• Berita
  • Memilah Sampah, Langkah Paling Nyata untuk Mengakhiri Krisis Sampah Bandung

Memilah Sampah, Langkah Paling Nyata untuk Mengakhiri Krisis Sampah Bandung

Tanpa budaya memilah di rumah, kebijakan dan teknologi apa pun tak akan menyentuh akar persoalan persampahan Kota Bandung.

Tri Damayanti, perempuan ibu rumah tangga, membagikan cerita tentang ketekunan memilah sampah sejak dari rumah. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Penulis Iklima Syaira 17 November 2025


BandungBergerakIbu rumah tangga, aktivis lingkungan, Pemkot Bandung, dan masyarakat sipil bertemu pada satu titik di diskusi publik bertema “Insinerator VS Pemilahan Sampah: Mencari Solusi Untuk Darurat Sampah Bandung” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Rabu, 12 November 2025. Diskusi ini melahirkan kesimpulan: pemilahan sampah adalah fondasi utama.

Teknologi dapat membantu, tetapi tanpa kebijakan yang mengedukasi dan memfasilitasi perubahan dari rumah, perbaikan sistem persampahan Bandung tak akan menyentuh akar persoalan. Kota ini hanya dapat keluar dari darurat sampah jika kebiasaan memilah menjadi budaya bersama.

Langkah sederhana dari seorang ibu rumah tangga menunjukkan bahwa solusi paling mendasar justru ada di rumah. Tri Damayanti, selama dua tahun terakhir, konsisten memilah sampah di rumahnya. Ia memulai dari langkah paling dasar: memisahkan sampah basah dan sampah kering. Untuk sampah kering, ia memastikan semuanya bersih dan terpilah sebelum disedekahkan setiap hari Jumat kepada tukang rongsok atau pemulung.

“Mungkin untuk kita itu sampah atau sisa konsumsi, tapi buat mereka itu ternyata rupiah,” tuturnya, di tengah forum diskusi.

Kebiasaannya yang dilakukan tanpa paksaan justru mengubah perilaku keluarga. Suami dan anaknya mengikuti tanpa perlu diberi aturan khusus.

“Perubahan perilaku ini saya jalani dengan santai, nah itu dilihat oleh suami dan anak saya, tidak bilang kita harus blablabla, enggak, cuma saya melakukan kemudian mereka lihat,” ujarnya.

Dari sampah organik yang dihasilkan sehari-hari, Damayanti mengolah sebagian kulit buah dan sayur menjadi eco-enzyme untuk kebutuhan rumah tangga. Ia juga memanfaatkan kompos buatannya sendiri untuk tanaman di rumah.

“Sudah 2 tahun ini kompos (buatan) itu menghiasi pot-pot saya, berarti saya sudah tidak membeli hal berupa kompos (instan) tapi sudah bisa membuat sendiri,” ujarnya.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan memastikan pelarangan penggunaan insinerator skala kecil untuk membakar sampah. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan memastikan pelarangan penggunaan insinerator skala kecil untuk membakar sampah. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Memilah, Paling Benar dalam Mengelola Sampah

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan yang hadir dalam diskusi berusaha menjawab keresahan warga tentang kondisi sampah kota. Farhan menjelaskan bahwa paradigma “angkut, buang” masih menjadi kebijakan umum di berbagai negara. Perbedaannya terletak pada pengolahan dan cara masyarakat memilah sampah.

Ia mencontohkan Jepang, di mana setiap rumah wajib memilah sampah menjadi empat jenis sehingga tempat sampah umum nyaris tidak dibutuhkan. Pola ini coba diadopsi Bandung, termasuk di kawasan Braga yang tidak menyediakan tempat sampah agar warga terbiasa membawa sampah pulang dan memilahnya sendiri.

Namun, Farhan menilai adopsi budaya tersebut tidak mudah mengingat karakter sampah di Indonesia berbeda, termasuk banyaknya daun pisang sebagai pembungkus makanan.

“Sampah adalah hasil, bukan residu, hasil budaya kita. Itu yang terjadi di kota Bandung. Saya nggak tau di kota lain. Tapi di Bandung itu yang terjadi,” tutur Farhan.

Menurutnya, pendekatan berbasis masyarakat seperti yang dilakukan Damayanti membutuhkan waktu panjang. Ia memperkirakan butuh hingga 10 tahun untuk menemukan figur-figur serupa di setiap wilayah. Untuk mempercepat proses, Pemkot Bandung menyiapkan program Gaslah atau Petugas Pemilah, yang akan membantu pemilahan di tingkat RW.

“Banyak masyarakat males memilah saya tidak mungkin menunggu masyarakat ayo dong milah dong saya edukasi, gak,” katanya.

Farhan memperingatkan bahwa jika tidak ada perubahan, tumpukan sampah Bandung akan membludak dalam 10 bulan ke depan. Karena itu, ia menegaskan bahwa langkah paling benar adalah memilah sampah dari sumbernya, seperti yang dilakukan Damayanti.

“Gak ada lagi yang lebih bener dari itu (memilah sampah), walaupun tantangannya besar,” tuturnya.

Baca Juga: Pemkot Bandung Memastikan Pelarangan Pembakaran Sampah dengan Insinerator Kecil
MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Kesadaran Memisahkan Sampah di antara Gemerlap Festival di Bandung

Sesi foto bersama usai diskusi publik Insinerator vs Pemilahan Sampah di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Rabu, 12 November 2025 sore. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Sesi foto bersama usai diskusi publik Insinerator vs Pemilahan Sampah di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Rabu, 12 November 2025 sore. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Bom Waktu

Dari sudut pandang Jeffry Rohman dari Walhi Jawa Barat, persoalan sampah Bandung berakar dari cara pandang yang masih berputar pada pola “angkut dan buang”. Padahal, tanpa pengendalian dari hulu, masalah akan terus meledak.

“Fenomena masalah sampah kota Bandung belum tuntas, artinya bahwa kalau sampah tidak dikendalikan dari awal, ini bom waktu akan terjadi kapanpun,” tuturnya.

Jeffry menekankan bahwa rantai pengelolaan sampah tidak boleh berhenti di tangan konsumen; produsen tetap bertanggung jawab atas kemasan sekali pakai yang mereka hasilkan. Ia menyebut sudah ada aturan mengenai kewajiban produsen, namun pelaksanaannya belum berjalan.

“Kita sudah ada permen terkait dengan peta jalan penggunaan sampah oleh produsen. Kembali lagi, aturan, retribusi, dan punishment itu tidak diadakan, maka ya fenomenanya seperti ini. Kenyataannya atau kejadiannya seperti ini,” tandasnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//