• Kolom
  • SUBALTERN #11: Foucault dan Homoseksualitas

SUBALTERN #11: Foucault dan Homoseksualitas

Filsuf Prancis Michel Foucault memandang homoseksualitas merupakan identitas yang dikonstruksi, bukan sebuah identitas yang ditemukan.

Raja Cahaya Islam

Pegiat Kelas Isolasi

Ilustrasi keberagaman gender. Dalam pandangan mayoritas, kelompok gender selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Faktanya, ada kelompok nonbiner yang bukan mengidentifikasi diri sebagai laki-laki maupun perempuan. (Foto Ilustrasi: Amany Rafa Tabina/Mahasiswi Unpar)

19 Juni 2023


BandungBergerak.id – Apa yang kita pikirkan ketika kita bicara tentang seksualitas? Apakah seksualitas itu adalah bawaan alamiah alias bawaan semenjak lahir, dan karenanya tidak bisa diubah? Atau seksualitas itu sendiri merupakan sebuah konstruksi sosial? Bahkan ketika kita bicara tentang homoseksualitas, kita bisa bertanya pertanyaan yang kurang lebih sama, apakah homoseksualitas itu sendiri merupakan suatu bawaan, atau sebuah konstruksi sosial?

Pertanyaan tersebut di dalam tulisan ini akan dijawab menggunakan perspektif Michel Foucault, seorang filsuf asal Perancis, yang terkenal dengan bukunya yang berjudul The History of Sexuality. Apa yang menarik dari Foucault adalah ia memiliki perspektif yang berbeda dibanding orang pada umumnya dalam memandang seksualitas.

Bahkan tak hanya bicara tentang seksualitas secara general, Foucault juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang homoseksualitas (karena homoseksualitas juga berelasi dengan wacana tentang seksualitas). Tak hanya menganggap bahwa homoseksualitas sebagai sebuah konstruksi sosial, Foucault juga menegaskan bahwa homoseksualitas itu “ditemukan”.

Secara general Foucault sendiri tidak mempercayai tentang ada yang disebut dengan kondisi natural dari manusia. Rabinow, sebagaimana dikutip oleh Max H Kirsch (2001) dalam Queer Theory and Social Change, mengatakan: “He doesn’t refute them; instead, his consistent response is to historicize grand abstractions. In the last analysis, he does not take a stand on whether or not there is a human nature”.

Baca Juga: SUBALTERN #8: Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci
SUBALTERN #9: Seni dan Fabrikasi
SUBALTERN #10: Membaca Kembali Diskursus Kolonialisme

Seksualitas Sebagai Konstruksi

Mengacu pada penjelasan dari Tamsin Spargo (1999) dalam Foucault and Queer Theory, untuk memahami status homoseksualitas, perlu diketahui terlebih dahulu status dari seksualitas menurut Foucault. Biasanya kita memahami bahwa seksualitas adalah suatu hal yang alamiah atau natural. Foucault sendiri menolak anggapan tersebut, ia mengatakan bahwa seksualitas itu lebih merupakan sebuah konstruksi sosial, daripada suatu fitur alamiah manusia.

Tapi ketika disebutkan bahwa seksualitas itu bersifat konstruksi sosial, Foucault tidak bermaksud untuk menolak dimensi biologis yang kita miliki. Bahwa kita memiliki tubuh yang bersifat biologis itu memang faktual ada, namun menurut Foucault kita tidak bisa mengesampingkan peran dari institusi yang turut andil, bahkan mendominasi, dalam menentukan seksualitas kita sendiri.

Peran institusi sosial tersebut dalam membentuk seksualitas berarti “menolak” anggapan bahwa seksualitas itu “ditemukan”. Seksualitas sendiri bagi Foucault merupakan suatu hal yang diproduksi. Seksualitas yang diproduksi ini bisa dilihat dari bagaimana Foucault menjelaskan tentang Scientia Sexualis.

Scientia Sexualis merupakan konsep yang merujuk pada bagaimana pengetahuan tentang seksualitas itu diproduksi dalam sebuah jaringan pengetahuan. Produksi pengetahuan ini bisa dilacak pada pengakuan yang ada di dalam tradisi Krisitiani hingga pada psikoanalisis. Pengakuan ini berarti bahwa seseorang menceritakan segala hasrat dan praktik seksualitasnya kepada pendeta (tentunya sebagai sebuah dosa) atau dalam wujudnya yang “kontemporer” menceritakan simtom yang dimiliki oleh seseorang kepada dokter (untuk kemudian diobati). Kedua praktik tersebut merujuk pada mode yang sama, yakni pengakuan kebenaran tentang seksualitas.

Homoseksualitas Sebagai Temuan

Foucault mengatakan bahwa homoseksualitas sebagai sebuah kategori ditemukan pada tahun 1870an. Ketika mengatakan itu, ia memaksudkan bahwa homseksualitas itu sendiri merupakan identitas yang dikonstruksi, bukan sebuah identitas yang ditemukan.

Namun, apa yang dimaksudkan oleh Foucault ketika ia mengatakan bahwa homoseksualitas itu dikonstruksi, ia tidak bermaksud bahwa praktik homoseksualitas itu sendiri belum ada sebelum abad 19. Tentu Foucault juga tahu bahwa praktik tersebut sudah dilakukan. Hal ini misalnya bisa dilihat pada masa Renaissance di mana praktik sodomi sudah dilarang keras oleh gereja, dan dilarang juga oleh hukum pada masa itu. Baik itu praktik sodomi yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki atau laki-laki dan perempuan.

Apa yang dimaksud oleh Foucault ketika ia mengatakan bahwa homoseksualitas itu ditemukan di abad 19 adalah, bahwa homoseksual pada abad tersebut hadir sebagai sebuah “spesies”, yakni sebuah “penyimpangan” dari tipe seksualitas arus utama.

Homoseksualitas pada abad 19 kemudian juga hadir sebagai sebuah diskursus, di mana homoseksualitas mulai diteliti dalam sudut pandang medis, hukum, edukasi, dan demografi. Tentu tak hanya homoseksualitas saja yang diteliti dan yang kemudian hadir sebagai sebuah wacana. Akan tetapi, seksualitas itu sendiri secara general hadir sebagai sebuah diskursus.

Dalam rentang waktu sejarah tersebut, praktik pewacanaan seksualitas dalam sebuah diskursus hadir berbarengan dengan kebutuhan perkembangan sistem kapitalisme, di mana teknologi seksual ditujukan sebagai sebuah strategi yang berfungsi untuk meregulasi produktivitas dan prokreasi dari populasi. Norma prokreasi ini tentu merujuk pada kebutuhan Produksi perkembangan tenaga kerja. Regulasi seperti pelarangan praktik masturbasi pada anak kecil, pengaturan perilaku seksual, dan berbagai regulasi-regulasi lainnya mulai diterapkan untuk tujuan tersebut.

Dalam konteks ini maka, perilaku atau praktik seksual yang berbeda dengan norma prokreasi tersebut akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari norma prokreasi. Praktik homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah “tindakan” yang berdosa, akan tetapi homoseksualitas hadir sebagai sebuah kondisi individual.

Berdasarkan hal tersebut maka homoseksualitas itu sendiri merupakan kategori yang baru ditemukan. Homoseksualitas itu diproduksi. Ia belum hadir sebelum kemudian dikonstruksi sebagai sebuah diskursus seksualitas.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//