• HAM
  • KUHAP Disahkan, Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Telah Memperingatkan Masih Banyak Pasal Bermasalah

KUHAP Disahkan, Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Telah Memperingatkan Masih Banyak Pasal Bermasalah

Koalisi masyarakat sipil menilai sejak dalam pembahasan RUU KUHAP sarat masalah. DPR mengklaim telah melibatkan partisipasi bermakna.

Revisi KUHAP yang dilakukan serampangan membuka lebar pintu bagi aparat untuk merenggut kebebasan sipil. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana18 November 2025


BandungBergerakDPR RI mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melalui sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa, 18 November 2025. Langkah ini bertolak belakang dengan suara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP yang selama ini meminta KUHAP tidak buru-buru dibahas dan disahkan mengingat masih banyaknya pasal-pasal yang dinilai bermasalah.

Sebelum disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP dalam siaran pers 16 November 2025 menyatakan, RUU KUHAP dibahas dalam proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang ini hanya berlangsung dua hari, 12-13 November 2025. Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil.

Dari hasil pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, diketahui bahwa sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan.

“Ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” demikian pernyataan resmi Koalisi, diakses Selasa, 18 November 2025.

Beberapa masukan yang sebenarnya disampaikan koalisi antara lain: Draf Tandingan versi Masyarakat Sipil, Sembilan Masalah Krusial dalam RUU KUHAP, Pasal-Pasal Bermasalah RUU KUHAP Hasil Pembahasan Panja 11 Juli 2025, Permohonan Klarifikasi dan Jawaban atas Masukan Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap Draf RKUHAP - Reformasi KUHAP.

RUU KUHAP Disusun Serampangan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai pembahasan RUU KUHAP berlangsung serampangan seperti yang dilakukan pada pembahasan Juli 2025. Pembahasan dinilai terlalu singkat dan gagal menyentuh pasal-pasal bermasalah yang berpotensi memperluas penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Berikut ini poin-poin yang menjadi sorotan Koalisi sebelum KUHAP disahkan:

Metode undercover buy dan controlled delivery ke dalam tahap penyelidikan (Pasal 16). Metode yang semula khusus untuk tindak pidana narkotika itu kini dapat diterapkan untuk semua jenis perkara tanpa batasan dan tanpa pengawasan hakim. Skema ini dinilai membuka peluang entrapment yang memungkinkan aparat menciptakan tindak pidana dan merekayasa pelaku.

Pasal 5 RUU KUHAP memungkinkan penangkapan, larangan bepergian, penggeledahan hingga penahanan pada tahap penyelidikan, fase yang bahkan belum memastikan adanya tindak pidana. Kewenangan luas ini disebut lebih buruk dari KUHAP saat ini, yang tidak mengizinkan penahanan di tahap penyelidikan.

Upaya paksa tanpa izin hakim. RUU KUHAP tidak memperbaiki lemahnya pengawasan yudisial terhadap penangkapan dan penahanan (Pasal 90, 93). Penahanan dapat dilakukan lewat surat perintah penyidik atau penetapan hakim, skema alternatif yang dinilai mendorong penyidik menghindari kontrol pengadilan.

Penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan pun dapat dilakukan tanpa izin hakim hanya berdasar klaim kondisi mendesak (Pasal 105, 112A, 132A, 124). Koalisi menyebut ini membuka pintu penyalahgunaan hingga pemerasan karena negara dapat masuk ke ruang privat warga tanpa mekanisme perlindungan data yang jelas.

Restorative justice berpotensi jadi ruang gelap. Pasal 74A memungkinkan kesepakatan damai antara pelaku dan korban dilakukan di tahap penyelidikan. Koalisi mempertanyakan bagaimana damai dapat dilakukan sementara tindak pidananya sendiri belum terbukti ada. Hasil kesepakatan hanya berdampak pada penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan tidak dilaporkan ke otoritas mana pun, menciptakan “ruang gelap” tanpa akuntabilitas.

Polisi jadi superpower. RUU KUHAP menempatkan semua PPNS dan penyidik khusus di bawah koordinasi Polri (Pasal 7 dan 8). Koalisi menilai ini berbahaya mengingat catatan panjang maladministrasi, kriminalisasi, dan minimnya akuntabilitas.

Selain itu, ketentuan bantuan hukum disebut ambigu karena pemberiannya dikaitkan dengan ancaman pidana. Bantuan hukum yang seharusnya menjadi hak tanpa syarat justru dapat ditolak atau dilepaskan.

Penyandang disabilitas tanpa perlindungan. Koalisi menyebut RUU KUHAP masih bersifat ableistik. Tidak ada kewajiban penyediaan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi diskriminatif.

Pasal 137A dinilai membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, yang diperlakukan seolah tidak memiliki kapasitas hukum. Selain itu, masa penahanan bagi orang dengan gangguan fisik atau mental diperpanjang hingga 60 hari (Pasal 99).

Pemberlakuan terburu-buru, risiko kekacauan hukum. RUU KUHAP direncanakan berlaku 2 Januari 2026 tanpa masa transisi, padahal implementasinya memerlukan lebih dari 10 Peraturan Pemerintah (Pasal 332, 334). Koalisi menilai kondisi ini berpotensi menciptakan kekacauan penegakan hukum setidaknya selama satu tahun. Kebutuhan penyesuaian dengan KUHP baru juga belum diakomodasi dengan memadai.

[baca_juga]

Keterangan DPR RI

Pengesahan KUHAP diikuti 342 anggota DPR dengan dipimpin Ketua DPR Puan Maharani dan didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal. Turut hadir perwakilan pemerintah di antaranya perwakilan dari Kementerian Hukum, Kementerian Sekretariat Negara, dan K/L lainnya.

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan proses penyusunan RKUHAP telah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya. Ia mengklaim proses ini telah menjaring partisipasi bermakna dari para pemangku kepentingan. 

“KUHAP ini dalam penyusunan ini kami semaksimal mungkin berikhtiar untuk sedemikian mungkin memenuhi meaning participation atau partisipasi yang bermakna. Sejak Februari 2025 Komisi III DPR RI telah mengunggah naskah tentang KUHAP di laman dpr.go.id dan melakukan pembahasan DIM secara terbuka. Kemudian telah dilakukan RDPU setidaknya 130 pihak dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, advokat, serta elemen penegak hukum,” ungkap Habiburokhman, dikutip dari keterangan resmi

Menurutnya, KUHAP baru disebutkan telah mengakomodir kebutuhan kelompok rentan, memperjelas syarat penahanan, perlindungan dari penyiksaan, penguatan dan perlindungan hak korban, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, hingga keadilan restoratif.

“Ada sedikit perbandingan antara KUHAP lama dan KUHAP baru. KUHAP lama pada intinya adalah undang-undang yg mengatur interaksi antara negara yang diwakili aparat penegak hukum dengan warga negara yang merupakan orang yang bermasalah dengan hukum. Di KUHAP yang lama negara itu terlalu powerful aparat penegak hukum terlalu powerful, kalau di KUHAP yang baru warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara,” sambungnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//