yang dapat dirasakan bukan hanya sebatas mengelola sampah. Ia mendapatkan manfaat gaya hidup barunya tersebut bagi kesehatan.

Hobinya berpetualang membawanya pada titik balik hingga Siska kini dikenal luas dengan julukan Zero Waste Adventurer. Apa yang ia temukan saat berpetualang mendaki gunung Rinjani di tahun 2010 menyadarkan Siska untuk menerapkan gaya hidup nol sampah.

Perkenalannya dengan gaya hidup nol sampah tersebut terjadi saat Siska mengikuti pelatihan zero waste yang diselenggarakan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB). Saat itu ia masih berprofesi sebagai jurnalis di harian Pikiran Rakyat. Setelah mengikuti pelatihan tersebut, ia sudah tertarik dengan penerapan gaya hidup nol sampah. Tapi ia belum menjalankannya.

Siska memang gemar berkegiatan di alam bebas. Saat masih menjadi mahasiswa ia aktif di Mahacita Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), unit kegiatan mahasiswa pecinta alam. Lantas di tahun 2010 saat mendaki Gunung Rinjani, ia melihat banyak sekali sampah-sampah bertebaran.

“Aku naik gunung dan merasa, ih sampahnya banyak ya. Tapi di carier aku ini kan isinya sampah juga kan, makanan yang aku bawa. Terus aku mikir, kenapa gak aku cobain naik gunung tapi gak ngehasilin sampah, baru teringat sama pelatihan itu. Kenapa aku gak coba blend, nol sampah saat berkegiatan di alam bebas,” ujar Siska paa BandungBergerak.id di Toko Nol Sampah miliknya, Kamis (26/1/2023).

Setelah tersadar dan terbayang untuk mencoba melakukan kegiatan alam bebas tanpa menghasilkan sampah, Siska mengaku belum langsung menerapkannya. Menurutnya, setiap orang akan memiliki tahapan dan sebab yang berbeda untuk menerapkan gaya hidup nol sampah. Ada yang karena menonton documenter tentang sampah sedotan di hidung penyu lantas langsung menerapkannya di kehidupan.

Selama dua tahun, setelah mendapatkan kesadaran untuk menerapkan gaya hidup nol sampah, Siska kemudian masuk ke tahap berpikir. Jika ia hendak menerapkan kegiatan alam bebas tanpa sampah, ia harus membiasakan diri terlebih dulu di kehidupan sehari-hari. Lantas di tahun 2012, Siska memulai hal-hal sederhana untuk menerapkan gaya hidup nol sampah, seperti membawa tumbler saat bekerja dan kantong kain saat belanja.

Ia yang dulunya sering jajan minuman botol saat liputan, perlahan-lahan memulai menguranginya. Sebagai gantinya, ia membiasakan diri untuk mengonsumsi buah-buahan. Setelah terbiasa, Siska memulai Ekspedisi Nol Sampah dengan mendaki lima gunung di Indonesia tanpa menghasilkan sampah. Lima gunung tersebut adalah Gunung Gede, Gunung Papandayan, Gunung Tambora, Gunung Lawu, dan Gunung Argupuro.

Ekspedisi tersebut berjalan selama tiga tahun, berakhir di tahun 2015. Siska menuangkan seluruh rangkaian ekspedisi yang dijalaninya tersebut dalam buku berjudul “Zero Waste Adventure” yang diterbitkan pertama kali secara independen di tahun 2017. Buku ini kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit nasional, Elex Media Komputindo pada tahun 2019.

Baca Juga: Kisah Dua Toko Penunjang Gaya Hidup Nol Sampah
Sekutu Jurnalis Menangkal Kabar Palsu
Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks
Dua Belas Tahun Mendaras Asia Afrika

Mendirikan Toko Nol Sampah

Setahun setelah menyelesaikan Ekspedisi Nol Sampah, Siska mulai berpikir dan berencana untuk membuka toko curah yang menyokong gaya hidup nol sampah. Sebab, saat awal ia menerapkan gaya hidup nol sampah, ia merasa belum ada sistem yang mendukung. Seperti sesederhana belanja garam ke pasar, pasti ada kemasan.

Tahun 2020 Siska mendirikan Toko Nol Sampah. Toko dengan sistem isi ulang ini ia buka di rumahnya dengan menyulap ruang tamu. Saat pertama kali dibuka, ia baru memiliki satu rak. Rak itu pun sebenarnya adalah rak buku. Namun sekarang sudah ada empat sampai lima rak sebagai etalase produk-produk yang dijual di tokonya.

Toko Nol Sampah menjual bumbu-bumbu secara isi ulang, makanan ringan, cokelat bubuk, teh, mi gluten free tanpa kemasan, mi butek, serta beragam alat penunjang gaya hidup nol sampah. Niatnya mendirikan toko ini sederhana, sebagai sistem pendukung bagi warga Bandung yang baru memulai atau sudah memulai gaya hidup nol sampah.

“Karena kan tujuannya itu, membuat sistem. Ketika sistemnya udah mulai berjalan, ya aku senang, orang terbantu. Tujuannya juga itu, bikin solusi. Kalau profit mah ngikutin. Jadi kepuasan aku bukan profitnya. Profitnya mungkin ada tapi gak gede. Tapi orang teh kebantu jadi solusi dan aku lebih senang di situ,” ungkap Siska.

Bahkan sejak awal mendirikan toko ini, Siska meniatkan untuk edukasi kepada masyarakat. Tiga tahun pertama pun ia memperhitungkan bisnisnya akan sangat segmented dan hal ini menjadi investasi baginya. Sebab, jika sejak awal mindset yang dibangun adalah mencari keuntungan, di tahun pertama sudah akan berhenti. Makanya kepuasan utamanya bukan pada profit, tapi orang-orang yang terbantu dengan sistem yang ia bangun.

Toko Nol Sampah sering berkomunitas dan berkolaborasi, dua hal ini malah menyebabkan lahir lini bisnis baru. Toko Nol Sampah bisa menyediakan kudapan untuk acara maupun kegiatan komunitas tanpa menghasilkan sampah. Lini bisnis baru ini bermula saat Ramadhan tahun 2022, teman-teman komunitas hendak membagikan takjil tapi dengan sistem nol sampah. Siska pun membantunya dan menjadikan  ini pengembangan bisnis baru.

“Isinya kue-kue tapi gak ada plastik sama sekali. Karena sebenarnya intinya mah orang teh jangan dikasih plastik kalau kita gak mau mereka nyampah. Jangan dikasih plastik da pasti dibuang. Terus dikasih buah-buahan. Emang gak dikasih minum takjilnya karena nanti mikirnya pengen ngasih minum yang kemasan kan,” lanjut Siska.

Takjil tersebut dibungkus dengan besek dan dialasi daun pisang. Isinya kue basah tanpa kemasan plastik dan buah-buahan. Belakangan, mulai banyak acara-acara komunitas yang menerapkan nol sampah. Misalnya dengan tidak menyediakan air mineral berkemasan, lantas menyediakan air galon. Peserta diwajibkan membawa tumbler dan harus membawa wadah sendiri untuk mengambil kudapan.

“Itu hal sederhana ya, tapi ya itu kita sama-sama membangun sistemnya,” ujar Siska.

Siska ingin mengembangkan secara serius Toko Nol Sampah miliknya. Ia berharap ke depannya bisa memiliki kedai khusus untuk Toko Nol Sampah. Meski ia tidak percaya diri bisa dilakukan dalam waktu dekat. Di tokonya ini, belakangan ia mengembangkan pojok thrifting, konsumen bisa menitipkan barang-barang bekas yang laik pakai untuk dijual.

Suasana Toko Nol Sampah yang menjual bumbu-bumbu dapur secara isi ulang dan alat-alat pendukung gaya hidup nol sampah, Kamis (26/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Suasana Toko Nol Sampah yang menjual bumbu-bumbu dapur secara isi ulang dan alat-alat pendukung gaya hidup nol sampah, Kamis (26/1/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Konsisten adalah Kunci

Siska kini sudah sangat terbiasa dengan gaya hidup nol sampah. Ia bahkan sudah merasakan banyak manfaat, seperti pola makan yang sehat yang berefek pada kesehatan. Selama menerapkan gaya hidup nol sampah, pola makan Siska berubah menjadi lebih sehat. Ia lebih banyak memakan buah-buahan, sayuran, dan menghindari makanan kemasan. Penyakit maag yang dulunya sering kambuh saat masih berprofesi sebagai wartawan, kini tidak pernah lagi ia rasakan.

Sudah tujuh tahun lamanya juga Siska tidak makan mi instan. Namun alasan ia tidak makan mi instan bukan karena menerapkan pola makan sehat, tapi malas dan ribet ketika harus mengurus sampahnya. Siska mengungkapkan untuk menerapkan gaya hidup ini, mulailah pelan-pelan dari cara yang paling mudah dan konsisten.

Di Bandung sendiri, menghindari kantong plastik sudah cenderung mudah sebab lingkungan yang mulai terbentuk dan didukung oleh regulasi Kang Pisman. Siska membagikan tips sederhana yang bisa dilakukan semua orang untuk menerapkan gaya hidup nol sampah. Salah satunya adalah pastikan selalu membawa kantong kain.

“Bahkan sekarang suka ditawarin, mau pakai kantong plastik gak. Itu sebenarnya hal kecil yang dulu susah banget. Dulu kan kita yang harus nolak,” ungkap siska.

Siska melanjutkan, di supermarket saat ini relatif gampang untuk menolak tawaran kantong plastik. Namun beda ceritanya jika berbelanja ke di pasar, sekalipun membawa kantong kain yang bagus sebagian besar pedagang akan tetap memberikan kantong plastik sebab takut kantong kain konsumen kotor.

Salah satu cara untuk mengakali hal ini dengan menggunakan ulang kantong plastik yang ada di rumah saat berbelanja di pasar tradisional. Jika ditelisik dengan psikologi, menurut Siska, dengan menggunakan ulang kantong plastik membuat pedagang tidak culture shock.

Ketika sudah konsisten membawa kantong kain saat belanja, membawa tumbler dan mengurangi sampah, tahapan selanjutnya adalah mulai memilah sampah. Sampah dipisahkan berdasarkan jenis  sampah mana yang menjadi residu, bisa didaur ulang, dan yang harus dikompos. Dengan memiliha sampah akan terlihat jenis sampah mana yang paling banyak dan harus dikurangi.

Pengalaman Siska, kebiasaan memilah sampah ini membuat dirinya jadi malas ribet mengurusi sampah. “Daripada aku capek-capek memilah sampah ya udah dari awal aja jangan ada sampah. Nah nanti ke situ pemikirannya,” pungkasnya.

Siska menyarankan bahwa sebelum menerapkan gaya hidup nol sampah, penting untuk menemukan alasan kenapa harus menerapkan gaya hidup ini. Sebab alasan ini nantinya yang akan jadi pengingat untuk tetap menerapkan gaya hidup nol sampah secara konsisten. Ia membuktikan dengan menerapkan gaya hidup nol sampah tersebut memiliki banyak manfaat baik untuk diri sendiri dan tentunya bagi lingkungan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//