Menyambut Japanese Film Festival di Bandung, Mengapa Animasi Jepang Begitu Mengena di Hati Penonton Dunia?
Diskusi di The Room 19, Bandung menelusuri proses kreatif di balik adaptasi novel dan komik menjadi film animasi di Jepang.
Penulis Salma Nur Fauziyah13 November 2025
BandungBergerak - Mengapa banyak film animasi Jepang mampu menembus batas negara dan budaya? Salah satunya One Piece, yang bahkan sempat dijadikan simbol protes massal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Selain One Piece, masih banyak lagi sederet film animasi Jepang yang digandrungi masyarakat global.
Salma Khairunnisa Achmad, akrab disapa Cacuy, misalnya, menggemari Violet Evergarden yang diproduksi Kyoto Animation. Animasi ini berkisah tentang seorang mantan tentara anak yang tidak memahami emosi manusia. Setelah perang usai, ia bekerja sebagai Auto-Memory Doll, juru ketik surat yang membantu orang menuliskan perasaan mereka.
Cacuy menemukan sejumlah hal menarik yang membuat animasi Jepang begitu dicintai penonton lintas negara. Menurutnya, Kyoto Animation kerap mengadakan sayembara untuk naskah, manga, dan novel yang akan diadaptasi menjadi serial animasi.
“Proses kreatif itulah yang menurut aku menarik,” tutur Cacuy dalam diskusi bertajuk “Talk and Creative Discussion From Pages to Screen: A Japanese Adaptation Talk and Drawing Session”, di perpustakaan The Room 19, Bandung, Sabtu, 8 November 2025.
Dunia animasi Jepang disebut memiliki ekosistem yang kuat dan saling terhubung dengan dunia komik serta novel. Sayembara menjadi salah satu cara memperpanjang umur sebuah IP (Intellectual Property) sebuah novel atau karya fiksi.
Dalam proses alih wahana novel ke film atau serial animasi, rumah produksi animasi Jepang bekerja sama dengan penulis, seniman, dan animator. Keberhasilan adaptasi sangat bergantung pada eksekusinya: apakah mampu melampaui karya aslinya atau tidak.
“Secara visual, animenya lebih detail dan politis. Malah animenya terasa lebih puitis, sementara novelnya justru lebih straightforward,” ujar Cacuy.
Diskusi hangat tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Japanese Film Festival yang akan digelar pada 21–23 November 2025. Kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi antara Japan Foundation, Bahasinema, dan perpustakaan independen The Room 19.
Sekitar dua puluh peserta memenuhi ruang perpustakaan yang hangat dan santai. Para peserta antusias berbagi kisah tentang novel dan komik Jepang yang mereka bawa.

Memadukan Cerita Rakyat dan Masa Depan melalui seni
Diskusi di The Room 19 juga menghadirkan Rega Ayundya Putri, seniman yang menceritakan pengalamannya saat melakukan residensi Fukuoka Asian Art Museum (FAAM), di Prefektur Fukuoka, Jepang. Selama residensi ia memamerkan karya instalasinya di galeri seni yang menempati ruang kelas bekas sekolah sekolah yang bangkrut.
Instalasinya mengangkat cerita rakyat yang menggambarkan evolusi manusia di masa depan, ketika dunia mulai tenggelam akibat perubahan iklim. Semuanya perlahan berubah menjadi Kappa, siluman yang hidup dalam cerita rakyat di Fukuoka.
Karya ini menurut Rega mendapat antusias dari pengunjung. Salah seorang pengunjung merasa penasaran dengan seniman instalasi ini. Dia terkejut karena seniman ternyata bukan orang Jepang melainkan orang Indonesia.
Selama berkarya, Rega banyak terpengaruh budaya pop Jepang. Begitu juga dalam keterlibatannya dalam residensi FAAM. Proposal karyanya terinspirasi dari animasi Jepang, Ghost In Shell, yang berlatar di Fukuoka, Kowloon, dan Hongkong.
“Ya udah deh akhirnya aku proposal-nya ngomongin masa depan kota di tepi laut. Jadi karena soalnya rada mirip Jakarta kan. Jakarta kan dekat Sunter tuh,” ceritanya.
Ia menilai, ada kemiripan antara Jakarta dan Fukuoka yang dikelilingi laut. Ia berandai-andai bagaimana manusia dapat hidup dalam kondisi tersebut.
“Terus aku bayanginlah kenapa enggak manusia jadi Kappa aja tuh,” ujarnya. “Jadi maksudnya kayak kita tuh berevolusi buat beradaptasi dengan environment kita gitu.”
Japanese Film Festival 2025
Japanese Film Festival (disingkat JFF) merupakan program yang dicanangkan oleh Japan Foundation Jakarta pada tahun 2016. Program ini diharapkan menjadi ajang untuk memperkenalkan film-film Jepang pada masyarakat yang lebih luas.
Pada gelaran tahun ini, JFF 2025 akan hadir di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Surabaya, Padang, Medan, dan Balikpapan.
Ada 14 film yang akan diputar di Kota Bandung. Beberapa film yang menjadi sorotan seperti Ghost In Shell (1995) serta Linda, Linda, Linda (2005) yang akan diputar dalam resolusi 4k, hingga sinema klasik seperti Seven Samurai (1954) yang merupakan garapan dari sutradara kondang, Akira Kurosawa.
Japanese Film Festival ini akan berlangsung tanggal 21-23 November 2025 di CGV Paskal Shopping Center. Pemesanan tiket sudah dapat dipesan tanggal 14 November 2025 di laman dan aplikasi CGV.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

