• Opini
  • Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial

Perilaku Doom Spending, Antara Gaya Hidup Konsumtif dan Kesehatan Finansial

Di Indonesia sekitar 49 persen Gen Z melaporkan kesulitan menabung secara konsisten. Mereka terjebak dalam perilaku konsumtif yang tidak sehat.

Heny Hendrayati

Dosen Prodi Manajemen – Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

Ilustrasi. Generasi digital tidak bisa lepas dari gadget atau gawai. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

16 Oktober 2024


BandungBergerak.idIstilah doom spending marak dibicarakan. Sebagian opini memvonis perilaku ini sebagai penyebab generasi muda sekarang menjadi miskin. Akhir September 2024, istilah ini pun banyak dibicarakan orang Indonesia. Bahkan gejala doom spending disinyalir terjadi secara global.

Sebutan doom spending populer di kalangan generasi milenial dan gen Z. Istilah ini mengacu pada perilaku konsumsi berlebihan yang dipicu oleh perasaan cemas, stres, atau ketidakpastian tentang masa depan. Perilaku ini bisa berupa belanja impulsif sebagai cara mengatasi tekanan emosional. Pengeluaran tidak terkontrol ini semakin menonjol pascapandemi, di mana ketidakpastian ekonomi dan sosial telah membuat banyak orang merasa kehilangan kendali atas hidup mereka.

Generasi milenial dan Z, dua kelompok demografi yang paling terdampak oleh perubahan global, menjadi aktor utama dalam fenomena doom spending. Milenial kini berada dalam rentang usia produktif (sekitar 27-40 tahun), sering kali menghadapi tekanan ekonomi yang tidak mudah. Beban utang pendidikan, harga rumah yang melonjak, hingga ketidakpastian pekerjaan telah menciptakan perasaan cemas yang mendorong mereka mencari pelarian melalui konsumsi. Sementara itu, generasi Z (berusia 10-26 tahun) yang dibesarkan di era digital, kerap terpapar standar hidup mewah yang disajikan media sosial. Dalam upaya mengikuti tren, perilaku konsumsi mereka tak jarang didorong oleh keinginan untuk diakui, bukan kebutuhan.

Sebuah penelitian yang dirilis Psychology Today di Amerika akhir Desember 2023 lalu, menyebut bahwa 27 persen orang Amerika melakukan doom spending saat mereka stres. Dari jumlah itu, 32 persen responden bahkan mengaku bahwa mereka sengaja berutang hingga enam bulan ke depan untuk memenuhi hasrat tersebut.

Sementara di Indonesia, berdasarkan survei oleh Katadata Insight Center, sekitar 49 persen gen Z Indonesia melaporkan kesulitan menabung secara konsisten. Ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka terjebak dalam perilaku konsumtif yang tidak sehat.

Penyebab Utama

Ada beberapa faktor yang mendorong generasi milenial dan Z terjerumus dalam perilaku merugikan ini. Tak dimungkiri, media sosial memegang peranan yang sangat kuat. Platform media sosial seperti Instagram dan TikTok penuh dengan konten yang menampilkan gaya hidup glamor. Pengguna sering kali melihat figur-figur yang mereka kagumi menggunakan barang-barang bermerek, liburan mewah, atau menikmati pengalaman eksklusif. Tekanan untuk ikut serta dalam tren tersebut sangat besar, terutama bagi mereka yang ingin mempertahankan citra diri di hadapan teman atau pengikut daring.

Hal lain yang ikut memengaruhi perilaku itu salah satunya adalah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Ketidakpastian ekonomi, baik akibat pandemi global atau resesi, telah menciptakan lingkungan yang penuh kecemasan. Ketika masa depan tampak suram, orang cenderung mengalihkan perhatian mereka dari kekhawatiran dengan melakukan sesuatu yang memberikan rasa kendali, seperti belanja. Fenomena ini bisa dijelaskan sebagai coping mechanism yang keliru dalam menghadapi ketidakpastian.

Perilaku doom spending memang sering kali dimotivasi oleh stres emosional. Belanja menjadi cara bagi individu untuk sementara waktu melarikan diri dari masalah atau memberikan reward atas perjuangan menghadapi hari-hari yang sulit. Meskipun membeli barang-barang yang diinginkan dapat memberikan kebahagiaan jangka pendek, dampak jangka panjangnya justru dapat merusak. Banyak yang akhirnya terjebak dalam lingkaran utang atau mengalami tekanan finansial yang lebih besar akibat keputusan konsumtif impulsif tersebut.

Belanja menjadi cara bagi individu untuk sementara waktu melarikan diri dari masalah atau memberikan reward atas perjuangan menghadapi hari-hari yang sulit. Meskipun membeli barang-barang yang diinginkan dapat memberikan kebahagiaan jangka pendek, dampak jangka panjangnya justru dapat merusak. Banyak yang akhirnya terjebak dalam lingkaran utang atau mengalami tekanan finansial yang lebih besar akibat keputusan konsumtif impulsif tersebut.

Sejak era 90-an, budaya konsumsi semakin mengakar kuat. Disadari atau tidak, budaya ini kian mendalam. Dari iklan televisi hingga influencer digital, pesan yang disampaikan adalah bahwa konsumsi adalah jalan menuju kebahagiaan. Bahkan, kepuasan diri sering kali diukur dari apa yang dimiliki, bukan dari pengalaman hidup atau hubungan personal. Kondisi ini memperburuk kecenderungan generasi muda untuk merasa puas melalui konsumsi materi.

Selain hal-hal tadi, tekanan hidup dan pekerjaan yang sangat berat juga menjadi kambing hitam. Banyak dari generasi milenial dan Z bekerja di industri dengan tuntutan tinggi, baik secara fisik  maupun mental. Mereka menghadapi kelelahan emosional, burnout, atau ketidakpuasan di tempat kerja. Dalam situasi ini, berbelanja sering kali dipandang sebagai cara untuk mengurangi stres atau merayakan pencapaian pribadi yang mungkin tidak sepenuhnya terpenuhi di dunia profesional.

Baca Juga:SUBALTERN #13: Tentang Filsafat, Tentang Memikirkan Alternatif-alternatif bagi Berkehidupan
SUBALTERN #14: Michel Foucault dan Keberadaan Individu Abnormal
SUBALTERN #15: Filsafat, Sirkel Tongkrongan, dan Anak-anak

Berbahayakah?

Meski memberikan kepuasan sesaat, doom spending memiliki konsekuensi jangka panjang yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya adalah akumulasi utang. Milenial dan gen Z sering kali mengandalkan kartu kredit atau layanan "buy now, pay later" yang mempermudah mereka membeli barang tanpa memikirkan dampak keuangan di masa mendatang. Akibatnya, mereka bisa terjebak dalam utang yang sulit dilunasi, menciptakan lingkaran setan yang merugikan kesehatan finansial.

Selain itu, kebiasaan doom spending dapat merusak kemampuan untuk menabung dan berinvestasi, yang pada akhirnya memengaruhi kesejahteraan finansial di masa depan. Kurangnya perencanaan keuangan yang baik juga bisa membuat generasi ini kesulitan mencapai tujuan besar dalam hidup, seperti membeli rumah atau memulai bisnis.

Solusi: Literasi Keuangan

Dalam upaya menghadapi fenomena ini, membutuhkan pendekatan yang komprehensif baik dari sisi individu maupun lingkungan sosial yang mendukung. Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan baik oleh individu maupun masyarakat.

Literasi keuangan memegang peranan penting. Semakin tinggi tingkat literasi keuangan masyarakat, maka akan semakin baik pengelolaan finansial mereka.

Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan di Indonesia mencapai 49,68 persen tahun 2022. Ini berarti hampir setengah dari populasi, termasuk gen Z dan milenial, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai pengelolaan keuangan pribadi?. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan literasi keuangan, kondisi ini tetap menjadi tantangan besar bagi generasi muda dalam mengelola keuangan mereka secara bijaksana.

Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya literasi keuangan menjadi amunisi ampuh dalam memerangi doom spending. Pemerintah, institusi pendidikan, hingga perusahaan harus berperan aktif dalam memberikan edukasi tentang manajemen keuangan pribadi. Hal ini akan membantu generasi muda untuk lebih memahami dampak dari perilaku konsumsi impulsif serta merencanakan masa depan finansial mereka dengan lebih baik.

Upaya peningkatan literasi keuangan itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi untuk kontrol keuangan. Di era digital, ada banyak aplikasi yang dapat membantu mengelola pengeluaran dan mengatur anggaran. Aplikasi seperti ini bisa menjadi alat yang sangat berguna bagi mereka yang cenderung melakukan pembelian impulsif. Dengan memantau pengeluaran harian, mereka bisa lebih sadar terhadap kebiasaan belanja yang tidak sehat.

Masalah keseimbangan mental dan emosional juga patut dijaga. Stres emosional sering menjadi pemicu utama doom spending. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk mencari cara sehat dalam mengelola stres, seperti berolahraga, meditasi, atau bahkan berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental. Mengalihkan perhatian dari konsumsi sebagai cara pelarian akan membantu mereka dalam membuat keputusan yang lebih bijak.

Langkah terakhir adalah mengubah cara pandang terhadap konsumsi. Kebahagiaan dan kepuasan hidup tidak selalu datang dari barang-barang mewah atau mengikuti tren terbaru. Penting bagi generasi milenial dan gen Z untuk memahami nilai dari pengalaman dan hubungan sosial yang bermakna, serta investasi jangka panjang yang memberikan keamanan finansial di masa depan.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Heny Hendrayati, atau artikel-artikel lain tentang Gaya Hidup

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//