• Kolom
  • SUBALTERN #13: Tentang Filsafat, Tentang Memikirkan Alternatif-alternatif bagi Berkehidupan

SUBALTERN #13: Tentang Filsafat, Tentang Memikirkan Alternatif-alternatif bagi Berkehidupan

Kita memiliki tanggung jawab untuk menantang narasi dominan dan menganalisis secara kritis dasar-dasar kapitalisme. Bertanyalah!

Samuel V. Jonathan

Pegiat filsafat, aktif di Kelas Isolasi

Poster Marsinah, Munir, berdampingan dengan kritik pada kondisi perburuhan di Indonesia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Juli 2023


BandungBergerak.id - “I have no enemies.” Kutipan yang berseliweran di Instagram Reels dan TikTok selama beberapa bulan belakangan ini, ”Aku tidak memiliki musuh,” berasal dari Thorfinn, salah seorang tokoh utama dari seri anime Vinland Saga di musim keduanya. Kutipan ini menjadi highlight musim kedua anime tersebut karena menyatakan transformasi Thorfinn, ia yang pada mulanya merupakan seorang pasukan elite dari Canute, Pangeran dari Denmark, yang siap untuk membunuh siapa pun, menjadi seorang pejuang pasifis bagi “kemanusiaan”.

Ketika Canute, yang saat itu telah menjadi Raja dari Denmark, bertemu kembali dengan Thorfinn setelah dua tahun tidak bertemu, ia mengatakan: ”Untuk mencipta surga di bumi adalah melawan kehendak Tuhan… aku akan melawan kehendak-Nya… Itulah mengapa aku memerlukan kuasa. Aku akan menggabungkan segala kuasa yang tersebar di antara manusia untuk melawan Tuhan.” Menanggapi Canute, Thorfinn menjawab dengan yakin: ”Di tempat di mana otoritasmu tak meraih, aku akan menciptakan suatu negara yang damai dengan cara yang berbeda. Sebuah tempat bagi mereka yang tidak bisa hidup di dunia yang engkau cipta.”

Skenario tersebut menarik perhatian saya sebagai seorang pegiat filsafat. Filsafat, kata Warburton, memiliki kemampuan untuk mengubah kehidupan dari para pemelajarnya. Aspek transformatif itulah yang ditampilkan oleh Thorfinn: ia memikirkan alternatif-alternatif bagi berkehidupan yang datang dari pergulatan pribadinya melalui pertanyaan. Ketika Canute melegitimasikan status quo yang ada pada saat itu - kekerasan adalah cara terbaik bagi tercapainya kedamaian - Thorfinn enggan untuk ditundukkan olehnya. Ia bertanya: ”Apakah ini adalah hal yang terbaik dari yang mungkin kita punya? Apakah dunia tidak bisa jadi lebih baik lagi?”

Meskipun Thorfinn mungkin bukan seorang filsuf dalam pengertian tradisional, dia secara jelas menunjukkan semangat berfilsafat dengan mempertanyakan realitas yang ada dan mencari alternatif-alternatif bagi kehidupan yang lebih baik. Dengan menolak pandangan Canute tentang kekerasan sebagai jalan menuju kedamaian, ia menyuarakan keinginan untuk menciptakan sebuah negara yang damai melalui cara-cara yang berbeda. Sikap kritis Thorfinn terhadap status quo mengajak kita semua untuk juga berpikir lebih dalam dan mencari solusi yang inovatif.

Mengutip Bertrand Russell di dalam The Problems of Philosophy, filsafat ”… dipelajari bukan demi jawaban pasti… melainkan (ia dipelajari) demi pertanyaan itu sendiri; karena ia memperluas konsepsi kita akan yang mungkin, memperkaya imajinasi intelektual dan menyingkirkan kepastian dogmatis yang menutup pikiran dari spekulasi; namun, dari keseluruhannya… pikiran diubah dengan handal, dan menjadikannya satu dengan semesta.” Filsafat bukanlah perkara pencarian jawaban pasti, tetapi lebih pada soal pemberdayaan pertanyaan itu sendiri. Filsafat membebaskan pikiran dari kepastian dogmatis dan mendorong spekulasi serta imajinasi intelektual.

Namun, sikap kritis dan bertanya seperti yang ditunjukkan oleh Thorfinn sering kali mengganggu mereka yang dibuat nyaman - atau, lebih tepatnya, dibuat untung - dengan status quo. Mereka membenci pertanyaan. Itulah alasan mengapa Sokrates mati. Ia dibenci karena ia mengguncang status quo, khususnya para petinggi Athena, melalui alternatif-alternatif yang hadir dari pertanyaannya. Selain Sokrates, pada abad ke-20 nama-nama seperti Rosa Luxemburg, Leon Trotsky, Martin Luther King Jr., dan Harvey Milk, atau Marsinah, Fuad Syafruddin, dan Widji Thukul di Indonesia, merupakan beberapa nama yang telah berjuang melawan status quo, ketidakadilan, dan membawa perubahan.

Demikian juga pada masa kini, akan kita temukan, mereka -- atau kita -- yang diuntungkan oleh kapitalisme.

Baca Juga: SUBALTERN #12: Hak Asasi Manusia, Sebuah Hegemoni
SUBALTERN #11: Foucault dan Homoseksualitas
SUBALTERN #10: Membaca Kembali Diskursus Kolonialisme

Menantang Narasi Dominan

Tidak jarang saya menemukan mereka yang membela kapitalisme akan menyampaikan hal macam berikut: ”Kapitalisme adalah hal terbaik yang saat ini kita miliki.” Rasa-rasanya, mengutip Mark Fisher, lebih mudah untuk membayangkan dunia kiamat. Pada taraf tertentu, klaim itu mungkin tidak sepenuhnya keliru. Saat ini, tidak bisa dimungkiri kalau kita hidup pada suatu masa terbaik untuk menjadi Homo sapiens: tingkat kemiskinan ekstrem, kebutahurufan, kematian anak, kekerasan, dan hal-hal buruk lainnya, ada di angka terendah pada abad ke-21 ini.

Namun, pada sisi lainnya, cara kerja dari kapitalisme juga menghadirkan ekses-ekses negatif macam economic inequality, konsumerisme dan komodifikasi, eksploitasi, short-termism, dan krisis iklim -- dan daftarnya dapat dibuat semakin panjang. Kita perlu bertanya: ”Apakah dunia -- dunia yang katanya sudah baik ini - tidak bisa menjadi lebih layak dihidupi?” Lagipula, toh, kita perlu sangsi dan bertanya: apakah betul hal-hal baik dalam hidup kita hadir hanya karena kapitalisme?

Tindakan berfilsafat secara inheren mendorong pemeriksaan kritis terhadap kapitalisme. Hal itu menantang asumsi dan struktur yang mendukung sistem ekonomi ini. Dengan terlibat dalam penyelidikan filosofis, kita dapat mengeksplorasi mode alternatif pengorganisasian masyarakat dan ekonomi.

Satu pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah: bisakah kita membayangkan sebuah masyarakat di mana kebutuhan dan kesejahteraan manusia lebih diutamakan daripada maksimalisasi keuntungan? Mungkinkah menciptakan sistem ekonomi yang mengutamakan pemerataan sumber daya, memupuk kerja sama dan kolaborasi, serta menghargai martabat dan kesejahteraan semua individu?

Selanjutnya, berfilsafat mendorong kita untuk mempertimbangkan implikasi etis dari kapitalisme. Apakah secara moral dapat dibenarkan bagi suatu sistem untuk mengabadikan ketidaksetaraan kekayaan dengan kesenjangan yang besar, mengeksploitasi tenaga kerja, dan memprioritaskan keuntungan finansial jangka pendek dengan mengorbankan keberlanjutan jangka panjang dan kesejahteraan generasi mendatang?

Kita memiliki tanggung jawab untuk menantang narasi dominan dan menganalisis secara kritis dasar-dasar kapitalisme. Dengan bertanya secara ketat, kita dapat berkontribusi pada pengembangan model ekonomi alternatif yang berakar pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan. Kita harus terus mempertanyakan dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru, dengan mengingat bahwa mengejar masyarakat yang lebih adil dan manusiawi membutuhkan refleksi, dialog, dan tindakan yang berkelanjutan.

Saat ini kita patut bertanya soal dunia yang kita hidupi: ”Apakah ini adalah hal terbaik dari yang mungkin kita punya?” Bertanyalah, sebab untuk bertanya adalah untuk melawan.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//