• Opini
  • Hedonisme Bukan Ajakan Mengejar Kesenangan Tanpa Batas

Hedonisme Bukan Ajakan Mengejar Kesenangan Tanpa Batas

Hedoniesme Epikuros menganjurkan kita untuk menghitung kembali konsekuensi dari setiap kesenangan.

Joel Roberto Dos Santos

Penulis Independen

Ilustrasi. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 November 2025


BandungBergerak.id – Pernyataan "kita harus bersenang-senang karena hidup singkat" memang terdengar seperti ajakan untuk mengejar kesenangan tanpa batas. Salah satu cara hidup yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat yakni hedonisme. Bagi sebagian orang, hedonisme sering dikaitkan dengan sifat boros, sering menghamburkan uang, dan hanya berpikir tentang “kenikmatan” dan hura-hura. Banyak yang masih mengira hedonisme adalah pengejaran kenikmatan yang sangat duniawi secara berlebihan. Padahal salah seorang filsuf bernama Epikuros menyangkal dan mengajarkan bahwa “tidak mungkin hidup dengan nikmat jika tidak hidup dengan bijaksana, mulia dan adil”. Kenikmatan yang dimaksud bukanlah pesta pora, hura-hura, minum-minum, birahi dan konsumsi makanan bagai kesetanan melainkan keadaan di mana semuanya tercukupi. Hal itu dipertegas oleh Epikuros dengan "sepotong keju yang baik sama nikmatnya dengan seluruh hidangan kenduri".

Pemahaman hedonisme sejati justru bukan tentang mengejar kenikmatan sesaat secara impulsif. Sikap hidup hedonistik dalam pemahaman umum yang menggejala dalam masyarakat menjadi sikap hidup yang berkonotasi materialis, kenikmatan hanya bisa diukur dari sisi materi. Epikuros mengajarkan bahwa karena hidup kita terbatas, kita justru harus bijaksana dalam memilih kesenangan mana yang benar-benar membawa kebahagiaan sejati. Ia membedakan antara kesenangan yang membawa ketenangan jiwa (ataraxia) dengan kesenangan yang justru menimbulkan penderitaan di kemudian hari. Kesadaran akan singkatnya hidup seharusnya membuat kita lebih selektif, bukan lebih gegabah, dalam menjalani kehidupan.

Manusia modern perlu menelisik bahwa pandangan Epikuros, kesenangan tertinggi bukanlah pesta mewah atau kemewahan materi, melainkan ketiadaan rasa sakit fisik dan kegelisahan mental. Dia menyebut kondisi ini sebagai "aponia" (ketiadaan rasa sakit) dan "ataraxia" (ketenangan jiwa). Justru karena waktu kita terbatas, kita tidak boleh menyia-nyiakannya dengan mengejar hasrat yang tak terpuaskan seperti kekayaan berlebihan, kekuasaan, atau ketenaran. Hasrat-hasrat ini seperti lubang tanpa dasar yang tidak akan pernah terpenuhi dan malah menghabiskan waktu berharga kita dengan kecemasan dan ketidakpuasan. Sebaliknya, kebahagiaan sejati ditemukan dalam hal-hal sederhana seperti persahabatan yang tulus, makanan yang cukup, kesehatan tubuh, dan kedamaian pikiran.

Tapi, apakah hanya orang tertentu dalam kelas sosial yang bisa dikatakan hedonis? Tidak, semua orang bisa. Ajaran hedonisme Epikuros menjawab bahwa orang yang miskin harta sekalipun, apabila mereka menikmati dan merasa cukup dengan milik mereka yang sedikit itu, mereka justru dapat disebut sebagai hedonis sejati. Ini adalah revolusi pemikiran, kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang kita miliki, tetapi oleh seberapa cukup kita merasa dengan apa yang ada. Kelas sosial tidak menentukan siapa yang layak disebut hedonis, semua orang dari berbagai kelas sosial bisa disebut hedonis, asal dia merasa cukup.

Baca Juga: Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial
Tentang Macet dan Filosofi Hidup, Mengenal Diri di Tengah Hiruk Pikuk Jalanan
Menguji Batas Sabar Rakyat, dari Aksi Sipil Menuju Demokrasi yang Hidup

Pengaruh Media Sosial

Kita sebagai manusia modern sering berselancar di media sosial hingga lupa waktu. Media sosial menyuguhkan kehidupan yang menurut kita “itulah standar kehidupan yang aku impikan”. Kita termakan kenikmatan dan kebahagiaan ilusi yang belum tentu nyata bagi semua orang. Inilah yang menjadi ancaman terbesar manusia modern dalam menciptakan kebahagiaan. Hematnya, media sosial secara sistematis mengamplifikasi hasrat-hasrat yang tidak alami dan tidak perlu. Kita mengharuskan diri ini mampu seperti orang-orang yang kita lihat berlibur ke luar negeri, makan di restoran ternama, memamerkan barang mewah, mengajak pasangan ke tempat-tempat indah, minum di bar terkenal padahal kita tidak sedang melihat kebutuhan dasar manusia. Kita sedang disajikan standar kehidupan artifisial yang menciptakan lubang ketidakpuasan terhadap kehidupan kita sendiri yang sebenarnya cukup.

Ketika kita sudah masuk ke dalam media sosial, maka perlu berhati-hati karena permainan perbandingan tanpa akhir dimulai dan itu bertentangan dengan ajaran hedonisme Epikurean. Hedonisme itu datang dari dalam diri yang menyeluruh, bukan dari validasi eksternal atau perbandingan nasib dengan orang lain di media sosial atau sekitar. Algoritma media sosial tidak akan pernah berhenti memainkan perasaan dan pikiran kita untuk terus-menerus membandingkan diri. Maka ini resep sempurna untuk anxiety dan ketidakbahagiaan yang Epikuros ingin kita menghindarinya.

Namun, bukan berarti kita harus menolak media sosial atau bahkan bukan asketis yang menolak semua bentuk kesenangan atau teknologi. Kita dan Epikuros mengakui bahwa media sosial bisa memberikan beberapa kesenangan positif jika digunakan dengan bijaksana seperti tetap terhubung dengan teman lama, belajar hal baru, berbagi momen kebahagiaan sederhana, atau menemukan komunitas dengan minat yang sama. Kuncinya adalah apa yang Epikuros sebut sebagai "perhitungan kesenangan" (hedonic calculus). Dengan pertanyaan mendasar, “Apakah kesenangan yang didapat dari media sosial lebih besar daripada penderitaan yang ditimbulkannya?”

Yang Perlu Menjadi Prioritas

Epikuros mengajarkan bahwa kita seharusnya mengatasi ketakutan yang paling mendasar dari manusia yaitu ketakutan akan kematian. Ia berargumen bahwa kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti karena, "Ketika kita ada, kematian belum ada dan ketika kematian ada, kita sudah tidak ada lagi." Maka, kesadaran akan ini seharusnya membebaskan kita untuk benar-benar menikmati hidup tanpa diliputi kecemasan eksistensial. Dengan memahami bahwa hidup singkat dan kematian adalah akhir dari kesadaran, kita justru bisa fokus pada saat ini, pada hubungan yang bermakna, dan pada pengalaman yang membawa kedamaian, bukan pada akumulasi hal-hal yang tidak bisa kita bawa mati.

Adagium terkenal yang sering digaungkan olehnya "carpe diem" atau "petiklah hari ini", dalam hedonisme Epikurean bukan berarti hidup tanpa perencanaan atau tanggung jawab. Justru sebaliknya, karena hidup kita singkat, setiap pilihan harus diperhitungkan dengan matang. Epikuros menganjurkan kita untuk menghitung kembali konsekuensi dari setiap kesenangan, seperti, “Apakah kesenangan ini akan membawa lebih banyak kebahagiaan daripada penderitaan? Apakah kenikmatan sesaat ini layak dibayar dengan rasa sakit yang berkepanjangan?” Misalnya, mabuk-mabukan, beli barang branded, judi online mungkin memberikan kesenangan sementara, tetapi sakit kepala keesokan harinya dan potensi kerusakan kesehatan jangka panjang membuatnya menjadi pilihan yang tidak bijaksana dalam kalkulasi hedonistik Epikuros.

Akhirnya, kita manusia modern perlu sadar bahwa hedonisme Epikuros mengajarkan keraguan terhadap pernyataan "bersenang-senang karena hidup singkat" adalah wajar dan sehat. Keraguan itu menunjukkan kesadaran bahwa tidak semua kesenangan sama nilainya. Epikuros mengajak kita untuk hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness), memilih kesenangan yang sederhana namun bermakna mendalam yang menyentuh keberadaan, membebaskan diri dari ketakutan yang tidak perlu, dan menghargai setiap momen yang kita miliki. Hidup memang singkat, tetapi justru karena itu, kita tidak boleh menyia-nyiakannya dengan mengejar ilusi kebahagiaan yang mengabur. Sebaliknya, kita harus menemukan kebahagiaan sejati dalam kesederhanaan, persahabatan, kebijaksanaan, dan ketenangan jiwa, inilah esensi sejati dari hedonisme yang sering disalahpahami sebagai ajaran kesenangan tanpa batas.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//