• Bergerak
  • Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks

Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks

Anak-anak muda Bandung menggulirkan beragam inisiatif baik melawan intoleransi, termasuk ancaman hoaks. Dari diskusi keberagaman hingga kelas literasi politik.

Anak-anak muda Bandung menjadi motor komunitas Jakatarub yang secara konsisten mempromosikan penghormatan pada keberagaman. Termasuk kerja literasi digital untuk menangkal hoaks yang menjadi akar intoleransi. (Foto: dokumentasi Jakatarub)*

Penulis Emi La Palau10 Oktober 2022


BandungBergerak.id, - Sore itu di salah satu kedai kopi tak jauh dari pusat Kota Bandung, sekitar 15 anak muda berkumpul, mendiskusikan persiapan kegiatan Ngaji Inklusif, disingkat “Ngais”. Dalam Bahasa Sunda, “ngais” berarti menggendong. Dalam kegiatan ini, topik yang dibahas beragam, mulai dari hak asasi manusia hingga keberagaman.

Beberapa menit sebelumnya, di tempat yang sama, dua anak muda lain berdiskusi dengan dua orang dari kelompok sulit terjangkau yang sering menjadi korban labelisasi. Kedua anak muda yang tergabung dalam Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) itu lebih banyak mendengarkan.

“Hari ini kita baru menyelesaikan dialog terbatas dengan kelompok-kelompok yang sejauh ini dianggap ultrakonservatif. Jadi kita undang, kita ajak ngobrol, biar kita juga nggak punya stigma sama kelompok itu,” ujar Arfi Pandu Dinata, koordinator Jakatarub, Senin (15/8/2022).

Jakatarub, sejak didirikan 22 tahun silam, menjadi wadah bagi anak-anak muda dengan beragam latar belakang untuk belajar mempratikkan toleransi. Diskusi dan dialog menjadi aktivitas rutin para anggotanya. Juga beragam program dan kegiatan yang melibatkan komunitas atau kelompok akar rumput.

Kemah anak muda lintas iman (Youth Interfaith Camp) merupakan salah satu program tahunan yang menandai konsistensi Jakatarub. Digulirkan sejak 2012, sudah ada 10 angkatan anak muda yang dilahirkan. Kemah tak biasa ini mempertemukan para pemuda dari berbagai lintasiman untuk berdikusi dan berbagi. Dari sana, lahir dan tumbuh komunitas-komunitas toleransi yang digerakkan oleh anak-anak muda alumninya.

Di sepanjang perjalanannya, Jakatarub terus berkembang mengikuti dinamika anak muda. Mereka kini lebih aktif di jagat media sosial. Untuk menjangkau semakin banyak audiens, literasi tentang berbagai isu kemanusiaan disampaikan di medium yang diakrabi dengan anak-anak muda.

Pandemi Covid-19 yang melanda sejak awal 2020 membuat ruang-ruang digital kian bergema. Kerja literasi dilakukan Jakatarub salah satunya lewat kolaborasi dengan akun-akun media sosial yang satu visi. Bersama akun-akun ‘garis lucu’ seperti NU garis lucu dan Budha Garis lucu, kampanye tentang pentingnya keberagaman lebih mengena. Ada juga siaran langsung bersama di kanal Youtube.

“Cukup menarik, antusias, dan menghibur. Mendidik dan menghibur itu yang selalu kita pakai dalam kampanye kita. Strateginya 2K: kreatif dan kritis,” kata Arfi.

Selain isu keberagaman, Jakatarub juga menyinggung kampanye literasi digital. Ada WIFI (Wakening Interfaith Insiative), program edukasi literasi digital yang menyasar anak muda dan berbagai komunitas untuk belajar mengenai digitalisasi serta pentingnya memahami hak digital. Pada Juli 2022 lalu, bekerja sama dengan Pusat Studi Perkembangan Perdamaian (PSPP) Nawang Wulan, Jakatarub menggelar WIFI bertema digitalisasi manajemen komunitas dengan pendekatan hak asasi manusia (HAM).

Melahirkan Komunitas-komunitas Baru

Kerja panjang Jakatarub telah melahirkan komunitas-komunitas yang baru. Salah satunya, Sahabat Lintas Iman (Salim) Bandung, yang didirikan anak-anak muda alumni kemah lintah imana atau YIC-nya Jakatarub pada 2016 lalu. Mulanya diperuntukkan menjadi wadah berkegiatan anak-anak muda di kawasan Bandung Timur, Salim kini menjaring juga anggota dari berbagai daerah lain di Bandung Raya.

Tak jauh berbeda dengan komunitas induknya, Jakatarub aktif dalam kampanye toleransi dan perdamaian. Di antaranya dilakukan lewat program kunjungan ke rumah-rumah ibadah dan berdiskusi di lingkup kampus. Dalam perkembangannya, Salim menaruh perhatian khusus pada kerja pendampingan bagi apra penyintas atau korban diskriminasi keberagaman. Mencoba memberikan ruang aman, Salim juga membantu menghubungkan mereka dengan lembaga bantuan hukum dan atau psikolog untuk pemulihan trauma.

“Jadi kita coba untuk menggapai mereka, dengan pertemanan ya. Kita sebagai sahabat lintasiman, teman-teman yang berbeda iman, biar mereka punya ruang. Ruang aman,” ungkap Koordinator Salim, Yohanes Irmawandi, ditemui BandungBergerak.id, Senin (15/8/2022) malam.

Yohanes sendiri pernah hidup dalam trauma berkepanjangan akibat persekusi yang ia dan keluarganya alami pada 2006 silam. Rumah mereka di Garut Selatan dibakar massa. Juga tempat ibadah komunitasnya. Yohanes tumbuh dengan berpindah-pindah tempat tinggal, membawa trauma dan amarah. Pada 2017 ia mengikuti kemah lintasiman yang diselenggarakan Jakatarub, dan sejak itulah ia memutuskan untuk terlibat aktif mengampanyekan toleransi dan keberagaman.

Salah satu muara dari kerja literasi keberagaman oleh komunitas Salim adalah menghalau perpecahan yang datang akibat adanya hoaks politik identitas. Tak hanya di pertemuan-pertemuan langsung, obrolan tentang pemahaman HAM sering juga dilakukan di ruang-ruang virtual.

Jawa Barat, sebagaimana diketahui, masih jauh dari selesai dengan masalah intoleransi. Setara Institute, dalam laporan tahunan kondisi kebebasan berkeyakinan dan beragama (KBB) di Indonesia, menempatkan provinsi terpadat ini di peringkat pertama dalam hal jumlah pelanggaran KBB selama 14 tahun berturut-turut. Terakhir, di sepanjang tahun 2021, tercatat ada 40 kasus.

Sahabat Lintasiman (Salim) merupakan kumpulan anak-anak muda yang aktif menyuarakan toleransi beragama dan berkeyakinan terutama di kawasan Bandung Timur. (Foto: dokumentasi Salim)*
Sahabat Lintasiman (Salim) merupakan kumpulan anak-anak muda yang aktif menyuarakan toleransi beragama dan berkeyakinan terutama di kawasan Bandung Timur. (Foto: dokumentasi Salim)*

Pendidikan Politik di Kelas Literasi

Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) punya cara lain mempromosikan toleransi. Di setiap Sabtu, dua jam lamanya, kelas-kelas literasi digelar. Kadang di gereja, pelataran masjid, atau di taman. Isu yang dibahas beragam, mulai dari agama, gender, keberagaman, hingga politik. Kelas berlangsung secara dinamis sejak kelas pertama Sekodi dimulai pada 2018 lalu.  

Dalam kelas politik, misalnya, anak-anak muda yang jadi pesertanya belajar bersama tentang hak pilih, isu terkini demokrasi, serta bagaimana mereka menyuarakan aspirasi masing-masing di ranah politik. Latar belakang mereka beragam, termasuk kawan transpuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

“Kita juga ingin menanamkan kesadaran berpolitik yang sehat sama teman-teman. Dalam arti begini, saya nggak peduli ya teman-teman mau pilih partai A, partai B, partai C, tapi kalian harus mampu mempertanggungjawabkan pilihan,” ungkap Fanny S. Alam, koordinator Regional Bandung Sekodi, ditemui BandungBergerak.id, Selasa (16/8/2022).

Kelas-kelas Sekodi hendak menanamkan cara pandang kritis terhadap setiap persoalan politik. Termasuk terhadap ancaman hoaks politik identitas dan SARA yang rentan tumbuh di Jawa Barat.

Fanny menyatakan, salah satu kelemahan Sekodi adalah keterbatasan pendanaan yang dibutuhkan untuk memperluas jangkauan dan dampak kampanye. Selama ini, bergerak secara sukarela, sumber dana masih bergantung pada kantong pribadi para pengurus dan anggotanya. Kelas-kelas mingguan belum bisa dikonversi ke lokakarya besar dengan melibatkan semakin banyak anak muda. Namun, itu toh bukan alasan untuk tidak lagi berbuat.

“Bahkan tiga orang pun mereka (peserta) ada, kita jalani. Ya karena bukan apa-apa, sedikit orang pun bagi kami itu salah satu bentuk tetap penyuaraan. Dan mereka juga bisa saling nyebarin ke temen-temen lainnya gitu,” tutur Fanny.

Baca Juga: Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Cerita tentang Keberagaman bagi Para Penghayat Cilik
Laga Para Penghayat Muda

Menyasar Pemilih Muda

Isu agama dan politik identitas selalu laku dieksploitasi di setiap pesta demokrasi, baik pemilihan kepada daerah, pemilihan legislatif, maupun pemilihan umum (pemilu) presiden. Apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 menjadi bukti bagaimana politik identitas, yang diberangi dengan sebaran kabar palsu, bisa membelah masyarakat menjadi dua kubu berlawanan.

Ketua Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Bandung Raya, Rita Gani meyakini, hoaks terkait isu SARA bakal kembali bermunculan di seputar tahun politik 2024 mendatang. Yang akan banyak disasar adalah lansia dan anak muda sebagai pemilih pemula.

“Perlu dilakukan pelatihan atau pengayaan, workshop, webinar tentang literasi media yang lebih luas, dengan target anak anak muda. Jadi sasarannya itu lebih muda. Memang rentan pemilih pemula,” ungkapnya, Rabu (6/7/2022). 

Sementara itu, Ketua Jabar Saber Hoaks, Alfianto Yustinova menandai bagaimana hoaks bekerja. Di tahun-tahun politik, beragam kabar bohong bermuatan isu politik identitas banyak beredar. Di tahun-tahun pandemi Covid-19, giliran hoaks tentang bencana ini yang menyebar luas. Termasuk banyaknya informasi keliru tentang vaksin.

“Jadi apapun yang dikemas dengan isu SARA, biasanya akan lebih, apa sih istilahnya, lebih mudah digorengnya. Seperti ‘Jokowi cina’ atau ‘Jokowi komunis’ dan lainnya,” ungkapnya Selasa (16/8/2022).

Jabar Saber Hoaks (JSH) dibentuk tahun 2018 atas inisiatif Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai tanggapan atas banyaknya keluhan masyarakat tentang penyebaran hoaks. Penyampaian hasil pengecekan fakta oleh tim ini dilakukan secara kreatif melalui berbagai platform media sosial. Dalam prosesnya, JSH melibatkan banyak anak muda.  

JSH sudah melahirkan delapan cabang di kabupaten dan kota di Jawa Barat, yakni Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Cirebon. Jumlahnya akan terus bertambah.

Menurut Alfian, keputusan membentuk replikasi JSH di kabupaten dan kota merupakan langkah strategis mengantasipasi banjir hoaks politik menjelang pemlu serentak pada 2024. Keriuhan kabar bohon seputar pilkada di kabupaten dan kota bakal bisa secara efektif ditangani oleh apra pengecek fakta di daerah masing-masing.

“Jadi kita menggaungkan pembentukan replikasi Jabar Saber Hoaks,” kata Alfian. “Nanti kita melatih teman-teman di daerah untuk mengklarifikasi hoaks.”

*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi lima media, yakni Jaring, Ambon Ekspres, Harian Jogja, Serambi Indonesia, dan BandungBergerak, yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Democratic Resilience

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//