• Kolom
  • SUBALTERN #12: Hak Asasi Manusia, Sebuah Hegemoni

SUBALTERN #12: Hak Asasi Manusia, Sebuah Hegemoni

Sedikitnya ada tiga kritik poskolonialisme pada Hak Asasi Manusia. Yakni pada klaim universal, ketidakseimbangan kekuasaan, serta dekolonialisasi Hak Asasi Manusia.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Poster tuntutan pelanggaran HAM pada kasus pembunuhan Munir berdampingan dengan isu kesetaraan gender yang diusung buruh di Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Juni 2023


BandungBergerak.id – Filsafat barat modern yang ditandai dengan sebuah periode yang disebut dengan Abad Pencerahan atau Enlightenment memiliki peran yang cukup krusial dalam pembentukan konsep mengenai hak asasi manusia. Era ini dibentuk melalui pemikiran yang berfokus pada rasio, individualisme, dan pencarian akan martabat serta kebebasan manusia. Pemikir-pemikir yang cukup signifikan seperti John Locke, Thomas Hobbes, dan Immanuel Kant berupaya untuk merumuskan fondasi filosofis yang membuat Hak Asasi Manusia menjadi sebuah prinsip fundamental dan universal.

John Locke dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government, menyatakan bahwa seluruh individu memiliki hak yang bersifat alamiah. Hak tersebut di antaranya adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak untuk memiliki sesuatu. Tiga hak tersebut tidak diberikan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan sebagai sebuah nilai inheren dalam diri manusia. Locke lalu menyebutkan adanya kontrak sosial yang menjelaskan bahwa peran negara dibutuhkan sebagai penjamin bahwa setiap individu mendapat hak inheren tersebut.

Pemikir lain yaitu Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan secara singkat menyatakan bahwa diperlukan adanya sebuah kontrak sosial yang menciptakan sebuah otoritas yang mampu menjaga keteraturan dan melindungi hak dan kebebasan individu.

Terakhir, Immanuel Kant dengan konsep moralnya menawarkan sebuah konsep yang disebut dengan imperatif kategoris, mengajukan sebuah rekognisi terhadap hak asasi manusia berdasarkan value dan rasionalitas seorang individu. Dalam arti lain, Kant menganggap bahwa rasiolah yang inheren di dalam kehidupan manusia, hak dan kebebasan adalah produk dari rasio tersebut.

Berdasarkan penjelasan singkat mengenai tiga pemikiran di atas, dapat dilihat bahwa hak asasi manusia dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya esensial, melekat pada diri manusia sejak saat seorang individu eksis di dunia. Hak asasi manusia juga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat fundamental dan universal. Seluruh manusia di muka bumi ini, di manapun mereka berada, dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda dianggap setara di hadapan Hak Asasi Manusia.

Pertanyaannya, apakah ide fundamental dan universal yang terlihat adil ini tidak memiliki masalah? Bukankah pada titik tertentu, konsep Hak Asasi Manusia mencerabut manusia dari tanah yang mereka pijak, dari bahasa yang mereka tuturkan, dan dari budaya yang telah mereka ciptakan dan jalani selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun? Lalu, apakah Hak Asasi Manusia tidak bisa dilihat sebagai narasi yang dominan, hierarki dan pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan bagi kelompok masyarakat tertentu?

Baca Juga: SUBALTERN #9: Seni dan Fabrikasi
SUBALTERN #10: Membaca Kembali Diskursus Kolonialisme
SUBALTERN #11: Foucault dan Homoseksualitas

Kritik Poskolonialisme pada Hak Asasi Manusia

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita lihat kritik dan tawaran dari poskolonialisme terhadap Hak Asasi Manusia. Poskolonialisme adalah sebuah kerangka berpikir yang menganalisa efek dari kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap masyarakat, kultur, dan struktur kekuasaan. Teori ini menantang narasi dominan, hierarki, dan ketidakadilan yang muncul pada era kolonial dan tetap eksis hingga era kontemporer. Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin konsep tentang Hak Asasi Manusia (yang muncul hampir bersamaan dengan kolonialisme) dianalisa, didekonstruksi dan diinterpretasi ulang melalui perspektif poskolonialisme.

Poskolonialisme sekurang-kurangnya menawarkan tiga kritik terhadap hak asasi manusia. Secara garis besar, kritik ini ditujukan kepada klaim universal, ketidakseimbangan kekuasaan dan terakhir menawarkan dekolonialisasi Hak Asasi Manusia.

Kritik pertama dari poskolonialisme terhadap Hak Asasi Manusia tertuju pada klaim yang menganggap bahwa Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu nilai universal yang bisa diaplikasikan dan relevan terhadap semua kultur dan konteks tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal. Poskolonialisme beranggapan bahwa klaim universal ini berakar pada nilai dan norma Barat yang pada akhirnya menjadi sebuah hegemoni Barat terhadap yang lain. Saat sebuah nilai dianggap universal, maka nilai tersebut dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan nilai-nilai lainnya yang bersifat partikular. Oleh sebab itu, bukan satu hal yang keliru jika Hak Asasi Manusia dianggap sebagai imperialisme kultural yang dapat mencerabut sekelompok masyarakat dari nilai-nilai tradisinya.

Kritik kedua dari poskolonialisme adalah berkaitan dengan ketimpangan kekuasaan secara historis yang inheren di dalam kolonialisme, distribusi pengetahuan dan rekognisi akan Hak Asasi Manusia. Bangsa Barat atau Eropa yang mengkoloni beberapa wilayah di dunia dianggap memiliki kekuasaan terhadap bangsa-bangsa lain. Kekuasaan ini bukan hanya soal wilayah, melainkan juga pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ketimpangan tersebut menyebabkan adanya pengalaman termarjinalisasi dan teropresi bagi masyarakat koloni. Secara praksis, Barat dengan kekuasaannya dapat memaksakan nilai-nilai yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai lain, sehingga nilai-nilai itu pada akhirnya harus dimodifikasi atau bahkan ditiadakan karena tidak sesuai dengan narasi besar hegemoni.

Narasi hegemoni yang dimaksud tentu adalah modernisme dengan segala elemen-elemen di dalamnya. Modernisme yang bertitik tumpu pada rasionalitas dan individualisme membawa nilai-nilai yang dianggap sebagai nature dari manusia. Cogito ergo sum dari Rene Descartes menempatkan rasio sebagai sesuatu yang bersifat inheren dalam diri manusia dianggap sebagai pembuka babak modernisme yang menjadi akar dari Hak Asasi Manusia. Tanpa mengakar pada nilai-nilai modernisme, Hak Asasi Manusia akan selalu berbenturan dengan nilai-nilai lokal. Oleh sebab itu, nilai-nilai Hak Asasi Manusia berlaku jika dan hanya jika manusia hidup dengan modernisme sebagai zeitgeist.

Kritik terakhir dari poskolonialisme adalah dekolonialisasi Hak Asasi Manusia. Poskolonialisme mencoba untuk menantang hakikat Hak Asasi Manusia yang tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Barat dengan cara melibatkan pengalaman dan perspektif masyarakat koloni ke dalam framework Hak Asasi Manusia, mempertanyakan narasi, metodologi, dan pengetahuan yang dominan serta berpengaruh terhadap Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, poskolonialisme menawarkan sebuah alternatif yang melibatkan sistem pengetahuan, praktik kultural, dan nilai nilai yang secara historis termarjinalisasi dan terepresi.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//