• Bergerak
  • Dua Belas Tahun Mendaras Asia Afrika

Dua Belas Tahun Mendaras Asia Afrika

Sudah 12 tahun komunitas Asian African Reading Community (AARC) membaca buku bersama. Ketekunan mereka menginspirasi kelahiran komunitas-komunitas literasi serupa.

Tadarusan awal buku The Bandung Connection awal yang dihadiri kawan-kawan difabel dari Wiyataguna, di Ruang Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) pada 2009. (Foto: Dokumentasi AARC)

Penulis Iqbal Tawakal28 Maret 2021


BandungBergerak.idImajinasi tentang sebuah desa bernama Nishchindipur merasuki isi kepala empat orang pegiat komunitas Asian African Reading Club (AARC) yang sedang meriung di sebuah kedai kopi Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, akhir Februari 2021 lalu. Mereka nampak asyik bergantian mendaras novel Pater Pancali karya sastrawan India Bibhutibhushan Banerji yang telah dialihbahasakan oleh Koeslah Subagyo Toer.

Pater Pancali, dengan tokoh utama bocah Apu dan Dirga, bercerita tentang keluarga berkasta Brahmana namun miskin. Meminjam latar India tahun 1930-an, Banerji nampaknya ingin menggugat persoalan kasta yang justru tak menyelesaikan masalah kemiskinan di negara tersebut.  

“Buku ini kita pilih karena masih berhubungan dengan wilayah Asia Afrika. Juga karena kita pengin tahu soal sastra India,” ujar Adew Habsta, salah satu pendiri dan penggerak komunitas AARC, saat ditemui BandungBergerak.id.

Komunitas AARC rutin mengadakan tadarusan buku setiap hari Rabu. Mereka berkumpul di suatu tempat untuk membaca sebuah buku secara keroyokan. Dalam satu bulan biasanya komunitas ini bisa menyelesaikan satu judul buku.

Adew mengatakan, metode membaca di komunitas AARC ini secara tidak langsung ingin mengubah cara pandang masyarakat, terutama anak muda, terhadap buku. Aktivitas membaca buku yang terkesan kegiatan individual--meminjam istilah Ignas Kleden dalam bukunya yang berjudul Buku dalam Indonesia Baru (1999)--tidak berlaku pada komunitas ini.

Kegiatan membaca di komunitas AARC tidak berada pada ruang sunyi. Peserta yang hadir dipastikan mendapat giliran membaca dengan suara yang lantang. Saat seorang sedang membaca, peserta lainnya mendengarkan. Layaknya santri-santri yang sedang mendaras kitab suci di surau.

“Ternyata kegiatan membaca bisa seperti menonton film. (Membaca) Bisa dilakukan secara keroyokan,” kata Adew.

Selama lebih dari satu dasawarsa, atau tepatnya 12 tahun, AARC terus melakukan kegiatan tadarus buku pada Rabu petang. Kegiatan yang mulanya dilangsungkan setiap Selasa tersebut, kata Adew, hampir tak pernah putus dikerjakan. Sekitar 40 judul buku sudah ‘dilahap’ dalam kurun waktu tersebut. Mulai dari buku-buku yang terikat langsung dengan gelaran Konferensi Asia Afrika 1955, seperti The Bandung Connection dan The Color Curtain, hingga buku-buku yang memiliki jangkauan topik lebih luas lagi, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Demokrasi Kita, dan Pater Pancali.

Pandemi Covid-19 tidak menumpas kegiatan rutin ini. Di bulan-bulan awal pandemi, sebelum terbit kebijakan pelonggaran aktivitas publik, para pegiat AARC berpindah ke ruang-ruang daring (dalam jaringan) terutama dengan memanfaatkan layanan media sosial (medsos).

“Tidak pernah libur kecuali kalau sakit,” ucap Adew sambal berkelakar. “Dipikir-pikir, ngapain juga ya?”

Lahir dari Semangat Bandung

Komunitas Asian African Reading Club (AARC) lahir pada 15 Agustus 2009 di salah satu ruangan Gedung Merdeka atau Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), Bandung. Awalnya ia menjadi bagian dari program pengelola Museum Asia Afrika untuk mengenalkan “gerakan nasional cinta museum”.

Adew menceritakan, awal terbentuknya komunitas ini tidak difokuskan pada kegiatan membaca buku, melainkan untuk mengulik kembali Semangat Bandung yang menjadi pelopor lahirnya Konferensi Bandung 1955. Nilai-nilai yang dikedepankan merupakan perasan Dasasila Bandung, di antaranya adalah niat baik, kerja sama, kesetaraan, dan hidup berdampingan dengan damai.

“Jauh sebelum ngomong ini adalah gerakan literasi, kita malah lebih dekat ke upaya penyadaran Semangat Bandung. Justru kita niatnya menjaga spirit Bandung. Buku saat itu hanya jadi alat,” katanya.

Buku pertama yang dibaca dalam tadarusan ala AARC tentu saja The Bandung Connection: The Asia-Africa Conference in Bandung in 1955 karya Roeslan Abdulgani. Buku yang berkisah tentang bagaimana sejarah terjadinya konferensi paling bersejarah bagi negara-negara di Asia dan Afrika tersebut menjadi buku wajib bagi Sahabat AARC.

Menurut Adew, setiap buku yang ditadaruskan harus ada kaitannya dengan negara Asia dan Afrika, atau minimal tentang sejarah Indonesia maupun Bandung. Buku-buku seperti Tonggak-tonggak Perjalananku karya Ali Sastroamidjojo hingga Di Bawah Bendera Revolusi-nya Soekarno menjadi buku wajib berikutnya bagi Sahabat AARC.

“Jadi sampai sekarang buku-buku yang dipilih untuk tadarusan adalah buku yang ada kaitannya dengan Asia Afrika, spirit Bandung. Itu yang membedakan AARC dengan reading club lain,” kata dia.

Adew tak menampik bahwa minat masyarakat membaca buku masih belum besar. Namun, berdasarkan pengalamannya mengurus AARC, benih-benih semangat literasi di Bandung sudah mulai terbangun. Acara tadarusan buku masih dihadiri peserta meski ia sendiri tidak pernah menghitung berapa banyak Sahabat AARC yang aktif sampai sekarang. Juga bermunculan komunitas baca dan perpustakaan yang dikelola secara komunal.

“Antusiasme (warga Bandung) pada baca bisa dikatakan besar enggak, tapi dibilang kecil juga enggak. Ada di tengah-tengah-lah,” kata Adew.

Para perintis yang juga menjadi pengurus awal komunitas AARC dari kiri ke kanan: Deni Rachman (pegiat buku), Puji Wiranti (pustakawan), Theoresia Rumthe (penyiar, penyair), dan Adew Habtsa (pegiat buku, musisi).

Para perintis yang juga menjadi pengurus awal komunitas AARC dari kiri ke kanan: Deni Rachman (pegiat buku), Puji Wiranti (pustakawan), Theoresia Rumthe (penyiar, penyair), dan Adew Habtsa (pegiat buku, musisi).

Komunitas-komunitas Baru

AARC yang awalnya hanya digawangi oleh empat orang tercatat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kelahiran beberapa komunitas baca di sejumlah tempat. Di Bandung ada komunitas baca e-KTP, kependekan dari Kawan Tadarus Psikologi, yang dirintis oleh Mif Baihaqi, salah seorang dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

“Beberapa mahasiswa saya ajak, waduh responsnya alot banget. Tapi saya tidak surut langkah,” tutur Mif dalam buku Membaca Mohamad Yamin dan Kisah-kisah di Balik Tadarusan Buku AARC (2020).

Kegiatan tadarusan pertama kali di kampus UPI berlangsung pada Senin, 22 September 2014, sore. Buku yang dibaca Psikologi Pertumbuhan, karangan Mif sendiri. Ketika itu hanya ada dua orang mahasiswa yang menemani Mif membaca.

Tadarusan buku komunitas e-KTP terus bergulir. Jumlah pesertanya perlahan-lahan bertambah banyak. Hingga tahun 2017, sudah 12 buku yang tuntas dibaca bersama. Selain buku-buku psikologi, seperti Hidup dan Karya Sigmund Freud, mereka juga membaca novel sejarah seperti Arok-Dedes karangan Pramudya Ananta Toer dan Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.

Tidak hanya di Bandung. AARC juga menjadi inspirasi bagi seorang pemuda di Tegal, Jawa Tengah, untuk membangun komunitas baca di daerahnya. Bram, nama pemuda itu, membentuk komunitas yang dinamai Nderes Buku (Debu). Mirip seperti AARC, komunitas Debu menggabungkan kegiatan membaca dengan musik. Kali ini khusus jenis balada.

“Masyarakat Tegal cukup antusias sebab musik balada belum populer di sini. Nderes Buku (DEBU) Hamuba juga sama. Banyak yang penasaran sebab (ini) merupakan konsep yang baru di sini,” ujar Bram yang mengikuti tadarus AARC ketika tinggal di Bandung.

Selain mendirikan komunitas-komunitas baca baru, para alumi tadarusan AARC juga berkiprah bagi dunia literasi lewat cara-cara lain. Tidak sedikit melakukannya dalam tingkat personal. Contohnya, seorang guru sejarah yang membawa perspektif baru yang ia peroleh ketika berkegiatan di AARC ke dalam proses belajar-mengajar di kelas.

Komunitas AARC juga telah memproduksi sebuah buku audio (audiobook) tentang The Bandung Connection dengan menggandeng banyak budayawan dan pegiat literasi di Bandung. Rencananya, yang sebenarnya sudah dituntaskan sejak beberapa tahun lalu itu bakal segera disajikan ke publik.

Masalah Akses

Pernyataan Adew yang menyebutkan bahwa minat baca di Bandung tidak jelek-jelek amat sepertinya ada benarnya juga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Bandung pada Maret-April 2020, indeks membaca warga Kota bandung berada di angka 74,76. Artinya, indeks membaca warga Kota Bandung tergolong sedang.

Jumlah total perpustakaan yang dibina oleh Pemerintah Kota Bandung, berdasarkan data yang dikutip dari data.bandung.go.id, per tahun 2018 tercatat sebanyak 1.732 buah. Angka yang sekilas terlihat jumbo ini merupakan gabungan dari sekian jenis institusi-institusi di Bandung, mulai dari kecamatan (30 buah), kelurahan (151 buah), hingga Sekolah Dasar (SD) baik negeri dan swasta yang jumlahnya mencapai 816 buah. Disebutkan juga dalam data itu keberadaan tujuh perpustakaan taman dan 57 taman baca masyarakat (TBM).

Seperti apa kondisi tiap-tiap perpustakaan itu dan apakah semuanya beroperasi dengan layak dan memberikan manfaat bagi pembaca? Data itu yang tidak tersedia.

Yang kita tahu, Pemkot Bandung pernah menggulirkan beberapa program terkait pengadaan perpustakaan di ruang-ruang publik. Dengan sokongan dana tanggung jawab sosial (CSR), mereka berhasil membangun beberapa unit perpustakaan kecil (microlibrary) dengan rancangan arsiteturnya yang tidak biasa.

Namun Pemkot Bandung juga tercatat gagal mewujudkan beberapa program pembangunan perpustakaan. Bangunan bakal perpustakaan di Alun-alun Bandung, misalnya, tidak pernah terlihat kelanjutannya hingga hari ini. Padahal, bakal perpustakaan di lokasi sangat strategis itu diniatkan untuk menampung koleksi buku-buku bertema Bandung dan Sunda. Program pengoperasian kotak-kotak baca di trotoar jalan di pusat kota juga tidak jelas rimbanya.

Rendahnya minat baca masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pada 2019, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan indeks aktivitas literasi membaca (Alibaca) yang menyebut aktivitas literasi di Indonesia secara rata-rata tergolong rendah, yakni berada di angka 37,32.

Keterbatasan akses membaca menjadi penyumbang utama rendahnya indeks aktivitas literasi membaca di Indonesia. Hal ini terbukti dari indeks dimensi akses, satu dari empat indeks dimensi yang diukur, yang ada di angka 23,09.

Dimensi akses membaca terdiri dari akses di sekolah dan akses di masyarakat. Salah satu penyumbang rendahnya indeks dimensi akses di sekolah adalah minimnya jumlah perpustakaan sekolah dalam kondisi baik. Jumlahnya sebesar 24,06 persen saja. Temuan ini memberitahukan bahwa jumlah perpustakaan yang nambah sangat banyak belum tentu berdampak signifikan pada kegiatan membaca masyarakat.

Sementara itu, terkait akses di masyarakat, jumlah perpustakaan yang masih sangat minim (13.16) persen turut menyumbang masih rendahnya indeks akses membaca secara keseluruhan. Di sinilah komunitas-komunitas, seperti AARC, bisa mengambil peran penting.

Perpustakaan kecil (microlibrary) di kawasan Arjuna dibangun oleh Pemerintah Kota Bandung untuk meningkatkan literasi membaca warga. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Perpustakaan kecil (microlibrary) di kawasan Arjuna dibangun oleh Pemerintah Kota Bandung untuk meningkatkan literasi membaca warga. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Komunitas Buku Bandung 

Bandung memiliki sejarah yang panjang terkait komunitas buku. Sejak tahun 2000-an, komunitas-komunitas yang berfokus pada kegiatan literasi bermunculan.

Menurut Deni Rachman, salah satu pegiat literasi di Bandung yang juga pemilik penerbitan Lawang Buku, komunitas buku di Bandung terbagi dari dua latar belakang yang berbeda. Yang pertama, forum-forum aktivis pro demokrasi di kampus-kampus saat Orde Baru. Tidak sedikit dari forum-forum tersebut dalam perkembangannya melahirkan komunitas literasi. Sebut saja penerbit Ultimus.

“Ultimus dulu lahir dari forum di STT Telkom, kemudian bikin perpustakaan dan komunitas bernama Sang Pemula yang sampai saat ini menjadi penerbitan,” ujarnya.

Latar belakang kedua adalah komunitas-komunitas kesenian, yang turut menghidupkan gairah literasi di Bandung. Sebut saja toko buku seperti Tobucil dan Kineruku. Menurut Deni, keduanya lahir dari komunitas kesenian di Bandung.

“Komunitas buku di Bandung era 2000-an basisnya adalah toko buku,” ujar Deni yang juga turut mendirikan komunitas AARC.

Karena basisnya adalah toko buku yang sangat mengandalkan pemasukan dari penjualan, banyak komunitas buku bertumbangan ketika krisis ekonomi global menghamtam mulai tahun 2008. Deni, yang menulis buku Pohon Buku di Bandung, Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 (2018), menaksir sekitar 60 persen dari total komunitas buku yang ada di Bandung mandek.

Berdasarkan riset yang dilakukannya, Deni meyakini bahwa minat literasi masyarakat Kota Bandung tidak terlalu buruk. Ekosistem perbukuan di Bandung sampai saat ini masih ada dan tumbuh. Bahkan, semakin menjamur. Kemunculan komunitas-komunitas seperti perpustakaan jalanan dan rumah baca, menurut Deni, menunjukkan geliat perbukuan Bandung masih akan terus berkembang.

“Taman baca dan perpus jalanan itu sebuah fenomena yang artinya semangat literasi masih hidup,” katanya.

Ada sekian banyak cerita tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Yang terus dikabarkan, lalu dikutip secara berulang-ulang, adalah riset yang menyebut hanya satu dari 1.000 orang Indoensia yang suka membaca. Data ini sudah jadi seperti mitos. Seolah tidak ada alternatif lain untuk membaca persoalan literasi di tengah bangsa ini.

Beruntung, komunitas AARC, yang dimulai oleh beberapa gelintir orang muda di Bandung, menyodorkan alternatif yang dibutuhkan. Selama 12 tahun tanpa putus, mereka membaca buku dan mendiskusikannya bersama.

AARC sejak awal tidak pernah berhenti di Bandung. Mereka sudah, sedang, dan akan terus mengerjakan apa yang disebut oleh Wim Tohari Daniealdi dalam buku Membaca Mohamad Yamin sebagai “upaya mengumpulkan mozaik keindonesiaan”. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//